Daijoubu?

Kinarian
Chapter #24

Sehangat Kenangan

Kelegaan tampak dari wajah Ferdi setelah keluar dari salah satu ruangan tempatnya melakukan psikoterapi. Pandangan Ferdi mengedar ke sekitar lorong rumah sakit, mencari keberadaan Arlen yang tadi duduk di luar menunggunya. Namun, Ferdi tidak melihat sosok Arlen sama sekali. Pikirnya, mungkin Arlen sedang ke toilet atau membeli minum. Ferdi pun memutuskan duduk sembari menunggu Arlen kembali.

Saat cowok itu sedang asyik memainkan handphone, seorang wanita paruh baya berjalan mendekat, lantas ikut duduk di samping Ferdi. “Arlen-nya ke mana?” tanyanya, membuat Ferdi langsung mendongak dan terkejut.

“Eh, Tante? Tante dinas di sini?” Cepat-cepat Ferdi memasukkan handphone-nya ke dalam saku dengan tatapan tidak terlepas dari Bu Vina.

“Iya. Semalam Arlen ngasih tau Tante kalo hari ini kamu mau psikoterapi lagi. Arlen juga bilang, kemarin katanya kamu udah mulai baikan sama temen-temen kamu yang lain, ya?”

“Iya, Tante. Semuanya berkat bantuan Arlen. Saya ada di sini juga karena dia, Tante.” Seketika hati Ferdi terasa hangat bisa berbincang sedekat ini dengan wanita yang telah melahirkan gadis sebaik Arlen. Entah apa yang akan terjadi kalau saja semesta tak lagi mempertemukan mereka.

“Apa yang udah Arlen lakukan?” Sebetulnya, Bu Vina sudah mengetahui apa saja yang Arlen lakukan untuk Ferdi. Akan tetapi, dia ingin memberikan Ferdi kesempatan agar mengutarakan semua yang dirasakannya.

Ferdi menatap sekilas ke arah Bu Vina yang masih duduk tenang di sampingnya. “Banyak. Saya bersyukur dipertemukan sama Arlen lagi. Bahkan sekarang, kami sangat dekat. Arlen seperti kekuatan buat saya menjalani hidup lagi, Tante.”

Hati Bu Vina terenyuh dibuatnya. “Kalo Tante boleh tau, kapan kali pertama kamu ketemu Arlen?”

“Dua tahun lalu, waktu adik saya tenggelam. Saya nggak ketemu langsung sama Arlen, tapi cuma lihat dia sama Tante. Sejak saat itu, hati saya seolah mengajak untuk selalu mengingat Arlen. Sampai akhirnya kami ketemu di sekolah dan satu kelas.”

“Dua tahun lalu? Maksud kamu ... waktu ...” Ingatan wanita paruh baya itu seketika membentuk kenangan dua tahun lalu saat melihat seorang wanita seusianya menangis sambil meneriakkan nama seseorang. Beberapa pengunjung pantai juga ikut membantu menenangkan, meskipun saat itu kenyataan tidak lagi berpihak kepada wanita paruh baya yang dilihatnya.

“Tante masih ingat?” tanya Ferdi, menatap Bu Vina.

“Iya. Tante ingat. Jadi, itu adik kamu? Ya Allah.”

“Hidup saya seakan berakhir hari itu, Tante. Saya salah telah membiarkan adik saya tenggelam di laut. Saya juga nggak bisa memaafkan diri sendiri waktu Mama memutuskan bunuh diri.” Sekeras apa pun menghilangkan ingatan-ingatan kejam itu, rasanya Ferdi masih tidak kuasa. Setiap kali bercerita mengenai kejadian dua tahun lalu, dia selalu merasakan luka yang sama.

Tanpa berbicara lagi, Bu Vina segera merangkul Ferdi dan memeluknya. Tak bisa dibayangkan sehancur apa hati pemuda yang tidak berontak ketika dirangkul olehnya itu. Bu Vina semakin paham mengapa Arlen mati-matian ingin membantu Ferdi.

Dari pertigaan lorong rumah sakit, Arlen menatap dua orang yang berarti dalam hidupnya penuh tanya. Dia juga tidak menyangka mamanya akan ada di sana dan menemui Ferdi. Di tangan Arlen sudah ada dua jus jeruk yang sengaja dibelinya setelah menuntaskan hajat ke toilet. Arlen sangat bersyukur melihat kedekatan yang terjalin antara Ferdi dan mamanya. Untuk itulah Arlen memilih mengamati dari jauh karena tak ingin menggangu obrolan keduanya yang tampak serius.

“Banyak yang sayang sama lo, Fer,” gumam Arlen, menyeka air mata yang menetes tanpa permisi.

“Ya sudah, Tante harus tugas lagi. Seneng bisa ngobrol sama kamu. Sehat selalu ya, Ferdi. Jaga diri sendiri dan jaga Arlen. Kalo kamu butuh bantuan, kamu bisa hubungi Tante.” Bu Vina menyerahkan kartu nama kepada Ferdi. “Itu nomor Tante. Jangan sungkan-sungkan, ya. Anggap aja ibu sendiri.”

Dengan mata berkaca-kaca, Ferdi mengeluarkan handphone dan langsung menyalin nomor Bu Vina. Kalau saja tidak ingat dia seorang cowok, pasti Ferdi sudah menangis sejadi-jadinya di hadapan Bu Vina. Perlakuan yang hangat, juga perhatian selayaknya dari ibu sendiri, membuat hati Ferdi merana. Kerinduan pada sosok mamanya perlahan menguap memenuhi lorong rumah sakit, berganti dengan rasa syukur karena ternyata Tuhan begitu memperhatikannya dengan memberikan sosok Bu Vina dalam kehidupannya saat ini.

Benar kata Arlen tempo hari, setiap kejadian yang menimpa manusia adalah kuasa Tuhan yang tak bisa dihalangi oleh siapa pun. Sekecil apa pun keburukan, semua pasti diimbangi dengan kebaikan dan kejutan. Ferdi semakin yakin untuk hidup yang sebenarnya hidup tanpa berpura-pura baik-baik saja.

***

 “Bentar lagi mau Magrib. Maaf ya, gara-gara lo temenin gue psikoterapi, lo jadi nggak ikut ke makam Gustam. Padahal kan kemarin lo sendiri yang ngasih ide.” Ferdi melajukan motor dengan kecepatan sedang karena ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama Arlen.

Lihat selengkapnya