Daijoubu?

Kinarian
Chapter #14

Sejenak, Damai

Ferdi berdiri menatap bayangan Arlen yang menghilang bersamaan dengan suara motor milik Dimas. Ternyata Dimas-lah yang akhirnya mengantarkan Arlen pulang, meskipun ucapan Ferdi sebelumnya tidak ditujukan secara langsung kepada siapa. Senyum samar Ferdi tersungging saat diam-diam melihat kepergian Arlen dari jendela kamar. Ferdi takut akan menjadi beban bagi Arlen, apalagi selama ini dia juga merasa tidak pernah berguna bagi orang-orang di dekatnya.

“Fer, apa gue boleh masuk?” tanya Putra dari luar, mencoba untuk kembali berbicara empat mata dengan Ferdi.

“Masuk aja.”

Putra segera masuk dan melangkah mendekati Ferdi yang berdiri di depan jendela. “Kenapa lo bohong sama Arlen? Apa enggak sebaiknya lo ngaku aja kalo selama ini lo emang suka sama dia?” Putra bertanya hati-hati karena biasanya Ferdi akan menanggapi di luar prediksinya.

“Gue malu. Nggak ada kelebihan yang gue miliki selain cuma jadi beban buat orang-orang di deket gue,” jawab Ferdi sambil mengusap wajahnya kasar.

“Itu cuma menurut lo aja. Emangnya lo mau kehilangan orang yang lo sayang lagi?” Sekali lagi Putra mencoba bertanya keyakinan Ferdi untuk tetap bersembunyi di balik kebohongan.

Ferdi menggeleng. “Gue nggak mau kehilangan Arlen. Tapi gue juga belum siap karena kondisi gue sendiri kayak gini. Gue masih perlu banyak waktu buat mendamaikan rasa sakit di hati gue, terlebih karena kepergian Rama, Mama, dan … Gustam. Semua itu kesalahan gue, Put.”

Setitik air melaju menuruni sudut mata Ferdi. Ferdi tidak ingin melukai siapa pun, apalagi sampai harus melibatkan Arlen lebih jauh dalam kehidupannya. Sudah cukup kebodohannya selama ini sehingga menyebabkan orang-orang yang dikasihinya meninggal. Sekarang, Ferdi tidak ingin mengulangi kebodohan itu lagi.

“Dengerin gue,” kata Putra menyentuh kedua pundak Ferdi, “Rama tenggelam bukan karena kesalahan lo. Justru di sini gue yang merasa bersalah, Fer. Gue sebagai kakak kalian nggak bisa menyelamatkan Rama, padahal gue bisa berenang, gue lebih jago berenang dibandingkan lo. Tapi gue bersikeras diam dan tahan Mama, karena gue juga nggak mau membahayakan Mama. Lo tau sendiri kan, kadang Mama suka nekat? Gue nggak mau sewaktu gue selamatin Rama, Mama malah lari ke tengah laut.”

“Lo kan bisa percayain Mama sama gue, terus lo lari selamatin Rama.” Tatapan Ferdi begitu tajam pada Putra, seakan mencari alasan yang lebih bisa diterima olehnya.

Putra menggeleng. “Nggak semudah itu, Fer. Lo inget kejadian hari itu, kan? Lo juga pasti masih inget gimana histerisnya Mama teriak-teriak manggil Rama dan minta tolong, sampai akhirnya pingsan. Emang lo yakin bisa tahan Mama?”

“Penjelasan lo itu bikin gue makin yakin kalo gue nggak berguna, Put. Gue nggak bisa berenang dan selamatin Rama, gue juga nggak bisa meskipun cuma tahan Mama kayak yang lo lakuin. Jadi, nggak mungkin Arlen mau sama manusia nggak berguna kayak gue ini.” Senyum skeptis yang Ferdi tunjukkan di hadapan Putra, berhasil membuat Putra merasa sudah salah berucap.

“Bukan itu maksud gue!” tegas Putra, masih menyentuh kedua bahu Ferdi.

“Terus, gimana soal kematian Mama sama Gustam? Mama memilih meningal dengan cara itu karena gue, kan? Setelah Rama nggak ada, Mama jadi stres dan selalu ngurung diri di kamar. Mama makin stres karena tau gue selalu self-harm. Sialnya, Mama pergi waktu gue lagi ngamuk-ngamuk di kamar dan siletin tangan. Iya, kan?

“Terus, Gustam. Gue ini sahabatnya, Put! Gue sahabat dia yang paginya masih ngobrol sama dia. Tapi kenapa gue nggak peka kalo itu obrolan terakhir gue sama Gustam?”

“Enggak, Fer! Lo salah be­—”

“Gue tanya sekali lagi, di mana letak bergunanya gue di sini? Apa pun yang gue lakukan selalu nyakitin orang lain. Semua yang gue putuskan, pasti merugikan orang lain. Apa itu yang namanya berguna, Put?” Ferdi menepiskan tangan Putra dari bahunya dan berlalu ke meja belajar. “Tinggalin gue sendiri. Tolong,” lanjutnya, menjambak rambut berkali-kali dengan posisi memunggungi Putra.

Langkah Putra terasa begitu berat meninggalkan kamar Ferdi. Belum sempat semua kenyataan itu diungkapkan, Ferdi sudah kembali menyalahkan dirinya sendiri. Entah sampai kapan Putra akan bertahan menghadapi Ferdi yang terus-menerus menuntut kesalahan pada dirinya sendiri, meskipun sudah berkali-kali Putra maupun Dimas meyakinkan bahwa semuanya bukanlah kesalahan Ferdi. Di samping lain, Putra juga sama tersiksanya dengan Ferdi. Dia merasa bersalah, bahkan teramat bersalah. Haruskah Putra menyerah saat ini?

***

Lihat selengkapnya