Segelas teh tarik dan semangkuk soto Bu Dewi masih saja tidak bisa membuat mood Cica membaik. Setengah hari mengikuti pelajaran di sekolah, rasanya seperti sudah satu tahun saja. Pandangannya beralih ke sana kemari, mengamati beberapa siswa yang sedang asyik mengobrol dengan geng mereka. Cica mendesah seraya membaca ulang chat yang dikirimkan dua teman dekatnya.
“Kenapa kalian kompakan banget nggak masuk sekolah, sih! Gue kayak orang bego. Di kelas nggak ada temen duduk. Lah, di kantin juga bengong sendirian. Arlen, Dita, kompak bikin gue kelihatan jomlonya!” ocehnya, memasukkan handphone ke saku rok dan berniat kembali ke kelas karena bel masuk baru saja memanggilnya.
Hari ini Arlen memang tidak bisa berangkat sekolah, begitu juga dengan Dita. Bagaimana tidak, semalaman Arlen tidak bisa tidur karena sakit badan, apalagi kabar baru mengenai kelakuan Dita pada mendiang Gustam membuatnya mendadak insomnia. Niat hati ingin tidur lebih awal pun kandas. Banyak pertanyaan yang mengganggu kepala Arlen, termasuk seberapa besar kadar tidak suka yang Dita miliki pada Gustam.
“Adi!” Cica menyeru sedikit keras agar Adi yang hendak masuk ke kelas bisa mendengar panggilannya.
Adi menoleh, lalu menyahut, “Eh, Ca! Kenapa?” tanyanya, menepi sebentar untuk memberi jalan kepada teman-temannya yang kompak memasuki kelas.
“Dita sakit apa, sih? Tadi pagi dia chat gue.” Mendapat pertanyaan tentang Dita, Adi kontan terdiam sejenak. Kemarin setelah diantarkan pulang, Dita menangis keras di kamarnya, sama seperti saat mengetahui kabar Gustam yang ditemukan tewas gantung diri.
“Di? Kok bengong sih, lo? Ada sesuatu?” Tangan Cica digoyang-goyang di depan wajah Adi karena tidak mendapatkan jawaban yang diharapkan.
“Ha?” Adi mengerjap, kemudian menjawab, “Enggak, kok. Dita sakit biasa aja, masuk angin sama agak flu, sih.” Cukup sesederhana itu Adi menyampaikan keadaan Dita, meskipun kenyataannya Dita jauh lebih buruk daripada apa yang baru saja Adi katakan.
“Serius? Arlen juga nggak masuk, tuh. Kompak banget mereka.” Sekali lagi Cica mendengkus meratapi nasibnya hari ini. Sangat sial dan kesepian tanpa kehadiran Arlen maupun Dita.
Adi mengernyitkan dahi. “Arlen sakit juga? Kayaknya dia kecapean, deh. Soalnya dia banyak tugas, terus waktu acaranya juga pulang paling terakhir.”
Cica mengangguk menyetujui apa yang Adi ucapkan. Dari sebelum acara pensi dilaksanakan, Arlen memang sudah mengemban banyak tugas dan mendapatkan beberapa kali teguran dari Pak Bahar. Pantas saja kesehatannya jadi menurun, sampai-sampai tidak masuk sekolah.
“Eh, gue pengen nengok Dita, dong. Nanti pulang sekolah barengan, ya?” pinta Cica, menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Dia sangat ingin melihat keadaan Dita yang sebenarnya. Kalau hanya masuk angin saja, Cica yakin Dita pasti akan memaksakan diri untuk sekolah.
“H-ha? O-oh, boleh. Ya udah, gue masuk dulu, Ca!” Adi melambaikan tangan sebagai isyarat mengakhiri obrolan dengan Cica.
Setelah Adi masuk ke kelas dan koridor mulai sepi, Cica memilih langsung ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Sampai di tangga kelas, dia berhenti sejenak dan mengamati seseorang yang sedang duduk di dekat ruang kesenian. Kalau mata Cica tidak bermasalah, sepertinya orang itu adalah Ferdi. Merasa penasaran, Cica pun mengurungkan niat ke kelas lebih cepat dan memilih menghampiri orang itu.
“Fer, ngapain di sini? Bentar lagi kan Rahmi Sensei masuk.” Cica menatap penuh tanya ke arah Ferdi seraya melipat tangannya di depan dada, mengamati.
Ferdi mengalihkan pandangan pada Cica. “Masuk duluan aja. Gue mau di sini dulu sampai Rahmi Sensei masuk.”
“Ada masalah? Lo berantem sama Arlen?” Dari raut wajah Ferdi barusan, Cica sedikit menangkap ada sesuatu yang mengganggu cowok menyebalkan di hadapannya itu.
“Enggak. Gue cuma merasa bersalah aja, Ca. Hari ini Arlen nggak masuk karena sakit. Pasti gara-gara kejadian kemarin.” Ferdi mengalihkan pandangan pada Dita sebentar, lalu kembali menatap pada daun jambu yang gugur tertiup angin.
Mata Cica membelalak. “Kejadian kemarin? Kejadian apaan? Kok gue nggak tau,” katanya, benar-benar terkejut karena sejak kemarin Arlen tidak bercerita apa-apa.
“Udah, lah. Nggak penting juga,” sahut Ferdi sambil berdiri. “Gue pulang sekolah mau ke rumah Arlen. Lo mau ikut?”
Tentu saja tawaran itu membuat Cica lagi-lagi terkejut. Tidak biasanya Ferdi akan berbicara panjang lebar, bahkan mengajaknya ke rumah Arlen bersama. Biasanya cowok itu akan melakukan apa pun semaunya sendiri tanpa melibatkan orang lain, apalagi melibatkan cewek seperti Cica.