Ferdi mendengkus berkali-kali saat melihat kedatangan Putra ke kamarnya. Sampai sekarang, Ferdi masih belum bisa memaafkan kelakuan Putra yang sudah menghajarnya di halaman sekolah. Kejadian ini juga semakin menambah rasa benci Ferdi pada Putra. Dia merasa kalau hidupnya sangat dirugikan, apalagi Putra yang statusnya memiliki ikatan darah dengan Ferdi, malah membuat keributan memalukan seperti itu.
“Fer, makan dulu. Lo dari kemarin nggak makan.” Putra berdiri di ambang pintu sambil bersedekap menatap Ferdi yang masih tidak terlalu memedulikan kedatangannya.
“Kalo lo mau makan, ya makan aja sendiri. Nggak usah sibuk-sibuk ngurusin gue. Nanti juga ujungnya lo nyusahin gue lagi kayak sekarang.” Ferdi bangun dari posisinya, kemudian berjalan menuju meja belajar.
“Gue mau belajar, biar nggak ketinggalan pelajaran. Udah sana, lo! Gue nggak mau lihat muka lo,” lanjutnya, benar-benar mengacaukan suasana hati Putra seketika.
“Gue minta maaf karena ulah gue, lo jadi kena hukuman juga,” ujar Putra, mengusap wajahnya kasar. “Gue mau siap-siap ke kedai Pak Muji. Sekali lagi sori, Fer.”
Sepanjang apa pun Putra berbicara, Ferdi berusaha tidak peduli. Dia malah sibuk membuka buku paket miliknya sesuai jadwal pelajaran hari ini. Ferdi masih ingin bertarung mempertahankan posisi peringkatnya di kelas daripada menyerahkan posisi itu kepada Arlen.
“Putra, apa nggak sebaiknya lo pergi, terus tutup pintunya dan biarin gue belajar? Apa kerjaan lo tiap hari cuma gangguin gue?”
Putra sedikit terkejut mendengar ucapan Ferdi. Bukan karena mengusirnya secara langsung dari kamar, tetapi karena Ferdi memanggil namanya. Sudah cukup lama Putra tidak mendengar panggilan dari Ferdi seperti itu.
Menyadari Putra masih berdiri di ambang pintu, Ferdi pun kembali berkata, “Lo denger gue, nggak? Atau sekarang, selain kakak yang gagal, lo juga jadi kakak yang budek?”
Senyum tipis tersungging di sudut bibir Putra. “Oke, gue keluar. Baik-baik di sini ya, Fer. Nggak usah bikin gue panik kayak di sekolah kemarin. Lo nggak boleh self-harm lagi. Lo harus hidup jauh lebih baik daripada sebelumnya.”
“Udah, sana!” usir Ferdi, menatap Putra tidak suka. Saat itu juga, Putra meninggalkan kamar Ferdi dengan perasaan senang. Bagaimana bisa dia merasa senang, padahal Ferdi hanya memanggil nama depannya dan menyebutnya “kakak”? Rasanya Putra sudah gila.
Sepeninggal Putra, Ferdi menghentikan aktivitasnya membaca buku pelajaran. Dia berjongkok, lalu mengeluarkan sebuah album kecil dari laci meja. Dengan tangan sedikit gemetar, Ferdi mencoba membuka foto pertama yang ada di sana. Foto dirinya dengan Putra dan Rama.
Jantung Ferdi yang semula normal, kini berdegup lebih cepat, seolah-olah sedang menyerang ketenangannya. Sosok Rama yang berdiri di antara dirinya dan Putra, terlihat tersenyum penuh kebahagiaan. Saat itu ketiganya baru pulang sekolah dan meminta Dimas untuk memfoto mereka di halaman sekolah. Bagi Ferdi, Rama adalah adik yang menyenangkan. Usia yang hanya terpaut masing-masing satu tahun, membuat mereka terlihat seperti teman sebaya.
Tiba-tiba kepala Ferdi terasa sakit dan tubuhnya gemetar. Dia menutup album foto itu, kemudian menjatuhkan diri ke tempat tidur. Ferdi menutupi kepalanya dengan bantal, berharap bayangan-bayangan menyakitkan itu tak datang menerjangnya.
“Ferdi, relakan gue.”
Sebuah permintaan membelalakkan mata Ferdi. Dia melempar bantal hingga terjatuh ke lantai, lalu memukuli kepalanya cukup keras. Dalam keadaan setengah tidak terkendali, Ferdi seakan melihat bayangan Rama duduk di ujung tempat tidur dengan posisi membelakangi dan menunduk.
“Ferdi, semuanya bukan salah lo. Bukan juga salah Kak Putra.” Suara yang sama kembali terdengar, hingga Ferdi tersentak di tempatnya. “Ini udah takdir gue, Ferdi. Kalian nggak bersalah. Mama pergi juga bukan salah kalian. Ini takdir yang harus kami terima, Ferdi.”
“Enggak! Semuanya salah gue! Gue emang nggak berguna, Rama!!”
Dalam bayangan Ferdi, sosok Rama berdiri dan mengalihkan pandangan padanya. “Kak Putra juga sama menderitanya, Ferdi. Lo anak baik, nggak semestinya lo melimpahkan semua kesalahan sama dia, sama diri lo sendiri. Ferdi … berhenti membenci Kak Putra dan membenci diri sendiri.”
Prang!!
Ferdi melempar lampu duduk di sisi meja, sampai akhirnya Putra datang dan memeluk Ferdi yang terus berteriak.
***