Pak Bahar menggeleng berkali-kali setiap kali mengarahkan pandangan pada Ferdi dan Putra. Pembina OSIS sekaligus bagian kesiswaan yang sudah cukup banyak mengatasi kenakalan para siswa ini sepertinya kehabisan cara lagi. Pak Bahar sama sekali tidak mengerti, mengapa kedua siswanya yang saling bersaudara itu malah tidak menunjukkan keharmonisan. Mereka sering bertengkar, meski sebenarnya Pak Bahar tahu bahwa penyebab pertengkaran itu adalah Ferdi. Siswa cerdas yang masih tak bisa menerima kejadian dua tahun silam.
Selama ini Pak Bahar berusaha memberi sedikit pengertian kepada Ferdi agar berhenti menyalahkan diri atas kejadian itu. Namun, tak pernah ada cara maupun deretan pengertian yang berhasil meluluhkan Ferdi sepenuhnya.
“Bapak sudah tidak bisa memberikan banyak nasihat untuk kalian, terutama untuk Ferdi. Apalagi Putra sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional. Bersikap baiklah agar kelulusan kamu tidak dipersulit sekolah,” putus Pak Bahar, menatap bergantian pada kedua siswa yang duduk bersisian, tetapi agak menjauh itu.
“Belajarlah memaafkan diri sendiri dan orang lain, juga menerima setiap keadaan yang ada. Jika sudah begini, kalian sendiri yang rugi.” Kali ini suara Bu Sekar yang melintas di telinga Arlen.
“Ya, betul apa yang dikatakan Bu Sekar. Selama kalian tidak saling memaafkan dan menerima kekurangan satu sama lain, sampai kapan pun kalian tidak akan bisa saling melindungi. Kalian ini bersaudara, kan? Nah, belajarlah bersikap sebagaimana seorang adik kepada kakaknya, juga kakak kepada adiknya. Jika ada yang terjadi pada kalian, siapa yang akan membantu? Selama ini kalian hanya tinggal berdua, kan? Lalu, mengapa kalian saling menghancurkan satu sama lain?”
Arlen yang berdiri menguping di balik pintu ruang kesiswaan, seketika teringat pada cerita Adi tempo hari. Hubungan persaudaraan yang berubah menjadi seperti lawan itu, lebih besar dipengaruhi oleh sikap Ferdi kepada dirinya sendiri dan Putra. Arlen tertunduk sendiri menatap sepatunya dengan pikiran ke mana-mana. Dia berniat membantu Ferdi, tetapi pada kenyataannya, tak ada sesuatu yang dilakukan.
“Ibu harap kalian akan banyak berubah setelah kejadian ini. Mungkin sebaiknya besok kalian belajar di rumah saja. Nanti Ibu dan Pak Bahar akan berbicara hal ini pada wali kelas Putra. Hari ini kebetulan beliau tidak masuk karena sakit. Betul begitu, Pak?” tanya Bu Sekar, mengalihkan pandangan pada Pak Bahar.
Pak Bahar mengangguk sigap. “Ya, betul. Lebih baik kalian besok belajar di rumah saja. Renungi semuanya, ya. Sekarang, silakan kalian bisa kembali ke kelas.”
Ferdi dan Putra berdiri bersamaan, kemudian menyalami Pak Bahar dan Bu Sekar secara bergantian. Arlen yang saat ini masih berdiri di balik pintu pun terkesiap dan langsung menjauhkan diri dari sana. Dia duduk di dekat Dimas yang tak mengubah posisinya sejak tadi—berdiri bersandar pada tembok tanpa mengatakan apa-apa.
“Puas, lo? Gara-gara lo, gue harus belajar di rumah! Dari dulu sampai sekarang, lo emang biang kesialan buat orang lain.” Ferdi mendorong bahu Putra cukup keras ketika mereka baru saja keluar dari ruang kesiswaan.
“Ferdi!” bentak Arlen dan Dimas bersamaan. Mereka tidak habis pikir mengapa Ferdi masih saja keras kepala, padahal sudah mendapat teguran keras.
“Punya kakak bisanya malah nyusahin gue terus.” Ferdi berdecak dan berlalu meninggalkan mereka.
“Hei! Lo masih nyalahin Putra, ha? Fer—”
“Udah, biarin. Semuanya emang salah gue. Gue terlalu emosi waktu tau dia bawa-bawa cutter ke sekolah. Gue juga sempet ngecek jadwal pelajarannya, tapi ternyata hari ini nggak ada jadwal prakarya. Semalam dia ngamuk lagi dan hampir self-harm. Gue cuma takut dia bener-bener kalap, Dim.” Putra memandang punggung Ferdi yang sudah menjauh di koridor sekolah. Sementara itu, di belakang Ferdi ada Arlen yang terlihat kesusahan menyeimbangkan langkahnya dengan Ferdi.
“Seenggaknya gue sedikit tenang kalo Arlen ada di dekat Ferdi. Gue cuma berharap Arlen bisa bikin Ferdi kayak dulu lagi,” sambung Putra, tersenyum memandang kedua adik kelasnya itu yang kini menghilang di tangga menuju kelas.
“Ferdi beneran suka sama Arlen, ya?” Dimas mendekat dan menyampirkan tangannya pada bahu Putra.
Putra mengangguk. “Udah dari dua tahun lalu. Tapi Ferdi masih nggak berani ngomong jujur sama Arlen. Dia malah jadiin gue perantara kirim cokelat buat Arlen.” Kekehan kecil terdengar lolos dari Putra. Malam ketika Ferdi meminta bantuan dengan cara bicara menyebalkannya itu kembali terbayang di ingatan Putra.