“Pak, untuk seminggu ke depan, kayaknya saya nggak bisa bantu di kedai dulu.” Putra mengutarakannya setelah menerima upah bulanan yang biasa diterima dari Pak Muji.
“Kenapa? Adikmu itu bikin ulah lagi?” tanya Pak Muji yang memang mengetahui bagaimana hubungan Putra dan Ferdi.
“Bukan, Pak. Saya mau ujian nasional. Doain ya, Pak.”
Raut wajah Pak Muji berubah senang. “Ah, iya, pasti saya doakan. Belajar yang bener, ya, biar jadi orang sukses.” Pak Muji menepuk pundak Putra beberapa kali.
Sudah satu tahun terakhir pemuda di hadapannya itu banyak membantu di kedai. Tak jarang pula Pak Muji memergoki Putra melamun di sela pekerjaannya. Sejak saat itu, Pak Muji berusaha dekat dengan Putra dan mencari tahu apa yang terjadi dalam hidup pemuda seusia anaknya.
“Aamiin. Makasih banyak, Pak. Mudah-mudahan aja selama saya nggak bantu Bapak di sini, kedainya nggak begitu rame ya, Pak.”
“Lho, kamu ini kok mendoakan begitu!”
Putra terkekeh. “Ya maksudnya biar Bapak nggak kewalahan layanin pengunjung. Apalagi kalo akhir minggu, kedai suka rame, kan.”
“Kamu ini ada-ada aja.” Pak Muji ikut tertawa. “Oh ya, gimana kabar adikmu itu, si Ferdi? Apa dia masih suka ngamuk-ngamuk?”
“Agak sedikit reda, Pak. Dia jatuh cinta sama temen sekelasnya. Mungkin karena itu dia sekarang mau psikoterapi.”
“Wah, bagus itu! Mudah-mudahan adikmu cepet sehat, ya. Saya ini salut sama kamu, lho, Put. Kamu bisa bertahan berdua sama adikmu, padahal saya sendiri tahu kalo kamu juga sedih dan kesepian. Semoga keadaan semakin membaik, ya!”
Dengan setulus hati, Putra mengaminkan doa Pak Muji. Untuk saat ini, hanya doa terbaik pada Ferdi-lah yang Putra butuhkan. Sebagai seorang kakak, tentu saja dia tak ingin membiarkan Ferdi berlarut-larut hidup dalam rasa bersalah yang tidak seharusnya. Apa pun akan Putra lakukan demi mengembalikan hidup Ferdi seperti sebelumnya; ceria, penuh cinta, dan berhenti menyalahkan diri sendiri.
***
Sudah tiga hari terakhir, Ferdi selalu pulang larut malam. Tentu saja hal ini membuat Putra cemas, apalagi kondisi Ferdi yang masih belum stabil sepenuhnya. Selepas belajar untuk ujian besok, Putra mondar-mandir di teras menunggu kedatangan Ferdi. Dia sudah berusaha menelepon, tetapi nomor Ferdi tidak aktif. Entahlah, segala hal buruk yang ada di dunia seakan berlomba memasuki alam pikiran Putra. Satu hal yang jelas, Putra tak ingin sesuatu yang buruk kembali terjadi pada Ferdi.
Tidak lama berselang, suara motor terdengar mendekat ke arah halaman. Putra mengalihkan pandangan ke sumber suara, lantas membuang napas lega melihat siapa yang datang.
“Akhirnya lo pulang!”
“Ngapain mondar-mandir kayak setrikaan?” Ferdi bertanya setelah mencabut kunci motor dan melepas helm. “Nahan berak, lo?” lanjutnya, berlalu ke dalam tanpa memedulikan tatapan Putra yang memohon menuntut penjelasan.
“Kenapa tiga hari ini lo pulang larut terus? Lo ke mana, Fer? Lo ada masalah apa?” tanya Putra, berusaha mengejar langkah Ferdi yang hendak naik menuju tangga.
Ferdi berhenti, lalu berujar, “Gue butuh udara segar. Kalo kelamaan di rumah, bisa-bisa gue tambah gila. Lagian, kenapa lo sekhawatir itu, sih?”
“Ya gimana nggak khawatir. Selama ini lo selalu self-harm, bahkan di rumah juga lo ngelakuin hal yang sama. Sebagai kakak, wajar aja kalo gue khawatir.”
“Udah, ngomongnya? Gue cape, pengen tidur. Lo mending belajar, deh. Besok masih ujian, kan?” Tidak seperti biasanya Ferdi memberikan perhatian seperti ini kepada Putra, sampai-sampai Putra bergeming mencerna ucapan adiknya itu.
“Malah bengong. Udah, ya, gue cape.” Langkah Ferdi beringsut semakin jauh dari tempat Putra berdiri.
Setelah sosok Ferdi menghilang di balik pintu kamar, barulah Putra tersadar. Sebaris senyum tersungging di kedua sudut bibirnya, seperti memberi tahu bahwa ada kuncup kebahagiaan yang mekar di dalam hati Putra. Walau begitu, Putra tetap akan mencari tahu apa yang Ferdi lakukan akhir-akhir ini. Dia berharap, Ferdi tidak melakukan sesuatu yang akan semakin menambah kekacauan yang sudah ada.
***
Pagi sebelum sinar matahari tampak sepenuhnya, Putra bergegas mengenakan seragam yang sudah rapi. Dia berencana mampir ke pasar segar sebelum ke sekolah untuk mengikuti ujian hari keempat. Tadi saat hendak membuat sarapan, Putra hanya mendapati beberapa sisa sayuran yang ada di kulkas. Itulah mengapa pagi ini dia akan membeli kebutuhan isi kulkas dengan sisa uang yang dimilikinya.
“Putraaa!” sahut seseorang, mengejutkan Putra yang sedang fokus membawa motor. Spontan Putra menghentikan laju motornya dan tersenyum ke arah seseorang yang berdiri di pinggir jalan.
“Ngapain lo di situ, Dim? Sekarang jualan bubur?” tanya Putra saat mendapati Dimas berdiri di dekat gerobak bubur ayam di depan kompleks.