Pukul setengah delapan malam, Arlen baru saja sampai di rumah dalam keadaan lelah setengah mati. Langkahnya tidak seenergik biasa, bahkan terkesan diseret. Bu Vina yang saat itu sedang menyiapkan makan malam hanya tersenyum sambil menghela napas. Putri kesayangannya benar-benar sangat sibuk, sampai-sampai tidak menyadari sedang diperhatikan.
“Sayang, gimana acaranya, lancar?” Bu Vina menaruh celemek di tempatnya, kemudian menghampiri Arlen yang berhenti di dekat tangga menuju kamar saat dipanggil tadi.
“Hai, Ma. Lancar, kok. Cuma Arlen cape banget, pengen tidur.” Wajah yang biasa dipenuhi senyum dan tatapan penuh ketegasan itu kini berubah menjadi kuyu dan kentara lelahnya.
“Makan dan mandi dulu, baru tidur. Kamu pasti belum makan,” ucap Bu Vina, menyentuh kedua pipi Arlen dan mengecup ubun-ubun kepalanya.
Arlen mengangguk tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tenaganya terkuras habis oleh acara hari ini, belum lagi sedikit pertengkaran dengan Ferdi tadi seakan menambah rasa lelah di dalam tubuhnya. Mungkin lebih tepatnya di dalam pikiran Arlen.
Setelah Arlen menghilang di tangga terakhir, barulah Bu Vina kembali ke dapur melanjutkan pekerjaannya. Beberapa waktu terakhir semenjak mendengar Arlen menangis di kamar malam-malam, Bu Vina semakin getol memberikan banyak waktu kepada Arlen walau hanya sekadar menyiapkan sarapan dan makan malam. Sesekali, Bu Vina juga masih lembur di rumah sakit karena ada beberapa pasien darurat yang harus segera ditangani. Beruntungnya sedikit demi sedikit kesibukannya ini dipahami Arlen hingga hubungan mereka tak lagi merenggang seperti sebelumnya.
Bu Vina menarik kursi makan dan duduk dengan perasaan sedikit kacau. Hari ini, entah apa yang terjadi pada dirinya, tiba-tiba saja dia teringat kepada mendiang suaminya. Sosok laki-laki yang membuatnya selalu memuji kebesaran Tuhan, karena memberikan kehidupan yang bahagia. Di rumah ini semua kenangan itu terukir sangat manis, termasuk ketika Yang Mahakuasa menitipkan seorang bayi yang kini telah tumbuh menjadi gadis cantik dan tangguh.
Arlen merupakan karunia terbesar dalam hidup Bu Vina. Kehadiran Arlen pun membawa kuncup-kuncup kebahagiaan itu semakin bertambah, apalagi ketika Arlen tumbuh menjadi anak berprestasi di sekolahnya. Tak ada yang kurang dari dalam diri Arlen, bahkan semua yang ada dalam diri putrinya itu terlampau menakjubkan. Setidaknya semua tetap begitu sampai pria yang selama ini menjadi teman hidupnya kembali kepada Sang Pencipta.
Bu Vina kehilangan arah dan langkah, meski hanya sekadar untuk menanyakan nilai-nilai sekolah Arlen. Liburan ke pantai dua tahun silam adalah liburan terakhir yang mereka lakukan bersama, sebelum akhirnya tali pengikat antara ibu dan anak di antara mereka memudar, menyusut, dan nyaris putus. Bu Vina benar-benar terjerat dalam kesedihan dan kehilangan yang tak ada ujungnya.
Ting tong!
Suara bel pintu sukses mengerjapkan mata Bu Vina. Wanita itu berdiri seraya menyeka air mata yang meluncur bebas membingkai segala lamunannya. Langkahnya meninggalkan dapur dan berhenti di depan pintu. Saat pintu terbuka, senyum Bu Vina terkembang penuh keramahan.
“Malam, Tante. Maaf ganggu. Arlen-nya udah sampai rumah belum, ya?” Ferdi menyalami Bu Vina penuh rasa hormat. Setelah pulang dan mengganti pakaian, Ferdi sengaja mendatangi rumah Arlen untuk kembali meminta maaf atas kejadian tadi.
“Udah, kok. Ayo, masuk dulu. Biar Tante panggilkan.” Bu Vina memberi jalan kepada Ferdi agar bisa masuk. “Tunggu di sini, ya. Mau minum apa?”
Ferdi mendongak menatap wajah keibuan Bu Vina, lalu menjawab, “Nggak usah repot-repot, Tante.”
“Duh, enggak ngerepotin, kok. Tante buatin teh hangat aja, ya. Sekalian mau pang–”
“Ada tamu, Ma? Si ... lho, ngapain ke sini?” Belum sempat dipanggil oleh Bu Vina, rupanya Arlen sudah keluar dari kamar dan terkejut melihat keberadaan Ferdi di sana. Sementara itu, Ferdi hanya menyengir lebar seraya menggaruk tengkuknya. Bingung harus menjawab seperti apa. Rasanya tidak mungkin kalau terang-terangan mengakui ingin meminta maaf. Gengsi, dong!
“Kebetulan lewat sini, jadi mampir.” Jawaban yang menyebalkan itu membuat Arlen berdecak menanggapi. Sebetulnya, Arlen senang melihat kedatangan Ferdi di rumahnya, tetapi dia berusaha menyembunyikan rasa senang itu karena tak ingin menjadi bulan-bulanan godaan mamanya.