Pertandingan basket dadakan saat istirahat tadi masih saja menjadi bahan perbincangan hangat di antara para siswa. Mereka sibuk menyebut-nyebut nama Ferdi yang selama dua tahun menjadi siswa Bunga Bangsa, tetapi baru kali ini mau menunjukkan keberadaannya di hadapan banyak orang. Selama ini, Ferdi memang dipandang sebagai orang yang tertutup dan tidak pernah bergaul dengan siapa pun. Akan tetapi, agaknya setelah pertandingan tadi Ferdi akan berubah menjadi idola baru di sekolah.
Ferdi menarik tasnya dari meja dan beranjak keluar tanpa ditemani Arlen. Saat bel pulang tadi, Arlen memang pamit ke ruang OSIS karena harus memimpin rapat terakhir sebelum dirinya benar-benar lengser. Tentu saja sahabatnya yang berisik itu ikut serta, karena Cica juga memiliki peran penting di dalam kepengurusan OSIS.
Tak ada rencana yang ingin Ferdi lakukan selain langsung pulang dan tidur. Dia juga harus menyiapkan mental bertemu dengan Putra, setelah dirinya dikalahkan oleh cowok itu. Dari awal pun Ferdi sudah tahu kalau dia akan kalah bertanding, mengingat Putra memang sudah jago basket sejak lama. Berbeda dengan Ferdi yang lebih bisa diandalkan dalam urusan sepakbola, meskipun kemampuannya juga biasa-biasa saja.
Saat sampai di parkiran, perhatian Ferdi teralihkan pada Putra yang sedang asyik mengobrol dengan Dimas di dekat pos satpam. Tadinya Ferdi kira dua cowok yang belum menyadari keberadaannya itu akan memilih pulang daripada terus-menerus bergentayangan di sekolah. Akan tetapi, perkiraan Ferdi meleset jauh karena nyatanya Dimas dan Putra masih di sini.
“Fer! Mau balik sekarang, lo?” Dimas berteriak sambil melambaikan tangan pada Ferdi, tetapi Ferdi hanya berdecak dan segera mengambil helmnya dari bagasi motor. Menanggapi pertanyaan Dimas adalah sesuatu yang sangat tidak penting.
“Yaelah, lo kalo ditanya itu jawab, Fer. Malah cuekin gue.” Entah kapan Dimas berjalan menghampiri, tiba-tiba saja wujudnya sudah berada di samping Ferdi.
“Heh! Sialan! Ngagetin gue aja kayak setan. Apa sih, Dim? Lo hobi banget gangguin gue.” Ferdi merengut, benar-benar sangat kesal pada tingkah sahabat Putra yang lebih mirip dengan penebar teror itu.
Dimas tertawa puas, lalu berkata, “Ya lagian, lo nggak tanggepin sapaan gue. Sombong amat.”
“Lo mau balik sekarang? Nih, kuncinya,” sambung Putra, menyerahkan kunci rumah. “Gue ada urusan dulu sama Dimas. Lo kalo mau makan, angetin aja sayur sop di kulkas.”
“Iya, iya. Lagian lo lebay banget, Put. Gue tuh risi lo gituin. Rasanya kayak bocah aja, deh.” Sudah sering Ferdi katakan kalau Putra tak perlu berlebihan memperhatikannya. Dia bukan lagi anak SD yang harus diingatkan ini dan itu, terlebih lagi soal makan.
“Heh! Putra ini perhatian sama lo. Masa lo nggak seneng diperhatiin begitu?” rutuk Dimas seraya memukul lengan Ferdi cukup keras.
“Iya, iya, iya. Makasih perhatiannya. Awas, motor gue nggak bisa keluar kalo lo berdiri terus di situ, Dimas! Lama-lama gue cekek juga, lo!” sungut Ferdi. Tawa Dimas dan Putra pecah saat mendengar ucapan Ferdi. Bagi mereka, Ferdi tetaplah si keras kepala dan gengsian.
***
Sebuah lingkaran baru saja dibubuhkan pada salah satu tanggal di kalender kecil yang ada di meja belajar. Setelahnya, Ferdi menutup buku tugas dan melakukan sedikit peregangan. Genap dua minggu dia merasakan ketenangan yang begitu nyata di dalam hatinya. Biasanya dalam seminggu bisa dua sampai tiga kali Ferdi melakukan self-harm. Sebuah lingkaran yang tertera pada kalender kecilnya itu sebagai penanda setiap kejadian “bersosialisasi” yang berhasil dilakukannya. Sejak dua tahun silam, Ferdi memang membangun benteng bagi siapa pun untuk mendekat, meski sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang berarti baginya.
Ferdi menarik kursi ke belakang, lalu beranjak keluar kamar. Suasana di rumah tingkat dua itu tidak pernah berubah setiap harinya. Langkah Ferdi terhenti di ujung tangga dengan pandangan tertuju pada kamar paling depan. Dadanya selalu bergemuruh hebat setiap kali melihat kamar itu, bahkan Ferdi tak pernah masuk ke sana sejak mamanya ditemukan tewas gantung diri.
Namun, kali ini seperti ada yang menuntun langkahnya untuk masuk ke sana. Perlahan meski dengan jantung berdegup cepat, Ferdi tetap melangkah masuk ke kamar mamanya. Dalam hitungan detik, Ferdi merasa dirinya kehilangan nyawa saat ruangan itu terpampang di hadapannya. Sebuah kasur berukuran besar masih setia di tempatnya, begitu pula dengan beberapa barang milik sang mama yang tidak berpindah posisi. Hanya saja langit-langit kamar di dekat jendela terlihat jelas bekas tambalannya. Di sanalah mama Ferdi ditemukan tergantung oleh Putra untuk pertama kali.
“Ma, Ferdi kangen.” Suaranya tertahan penuh kerinduan. Ferdi berjalan perlahan dan duduk di kursi depan cermin. Tempat favorit mamanya setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan untuk mereka.
Barang-barang berupa kosmetik yang ada di sana, ditatap satu per satu oleh Ferdi. Matanya berembun, hatinya menghangat merasakan kerinduan hadirnya sosok seorang ibu. Dua tahun berlalu tanpa sosok ibu di rumah itu adalah sesuatu yang menakutkan dan tak pernah Ferdi impikan sedikit pun.