Ferdi menatap Putra yang baru saja datang. Saat di rumah Cica, Ferdi memang pulang lebih dulu karena harus mengantarkan Arlen. Alhasil, Ferdi-lah yang sampai paling awal di rumah daripada Putra. Belum sempat Putra melangkah masuk, Ferdi sudah mencegatnya di pintu dengan posisi berdiri sambil bersedekap.
“Gue mau ngomong serius sama lo. Ini soal kemarin sama tadi di rumah sakit.” Ferdi masih tidak mengubah posisi, bahkan tatapannya kali ini semakin serius.
Putra mengangguk-angguk, lalu duduk di kursi. “Sini, masa lo mau ngomong sambil berdiri? Udah kayak kondektur aja.”
Ferdi mengembuskan napas berat dan menuruti ucapan Putra. Cowok itu duduk di kursi satunya yang dipisahkan oleh meja bulat kecil. Sebelum bercerita, Ferdi berusaha mengisi seluruh dadanya dengan oksigen agar bisa menceritakan apa saja yang sudah dilakukannya sejak kemarin hingga sore tadi. Putra memang tidak meminta Ferdi menceritakan apa yang sudah dilakukannya, tetapi Ferdi merasa bahwa hal ini harus diketahui Putra.
“Kemarin, gue sama Arlen ke rumah Adi buat ketemu Dita.” Satu pernyataan Ferdi sukses mengubah ekspresi Putra menjadi lebih serius. “Arlen emang nggak nyuruh gue buat omongin soal Gustam di sana. Tapi gue udah paham tujuan dia ajak gue ke sana buat apa.”
“Terus, apa yang terjadi?” Jelas terlihat bahwa Putra benar-benar tertarik dengan cerita Ferdi. Walau sejujurnya, Putra sedikit waswas kalau-kalau Ferdi bertingkah macam-macam di sana.
“Gue, Dita, sama Adi saling jujur soal Gustam. Lo tau kan, gimana keadaan gue waktu tau Gustam nggak ada?” tanya Ferdi. Suaranya sedikit bergetar setiap kali membahas kejadian mengerikan itu. Putra pun mengangguk cepat.
“Selain merasa bersalah karena kepergian Rama sama Mama, gue juga merasa bersalah atas keputusan Gustam. Sebagai orang yang paling deket sama Gustam, gue nggak bisa melakukan apa pun buat cegah dia biar nggak ngelakuin hal gila itu.” Ada jeda yang Ferdi lakukan di tengah ceritanya. Lagi-lagi dada Ferdi terasa dihantam sesuatu yang berat hingga saluran pernapasannya sedikit sesak.
“Kemarin, gue tumpahin semua kemarahan gue sama Dita dan Adi. Gue nggak suka cara Dita memperlakukan Gustam, sampai temen gue itu memilih jalan pintas. Gue juga nggak bisa terima waktu tau nyokapnya Adi ikut-ikutan nggak terima keberadaan Gustam sama ayahnya. Gue marah, Put! Tapi ...”
“Tapi apa?” sahut Putra tidak sabaran.
“Keberadaan Arlen di sisi gue kemarin, bikin gue bisa tahan emosi. Gue berusaha dengerin semua penjelasan mereka, bahkan katanya nyokapnya Adi lagi ke rumah neneknya Gustam buat minta maaf. Adi sama Dita mohon-mohon biar gue mau maafin mereka, termasuk maafin nyokap Adi. Sejujurnya, gue emang nggak berhak terima maaf itu, karena gue nggak terlibat langsung. Tapi sebagai orang paling deket sama Gustam, gue perlu ngasih tau mereka kalo selama Gustam hidup, dia bener-bener menderita. Apa gue salah, Put?”
Dari cara bicara dan raut wajah Ferdi, Putra bisa mengerti adiknya itu sedang mati-matian menahan perasaan. “Lo hebat! Menurut gue, lo nggak salah. Kadang, kita emang harus ngasih tau kesalahan orang lain biar mereka bisa introspeksi diri. Terus, gimana keputusannya?”
Ferdi mengusap wajahnya kasar. “Gue mau belajar menerima kenyataan dan memaafkan mereka. Memaafkan apa pun yang selama ini nggak bisa gue terima. Gue juga pengen ziarah ke tempat Gustam.” Tetes bening itu bergerombol di kelopak mata Ferdi dan terjatuh bebas. Ferdi teringat janjinya pada Arlen untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan berhenti membohongi perasaan sendiri.
“Arlen hebat bisa bikin lo kayak gini. Gimana perasaan lo sekarang, Fer?” Putra bertanya seraya menepuk pundak Ferdi beberapa kali.
“Lumayan lega. Akhirnya semua kemarahan gue meluap kemarin, Put. Gue nggak nyangka bisa lakuin itu, karena selama ini yang gue lakukan cuma sembunyi di balik perasaan rasa bersalah,” kata Ferdi, menyeka air matanya. “Tadi waktu gue psikoterapi, gue ketemu mamanya Arlen lagi. Namanya Bu Vina. Dia dokter umum di rumah sakit itu, Put. Kami sempet ngobrol cukup lama, bahkan dia rangkul gue kayak anak sendiri. Gue yang selama ini kangen dipeluk sama Mama, akhirnya bisa ngerasain gimana rasanya dipeluk sama sosok seorang ibu.”
Air mata berisi kerinduan sekaligus kebahagiaan itu pecah sepenuhnya. Ferdi terisak di hadapan Putra tanpa memaki-maki seperti biasanya. Jiwa Ferdi yang dahulu terasa hampa, perlahan kembali terisi dengan kehangatan. Semua berkat keteguhan hati Ferdi melawan perasaaan yang membayanginya selama ini, juga berkat kehadiran Arlen dan Bu Vina yang diam-diam telah menyelamatkan rasa ketidakbergunaan Ferdi selama ini. Di samping itu, Putra bersyukur karena Tuhan selalu membantunya untuk mengembalikan semangat hidup Ferdi.
“Makasih karena lo selalu jaga gue. Maaf kalo selama ini gue sering kurang ajar sama lo, Put. Gue cuma nggak tau cara meluapkan amarah yang selama ini selalu menumpuk di kepala dan perasaan gue. Gue selalu berandai-andai kalo hari itu kita nggak ke pantai, mungkin Rama nggak akan tenggelam, bahkan mungkin Mama nggak akan pernah memilih jalan kayak yang Gustam lakuin. Tapi gue juga sadar, kalo kejadian itu nggak ada, mungkin gue nggak akan ketemu sama Arlen dan Gustam.” Seolah masih tak puas meluapkan semua beban di dalam hati, Ferdi terus berbicara panjang lebar. “Apa gue nggak terlambat memperbaiki semuanya, Put?”