Kesibukan persiapan acara pensi di SMA Bunga Bangsa semakin terlihat menjelang H-1. Semua anggota OSIS saling bekerja sesuai tugas masing-masing, bahkan tidak jarang dari mereka ada yang dobel tugas. Dari sudut ruang OSIS, Cica masih sibuk mengecek seluruh proposal dan pengajuan kepada sponsor yang sudah disepakati, meskipun ada beberapa dari sponsor yang tidak bersedia mendukung acara pensi. Di samping Cica juga ada Dita yang tak kalah sibuknya memastikan semua persiapan yang berhubungan dengan pengisi acara. Sampai saat ini, mereka semakin akrab dan sama-sama menyebalkan bagi Arlen.
“Oi, Ketua OSIS baru mojok sama si Ferdi, ya?” teriak Cica, menyambut kedatangan Arlen yang baru kembali dari lapangan untuk mengecek persiapan. Lihat bukan, betapa menyebalkannya Cica yang sering meneriaki Arlen seperti itu sejak dia tahu kalau Arlen dan Ferdi pergi ke pasar malam berdua.
“Biasa, lagi kasmaran itu. Udah sih, biar dia nggak stres ngurusin acara pensi, Ca.” Dita mengedipkan sebelah mata ke arah Cica, sebagai isyarat kalau mereka sedang bersekongkol mengerjai Arlen.
“Berisik banget ya, lo berdua. Makin hari doyan banget bikin gue emosi. Pake acara nuduh mojok sama si Ferdi.” Arlen mendesah melempar kertas berisi daftar kepanitiaan pensi. “Pak Bahar minta tambahan siswa yang tugas di bagian keamanan. Padahal semua anggota OSIS udah gue masukin ke daftar.”
“Kenapa minta tambahan? Di bagian keamananan kan udah ada lima orang. Di gerbang dua, di pinggir panggung dua, di belakang siswa yang nonton satu. Masih kurang?” Cica menatap Arlen serius, benar-benar membutuhkan jawaban secepatnya.
Arlen mengusap wajahnya secara kasar, kemudian meniup poni yang sudah acak-acakan karena terkena angin. “Katanya kurang. Butuh satu atau dua orang lagi.”
“Gimana kalo keamanan dari perwakilan siswa kelas sebelas aja? Yang mau aja, gitu.” Dita ikut memberi saran, meskipun dia sendiri terlihat tidak begitu yakin dengan saran yang diberikannya.
Arlen memejamkan mata sejenak, berusaha menampung saran dari Dita barusan. “Kayaknya nggak mungkin, Dit. Lagian siapa juga yang mau jadi tumbal keamanan di acara pensi? Kan kebanyakan dari mereka pengen nikmatin pensi, bukan malah jadi keamanan tambahan.”
“Bener juga, sih.” Tatapan Cica beralih ke langit-langit sambil meregangkan sedikit pegal di lehernya.
“Len, tiket pensi masih ada, nggak?” Sekonyong-konyong Siska muncul hingga mengejutkan Arlen dan yang lainnya.
“Ketuk pintu dulu, kek. Main masuk aja kayak kucing, lo!” Cica mendelik kesal, karena hampir saja dia kehilangan lehernya saking terkejut.
Siska cengengesan mendengar omelan Cica, kemudian mengalihkan pandangan pada Arlen. “Len, gue nanya serius, nih. Gue baru ada duit buat beli tiket. Soalnya kemarin duit gue keburu habis, terus ....”
“Lo ke sini mau nanyain tiket apa curhat, sih?” Dita yang juga sama kesalnya, ikut bicara. “Nih, tiketnya. Mana duitnya?”
“Yaelah, lo semua pada kenapa, sih. Gue kan cuma nanya doang.” Diserahkannya uang 50 ribu kepada Dita, kemudian Siska menerima kembaliannya dan bergegas dari sana.
Arlen sendiri masih tidak berbicara sedikit pun. Di kepalanya terlalu sesak oleh susunan acara dan kepanitiaan pensi besok. Kalo begini ceritanya, gue pasti nggak akan bisa tidur sampe nemu keamanan tambahan, pikir Arlen, mengusap wajahnya kasar.
“Adi di mana? Biar gue minta tolong sama dia aja.” Arlen berdiri dari posisinya dan menatap Dita penuh tanya.
“Tadi gue lihat dia lagi ngasih pengarahan ke anak-anak di aula.” Itu bukan suara Dita, melainkan Cica yang memang sempat melihat keberadaan Adi di sana.
“Oke!” Langkah Arlen terlihat cepat meninggalkan ruang OSIS sambil membawa kertas yang dilemparnya tadi. Dia berlari ke arah aula yang letaknya di depan lapangan basket.
Sesampainya di aula, Arlen sedikit terkejut karena seseorang menyadari kehadirannya dan melambaikan tangan. Susah payah Arlen mengatur pernapasannya yang terasa berat efek berlari dari ruang OSIS.
“Kenapa, Len? Ada problem?” Adi menghampiri Arlen yang masih sibuk dengan pernapasannya.
“Di ....” Suara Arlen terputus sejenak, lalu kembali terdengar, “Pak Bahar minta tambahan di bagian keamanan. Sekitar satu atau dua orang lagi. Tapi gue nggak ada ide. Semua anak OSIS udah gue masukin ke kepanitiaan.”
“Oh, oke. Biar gue yang urus. Ada problem lagi, nggak? Kalo nggak ada, lo mending istirahat dulu. Dari tadi lincah amat ke sana-sini kayak bola bekel.”
“Enak aja! Masa gue disamain sama bola bekel, sih.”
Adi tertawa melihat ekspresi Arlen yang menurutnya sangat aneh. “Udah, sana. Mojok dulu sama si Ferdi!” bisiknya, membuat Arlen langsung memukul lengan Adi cukup keras.