Daijoubu?

Kinarian
Chapter #9

Rahasia

Para petugas upacara dari kelas XI IPS 2 sudah mulai bersiap di lapangan utama. Beberapa siswa terlihat berhambur ke tengah lapang untuk mengikuti upacara pagi ini. Sementara itu, di depan kelas di lantai dua, Arlen masih bergeming seraya menopang dagu. Mata hitamnya mengamati aktivitas orang-orang di bawah dengan perasaan tidak menentu. Berulang kali dia menarik napas panjang dan membuangnya dengan kasar. Arlen harus benar-benar menyiapkan mental untuk meminta maaf pada Ferdi di hadapan seluruh siswa SMA Bunga Bangsa.

Mengingat nama Ferdi, Arlen segera berbalik dan melongok ke dalam kelas. Teman-temannya sedang bersiap ke lapang, tetapi dia tak mendapati sosok Ferdi di mejanya. Manusia tak kasatmata yang sering menyulut emosi Cica itu belum terlihat batang hidungnya, padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima.

“Len, kemarin lo sama Cica ke mana? Kok kelihatannya buru-buru? Gue lihat lo di deket pom bensin.” Siska menghampiri Arlen yang masih anteng melamun di depan kelas. Matanya tak henti mengedar ke sekeliling, mencari keberadaan Ferdi.

“Ke rumah sakit,” jawab Arlen singkat tanpa menoleh pada Siska sedikit pun.

“Siapa yang sakit, Len?”

Arlen mendesah. “Gue ke bawah duluan, ya. Bentar lagi upacara dimulai. Lo buruan baris upacara.” Pagi ini mood-nya sedang kurang baik, mungkin efek bercerita panjang lebar pada mamanya semalam.

“Oke! Jangan banyak pikiran lo, Len! Nanti cepet tua.” Suara Siska terdengar lantang, membuat Arlen menggeleng dan menuruni tangga dengan cepat.

Langkah Arlen terhenti di ruang OSIS. Kepalanya melongok ke dalam untuk memastikan Cica ada di sana. Saat Arlen datang pagi tadi, Cica memang langsung izin ke ruang OSIS. Entah ada urusan apa dia di sana, Arlen pun lupa menanyakannya.

“Len, sini!” Cica melambai, menyuruh Arlen masuk. Tangannya sedang sibuk mengatur beberapa lembar kertas yang Arlen sendiri baru melihatnya pagi ini. Saat Arlen masuk, di dalam ruangan itu hanya ada Cica dan Dita. Hei, apakah mereka akur sebagai partner?

“Gue udah bikin proposal buat kegiatan pensi. Lo cek, terus tanda tangan. Biar gue sama Cica bisa kerja lebih cepet.” Dita yang menyadari kehadiran Arlen segera mengalihkan pandangan dari handphone-nya.

“O-oh, iya. Nanti gue cek. Lo simpen di loker gue aja ya, Dit.” Arlen menjawab ragu. Dia bisa melihat ada perubahan yang terjadi di antara Cica dan Dita. Bukan perubahan sebagai partner yang akan saling membantu satu sama lain, melainkan perubahan yang membuat Arlen mencurigai keduanya.

***

Jantung Arlen berdegup cepat menatap sekeliling yang kini memusatkan pandangan padanya. Arlen terus membatin menguatkan diri agar tak salah bicara seperti yang sudah-sudah. Jika hal itu sampai terjadi lagi, akibatnya akan jauh lebih fatal daripada ini. Sejenak, pandangan Arlen terarah pada Pak Bahar yang telah memberikannya mandat untuk melakukan hal sebesar ini. Mendapati tatapan dari Arlen, Pak Bahar pun mengangguk pelan seakan mempersilakannya untuk berbicara.

“Selamat pagi, Teman-teman.” Satu kalimat berhasil terucap dari bibir Arlen walau terasa begitu sulit. Dia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi teman-temannya nanti.

“Pagi!” seru mereka serempak, persis paduan suara yang selalu mengiringi upacara setiap Senin.

“Sebelumnya saya minta maaf jika kehadiran saya di hadapan kalian semua sangat mengganggu,” katanya, menjeda ucapan seraya menarik napas panjang.

“Saya hanya ingin menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan dari ucapan saya yang membuat satu sekolah heboh. Saya telah melakukan suatu kesalahan dengan menuduh Ferdi, teman saya di kelas XI Bahasa itu sebagai kriminal yang sudah membunuh orang. Padahal apa yang saya katakan hanyalah sebuah asumsi semata.”

Dalam hitungan detik, sorakan menggema seisi lapang. Arlen memejamkan mata sebentar, berusaha menguatkan diri dan hatinya. Sementara itu, otaknya berusaha keras merangkai kalimat apa lagi yang seharusnya disampaikan untuk meredam keributan. Saat Arlen berniat kembali melanjutkan kata-katanya, dia terkejut setengah mati karena mendapatkan sebuah senyuman penuh arti yang berasal dari seseorang di barisan siswa laki-laki.

“Saya mengaku bersalah atas semua keributan dan asumsi yang sebetulnya tidak patut saya lakukan, apalagi status saya sebagai ketua OSIS. Saya siap menerima sanksi atas semua yang sudah terjadi, termasuk ... jika saya harus mundur dari jabatan sebagai ketua OSIS.” Arlen menunduk menyelesaikan ucapannya sendiri. Dia sadar bahwa apa yang dilakukannya saat ini tidak sepadan dengan apa yang telah terjadi pada Ferdi.

“Mungkin hanya itu saja yang ingin saya sampaikan kepada teman-teman semua. Sekali lagi saya meminta maaf untuk apa pun yang sudah terjadi di sekolah ini selama seminggu kemarin. Maaf untuk Ferdi, maaf untuk teman-teman OSIS, dan maaf untuk semua yang saya rugikan dalam hal ini. Selamat pagi,” tutup Arlen, bergegas kembali ke barisannya.

Di sana sudah ada Cica yang menyambut dengan sebuah pelukan hangat. Air mata Arlen pecah saat itu juga dan berharap setelah ini dia akan lebih berhati-hati dalam berbicara.

***

Lihat selengkapnya