Daijoubu?

Kinarian
Chapter #26

Taruhan Gila

Beberapa hari lagi, para siswa kelas X dan XI akan segera melaksanakan ujian kenaikan kelas. Para guru sibuk memberikan pemadatan materi pembelajaran untuk persiapan terakhir sebelum melepas para siswa ke “medan juang”. Dari depan ruangan dengan bersandar pada pagar, Pak Bahar mengamati sepenjuru sekolah yang terlihat tenang. Tidak ada kegiatan olahraga atau pembelajaran di luar ruangan, karena khusus tiga hari ke depan, pembelajaran dilaksanakan di kelas saja.

Senyum Pak Bahar mengembang saat seorang cowok terlihat menaiki tangga menuju ke tempatnya berdiri saat ini. Semalam, mereka sudah merencanakan pertemuan ini untuk membahas beberapa hal yang belum sempat diselesaikan sebelumnya. Pak Bahar berdiri tegak, menyambut kedatangan cowok yang baru saja menyelesaikan masa belajarnya di SMA Bunga Bangsa.

“Pak,” kata Putra tersenyum dan menyalami Pak Bahar, seperti yang biasa dilakukannya.

“Put, gimana kabarnya? Yuk, kita ngobrol di ruangan saya saja.” Pak Bahar merangkul Putra tanpa canggung sedikit pun. “Aduh, saya kaget waktu kamu bilang mau ketemu sama saya dan mau menyampaikan sesuatu,” kata Pak Bahar, setelah duduk di kursinya, begitu pula dengan Putra. Mereka duduk berseberangan.

Putra tersenyum dan sedikit bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Dua bulan yang penuh dengan kejadian tidak terduga telah membuat seisi pikirannya sesak. “Ini soal Ferdi, Pak,” ujarnya serius.

Pak Bahar pun mengangguk dan menanggapi, “Ada apa sama Ferdi? Saya lihat, dua minggu ini dia mulai berbaur sama temen-temennya. Apa ada sesuatu yang terjadi di antara kalian lagi?”

“Bukan, Pak.” Putra menggeleng mantap, karena memang bukan itu yang ingin diceritakan kepada pria paruh baya yang kini menatapnya tanpa berkedip.

“Terus, kenapa?”

“Alhamdulillah Ferdi memang banyak berubah, Pak. Dia mau psikoterapi dan mulai menerima kehidupannya sekarang. Maksud kedatangan saya, selain memberi tahu soal ini, saya juga ingin menitipkan Ferdi untuk tahun ajaran selanjutnya. Saya kan sudah lulus, jadi tidak bisa mengawasi Ferdi seperti waktu saya masih di sini.”

Ya, itulah yang akhirnya Putra katakan. Ada kecemasan yang tidak bisa ditepiskan, kalau-kalau setelah dirinya benar-benar keluar dari SMA Bunga Bangsa, Ferdi malah membuat keributan lagi. Pilihannya ini sudah dipikirkan matang-matang, bahkan Putra juga sempat meminta pendapat dari Dimas. Tentu saja Dimas sependapat dengan yang Putra pikirkan. Bagaimanapun, Putra tidak bisa menjamin kalau Ferdi akan selalu baik-baik saja dan tidak membuat keributan lagi.

“Ah, syukurlah.” Napas lega diembuskan Pak Bahar setelah mendengarkan maksud dan tujuan Putra menemuinya. “Saya ikut senang mendengarnya. Kamu nggak perlu khawatir soal Ferdi, Put. Insyaallah saya dan guru-guru yang lain, terlebih lagi guru BK akan selalu mengawasi adik kamu itu.”

“Terima kasih banyak, Pak. Saya jadi tenang karena sudah menitipkan Ferdi pada Bapak. Saya juga senang karena akhirnya adik saya itu mau mencoba menerima kenyataan. Meskipun saya mengerti kalau menerima bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.” Mata Putra berkaca-kaca, teringat kembali bagaimana sulitnya merangkul Ferdi yang telanjur patah oleh keadaan.

Pak Bahar mengubah posisi duduknya sedikit membungkuk dan berujar, “Kamu adalah kakak yang hebat, Put. Saya yang lebih tua dari kamu saja belum tentu bisa merangkul Ferdi dan mengembalikan semangatnya lagi.”

Kekaguman pada siswanya itu benar-benar memenuhi hati Pak Bahar. Dia adalah satu dari sekian banyak orang yang menjadi saksi betapa sulitnya tantangan yang harus Putra hadapi untuk menjaga Ferdi agar tetap melangkah, meskipun kenyataan menjadi musuh terbesar bagi Ferdi.

“Tanpa bantuan dari banyak pihak, rasanya saya tidak akan pernah bisa menaklukkan Ferdi. Terlebih lagi Arlen. Dia yang saya lihat telah menjadi support system terbesar Ferdi.”

“Arlen ketua OSIS?” tanya Pak Bahar, ingin memastikan.

“Iya, Pak. Arlen dan mamanya yang membuat Ferdi semangat melawan rasa sakit dalam dirinya sendiri.”

Lihat selengkapnya