Sebuah senyum simpul tercetak jelas dari lorong rumah sakit dengan nuansa putih abu. Sekitar sepuluh menit yang lalu, Ferdi baru saja menyelesaikan psikoterapi pertama dalam hidupnya. Selama ini, Ferdi merasa tak perlu menjalani psikoterapi, karena baginya apa pun yang dilakukan tetap tidak akan pernah bernilai. Namun, kebersamaannya dengan Arlen di pasar malam itu membuat Ferdi mengerti satu hal bahwa selama dirinya menolak menyembuhkan diri, maka itu artinya orang-orang yang ada di sampingnya akan terluka, termasuk Arlen.
“Fer!” panggil Dimas yang sengaja datang ke rumah sakit untuk menjemput Ferdi.
“Ngapain sih, lo ke sini segala? Lo kira, gue nggak bisa pulang sendiri?” Ferdi berdecak mengamati raut wajah Dimas yang berseri-seri penuh arti.
“Kok lo mandangin gue? Naksir?” Dimas bergidik, lalu duduk di samping Ferdi. “Gue ke sini buat mastiin kalo lo bener-bener terapi,” lanjutnya, menepuk-nepuk pundak Ferdi seraya tersenyum lebar.
“Basi banget alasan lo. Lo pikir gue bakal cabut lagi? Udah, deh, pulang aja, Dim. Gue bisa pulang sendiri.” Seperti sebelumnya, Ferdi tetap tidak bisa diajak berdamai dengan Dimas. Dia selalu memandang sahabat kakaknya itu sebagai musuh, meskipun tak Ferdi mungkiri jika selama ini Dimas telah banyak membantu kesulitannya. Contohnya saja saat cowok itu rela mengantarkan Arlen pulang tempo hari.
“Fer, meskipun lo ngeselin tingkat dewa, tapi gue ini peduli sama lo. Bukan karena gue sahabat Putra, tapi karena buat gue, lo udah kayak sodara gue sendiri. Jadi please, nggak usah keras kepala dan mandang gue kayak musuh.” Dimas berdiri seraya menyerahkan sebuah tiket.
“Apaan?” tanya Ferdi mendongak, tidak mengerti maksud dari cowok bertubuh sedikit lebih tinggi dari Putra itu.
“Tiket pensi. Hari ini ada pensi di sekolah. Gue tau, lo belum beli tiket, kan? Pasti nggak punya duit, ya?”
Ferdi mengusap wajahnya kasar. “Gue emang nggak minat dateng ke acara pensi. Bukan karena nggak ada duit, ya! Sembarangan banget itu mulut.”
Dimas tertawa mendengar tanggapan Ferdi barusan. Salah satu hobinya memang menggoda Ferdi dan membuat cowok itu kesal setengah mati. Bukan tanpa alasan, melihat ekspresi Ferdi saat marah adalah bagian dari hiburan tersendiri bagi Dimas.
“Eh, iya. Gue salut sama lo, Fer!” ujar Dimas, melipat tangannya di dada.
Ferdi menatap sebentar, lalu bertanya, “Salut kenapa?”
“Udah, ya, lo nggak usah sok polos begitu. Lo bantuin Pak Muji selama Putra ujian nasional, kan? Hebat banget lo bisa bikin keputusan begitu.”
“Kenapa sih, setiap kali gue ngelakuin sesuatu, Putra selalu cerita sama lo? Lo kan bukan RT yang mesti terima laporan tiap ada kejadian.”
“Jangan salah, Fer. Gue ini calon camat.” Tawa Dimas pecah, melihat raut wajah Ferdi yang tidak terima atas ucapannya. “Kenapa lo bikin keputusan begitu, Fer?”
“Gue pengen aja ngelakuin itu. Emang salah, ya?”
“Enggak, sih. Ya soalnya lo tiba-tiba aja. Siapa juga yang nggak kaget, kan? Mana lo bawa-bawa piso di bagasi, sampai bikin si Putra khawatir.”
“Dia juga cerita soal itu sama lo? Emang ya, di belakang gue, lo berdua suka gibahin gue mulu. Sialan!” tandas Ferdi, berdecak tak habis pikir dengan tingkah Putra. Sementara itu, Dimas kembali tertawa karena makin puas menjaili Ferdi.
“Dim, semalem Putra bilang, katanya dia ngasih tau Arlen kalo gue mau terapi.” Ucapan yang terlontar dari Ferdi, sukses menghentikan tawa Dimas. Tidak biasanya cowok yang hanya berbeda usia setahun darinya itu membuka pembahasan mengenai Arlen.
Dimas yang semula berdiri, kini memutuskan kembali duduk dan menanggapi dengan berkata, “Terus, apa kata Arlen?”
“Putra bilang, Arlen keliatan seneng.” Sudut bibir Ferdi sedikit terangkat, bahkan di kepalanya mulai merangkai bayangan wajah Arlen yang menggemaskan. “Menurut lo, apa Arlen bener-bener seneng denger gue terapi? Tapi ... kenapa?”
“Kenapa? Lo masih tanya kenapa?” Dimas menjambak rambut frustrasi. Apakah Ferdi yang cerdas kini berubah menjadi seseorang yang tidak mengerti tanda sederhana seperti itu?
“Arlen sayang sama gue,” ungkap Ferdi lagi.