Wajah Cica dari awal sampai akhir acara puncak, terlihat konsisten memerah. Belum lagi di sampingnya ada Putra yang sedari siang tidak beranjak sedikit pun dari memperhatikan Cica. Setelah Ferdi memberi tahu bahwa Putra menyukainya, Cica memang masih mengira bahwa apa yang didengarnya dari Ferdi hanya bualan. Namun, perkiraan Cica kandas begitu saja saat Putra mengutarakan perasaan secara langsung kepadanya. Sungguh, Cica seperti sedang berada di alam mimpi.
Di luar gerbang Ferdi masih setia duduk di motornya sambil mengamati hilir mudik kendaraan yang melintas di jalan raya depan sekolah. Ingatannya berkelana cukup jauh, bahkan menjangkau kenangan-kenangan saat kali pertama masuk gerbang sekolah dan berteman dekat dengan Gustam. Mengingat bagaimana akhir dari hidup Gustam memang serupa meletupkan bara api di dalam kepala dan hati Ferdi.
Pagi sebelum berita menggemparkan tentang Gustam didengar Ferdi, mereka memang sempat mengobrol melalui telepon. Hari itu Ferdi sedang berusaha mengendalikan keinginan self-harm yang terus-menerus menggedor pertahanan, padahal tubuhnya sudah banyak luka dan sedang dalam masa perawatan. Sampai akhirnya satu telepon masuk mampu mengalihkan perhatian Ferdi seutuhnya. Dia melihat nama Gustam pada layar handphone, lalu mereka pun berbicara panjang lebar.
“Gue nggak sanggup begini terus, Fer. Gue merasa semakin hari malah semakin nggak berguna dan nyusahin. Gue pengen semua ini berakhir.” Begitulah kata-kata Gustam yang masih melekat dalam ingatan Ferdi hingga detik ini. Kata-kata yang ternyata dimaksudkan sebagai ucapan perpisahan sebelum tubuh Gustam ditemukan tak bernyawa di dekat rumahnya.
Pilihan Gustam itu tak pernah Ferdi duga sama sekali, karena selama ini di antara mereka, Ferdi merasa Gustam jauh lebih tegar dibandingkan dirinya. Di setiap hari-hari kelam berlapis bayangan dua tahun silam, Ferdi selalu menerima semangat dari Gustam. Ya, meski hidup Gustam pun tidak bisa dikatakan baik-baik saja.
“Kita nggak akan mati hanya karena kehilangan, Fer,” ujar Gustam suatu hari saat mereka menghabiskan waktu di angkringan.
“Kenyataannya, kehilangan itu bikin lo mati, Gustam!” Ferdi berkata sendiri, seolah menjawab ucapan Gustam masa itu.
Ferdi mengusap wajahnya kasar, berusaha memutus bayangan tentang Gustam. Dia hanya tak ingin kembali pada titik menyakitkan ketika dirinya merasa tidak berguna, sampah, dan tidak pantas dilahirkan. Kendati begitu, Ferdi juga merasa bersalah atas kepergian Gustam. Di hari kematiannya, Ferdi sendiri malah terbaring tak berdaya di rumah sakit dan menangis sesenggukan saat Putra memberi tahu mengenai kabar menyedihkan itu, sebelum akhirnya dia nekat ke rumah Gustam hingga ditemukan tak sadarkan diri oleh warga.
“Ferdi! Kok malah nangkring di sini?” Suara yang tidak penah Ferdi sukai itu mau tidak mau membuatnya mengalihkan pandangan. Di belakangnya berdiri dua orang siswa mengenakan kaus yang sama dengan yang Arlen kenakan.
“Bukan urusan lo, kan?” tanya Ferdi, membuang muka dari Adi yang menyapanya tadi. Sejak mengetahui bagaimana hubungan Gustam dengan keduanya, Ferdi memang tak pernah menaruh rasa suka sama sekali kepada mereka. Adi dan Dita adalah dua orang yang seharusnya paling bertanggung jawab atas pilihan Gustam, terlebih lagi Dita yang sering memaki Gustam dan menuduhnya macam-macam.
Adi menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Tanpa ditanya langsung pun dia sudah mengerti kalau Ferdi tidak pernah menyukainya. “Gue minta maaf, Fer.” Adi menyentuh pundak Ferdi, sehingga pandangan Ferdi kini terarah kepadanya.
“Buat apa? Lo punya salah apa?” Ferdi balik bertanya dengan tatapan dingin.
“Gustam,” ujar Adi, masih berdiri tegap di hadapan Ferdi. “Gue sebagai sepupunya ikut bersalah atas kejadian itu. Kalo aja gue bisa berbuat sesuatu, pasti hari ini Gustam masih hidup.”
Ferdi menyeringai mendengar ucapan Adi. “Lo serius, minta maaf soal itu? Terus gimana sama orang ini?” Ferdi menunjuk ke arah Dita yang berdiri sedikit jauh darinya. “Apa dia nggak merasa bersalah? Padahal gue tau banget kalo dia sering maki-maki Gustam. Tapi ... kenapa malah lo yang minta maaf?”
Ada yang menusuk hati Dita. Kata-kata Ferdi membuatnya mendongak dengan mata berkaca-kaca. Dalam hitungan detik, Dita kembali teringat pertengkarannya dengan Gustam di dekat ruang kesenian tempo hari. Dia memaki Gustam dan menyumpahinya tidak akan pernah hidup bahagia, karena telah menyebabkan keluarganya hancur. Ya, Dita sangat ingat apa yang dikatakannya hari itu.
“Gue nggak pernah anggap lo sebagai sodara tiri gue! Gue nggak sudi punya sodara kayak lo, apalagi punya ayah kayak ayah lo. Kalian berdua yang bikin nyokap gue kecelakaan dan akhirnya meninggal. Gue bersumpah, sampai kapan pun hidup lo nggak akan pernah bahagia, Gustam!”