Daijoubu?

Kinarian
Chapter #23

Penerimaan pada Luka

Kedatangan dua orang yang tidak disangka-sangka itu membuat jantung Dita seakan berhenti seketika. Ditatapnya Arlen dan Ferdi bergantian, lalu tatapan Dita beralih pada Adi yang berdiri di belakang keduanya. Ini memang rumah Adi, tetapi kedatangan Arlen dan Ferdi adalah sesuatu yang “langka”.

“Hei, Dit. Gimana keadaan lo sekarang?” Arlen menyapa seraya berjalan mendekati Dita yang masih mematung di sisi tempat tidur.

“E-eh, gue baik, kok. Cuma masih sedikit lemes aja.” Dita tergagap, apalagi saat matanya bersirobok dengan Ferdi, dia merasakan bara kemarahan dari tatapan Ferdi.

Adi merangsek masuk, lalu menyahut, “Lo lemes karena dari kemarin nggak mau makan, Dit. Coba aja lo makan, pasti badan lo nggak akan lemes.” Langkah Adi terhenti di dekat lemari dan bersandar di sana.

Arlen yang terkejut mendengar penuturan Adi pun berkata, “Kenapa nggak makan, Dit? Kalo nggak makan terus, nanti sakit lo tambah lama.”

Dita menyunggingkan senyum skeptis. Bagaimana mungkin dia bisa makan, sedangkan kata-kata Ferdi saat di gerbang sekolah malam itu selalu membobol ketenangannya. Setiap kali Dita memejamkan mata, bayangan kejadian di dekat ruang kesenian berhasil membangunkan Dita. Hatinya tidak menentu, merasa serba salah untuk melanjutkan hidup yang terlalu naif dikatakan baik-baik saja pascakematian Gustam.

Hari-hari yang Dita lewati terasa menyeramkan. Dua hari pascakematian Gustam, Dita merasa bahwa saudara tirinya itu masih hidup dan sekolah seperti biasa. Berusaha menyapa setiap kali mereka berpapasan di kantin, meskipun Dita kerap mengabaikan sapaan Gustam. Awalnya Dita merasa tidak ada yang salah pada sikapnya itu. Namun, kematian Gustam yang menggegerkan satu sekolah, perlahan tetapi pasti telah mengubah Dita.

Itulah salah satu alasan mengapa dia berusaha menjalin pertemanan dengan Cica dan Arlen. Bukan untuk mencelakakan mereka, melainkan hanya ingin hidup menjadi manusia yang lebih baik tanpa menyakiti orang-orang yang tidak bersalah kepadanya.

“Gue makan, kok. Lo nya aja yang nggak tau, Di.” Dita meraih handphone yang tergeletak di kasur. “Padahal nggak usah repot-repot tengokin gue ke sini, Len, Fer.” Saat menyebut nama Ferdi, ada ketakutan yang diam-diam menerobos pikiran Dita.

Arlen mengalihkan pandangan ke arah Ferdi yang tidak beranjak dari pintu. “Selain buat jenguk lo, gue ke sini pengen ....” Mulut Arlen terasa kaku mengatakan bahwa dia ingin mendamaikan Dita dan Ferdi, juga Adi.

“Kenapa, Len?” Dita menatap sungguh-sungguh, menunggu Arlen melanjutkan ucapannya.

“Pengen ....” Walau diulang, Arlen masih tidak memiliki keberanian sebesar itu untuk mengatakannya. Dia bisa melihat perubahan emosi dari wajah Ferdi, terlebih lagi ketika pandangannya beralih pada tangan Ferdi yang sudah mengepal.

“Arlen ajak gue ke sini buat tuntasin semuanya sama lo,” sahut Ferdi tiba-tiba. Arlen, Adi, dan Dita serentak menatap kepadanya. “Soal Gustam,” lanjutnya, melangkah masuk dan berdiri di hadapan Dita yang gemetar melihat raut wajah Ferdi.

“Fe-Fer, gue tau lo marah karena gue maki-maki Gustam. Tapi ... gue juga tersiksa kayak lo. Gue merasa bersalah, Fer.” Mata Dita berkaca-kaca menatap Ferdi. Arlen mencium sesuatu yang kurang baik akan segera terjadi di sini.

“Tenang, Fer, Dit. Jangan diselesaikan dengan amarah. Kita ngomong baik-baik.” Adi mencoba menengahi dan mencengkeram tangan Ferdi. Untung saja Ferdi bisa menahan amarahnya. Akhirnya mereka duduk melingkar di karpet, meskipun suasana di dalam kamar Dita berubah menegangkan.

Adi menarik napas panjang, lantas berkata, “Gue nggak pernah tau apa yang bikin lo membenci Dita sampai segitunya. Tapi, dari cerita Arlen, gue bisa maklum kalo hubungan lo sama Gustam terlampau akrab. Bahkan gue iri sama lo yang bisa sedekat itu sama Gustam, sedangkan gue dan Dita yang punya hubungan keluarga aja nggak pernah sedekat itu.”

“Gimana mau deket, kalo si Dita aja malah maki-maki Gustam dan nyumpahin hidupnya nggak bahagia. Dari yang gue denger, nyokap lo juga ikut-ikutan. Kalian pernah mikir nggak, gimana sakitnya jadi Gustam, ha? Apa kalian tau, kalo Gustam sering bilang pengen mati karena merasa hidupnya nggak pernah diterima di mana pun? Bahkan setelah kejadian kecelakaan itu, ayahnya pergi tinggalin dia. Apa kalian pernah ngerti gimana rasanya ada di posisi Gustam?”

Lihat selengkapnya