Pekan ujian kenaikan kelas telah berlangsung tiga hari. Hari keempat ini, mata pelajaran yang diujikan untuk kelas Bahasa adalah Bahasa Jepang jam pertama, sedangkan jam keduanya pelajaran Sastra Indonesia. Dua ciri khas mata pelajaran yang hanya ada di kelas Bahasa, bahkan sering disebut sebagai “senjata utama” jurusan kelas yang tidak begitu banyak peminatnya ini.
Arlen, Cica, dan Ferdi ditempatkan di satu ruangan yang sama di kelas XI IPA 3. Setiap kali masa ujian kenaikan diadakan, pergantian ruangan memang sering dilakukan karena sistem acak peserta ujian menjadi ciri khas lain dalam pelaksanaan ujian kenaikan kelas. Saat ini jam menunjukkan pukul setengah 11, yang artinya sebentar lagi waktu yang diberikan akan habis.
Tenang, tertib, dan hanya terdengar suara lembar soal yang dibuka oleh para siswa, semakin meyakinkan semesta kalau mereka memang sedang menaklukkan soal-soal ujian untuk menentukan siapa yang terbaik di antara mereka, sesuai dengan jurusan kelas yang diambil saat naik ke kelas XI.
Ferdi menaruh pensil di samping kertas lembar jawaban, kemudian mengangkat tangan. “Sensei, saya sudah selesai. Apakah boleh dikumpulkan sekarang?” Suara Ferdi yang memecah keheningan kelas pun membuat siswa lainnya mendongak. Penasaran siapa yang sudah mengerjakan soal dalam waktu 45 menit saja.
Rahmi sensei mengangguk dan berkata, “Apa sudah yakin jawabannya benar, Ferdi? Kalo sudah, silakan dikumpulkan dan pastikan nama lengkap serta pelajarannya sudah diisi.”
“Baik, Sensei,” seru Ferdi, membaca sekilas lembar jawaban miliknya. Setelah memastikan tidak ada yang keliru, dia segera menyerahkannya kepada Rahmi sensei. “Sensei, saya izin ke toilet.”
Dari tempat duduk, Arlen menatap tidak percaya karena Ferdi bisa menyelesaikan soal-soal Bahasa Jepang yang cukup sulit itu. Spontan matanya melirik ke arah Cica yang juga terlihat masih sibuk dengan soal-soal di hadapannya. Bahasa Jepang memang tidak bisa diremehkan begitu saja.
***
Embusan angin mengacak rambut Ferdi yang baru saja sampai di atap sekolah. Dia bersyukur karena model bangunan sekolahnya memiliki atap terbuka seperti ini, sehingga bisa dijadikan sebagai tempat pelarian. Ferdi memang lebih memilih ke atap sekolah daripada kembali ke ruang ujian, padahal masih tersisa sekitar satu jam lagi sampai jam pulang nanti.
Ferdi memejamkan mata, merasakan angin yang berembus pelan menerpa wajahnya. Dalam dua tahun terakhir telah banyak hal yang Ferdi lalui, terlebih lagi ketika harus melawan rasa bersalah di dalam dirinya. Depresi adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, bahkan bisa dikatakan serupa mimpi menakutkan bagi Ferdi. Walau begitu, dia banyak belajar mengenai arti menghargai dan mencintai diri sendiri.
Mungkin benar apa yang sering psikolog katakan padanya bahwa proses recovery seseorang dari masa terpuruk membutuhkan banyak waktu, juga perlu banyak keyakinan, terlebih pada diri sendiri. Sesuatu yang sesungguhnya tidak pernah Ferdi miliki sejak kejadian itu.
“Huh!” Ferdi membuang napas sambil membuka mata, menatap sekeliling yang bisa dijangkau sejauh mata memandang.
“Mama, Rama, dan Gustam,” gumamnya, menatap langit yang cerah disorot sinar matahari. “Mungkin selama kalian hidup, aku belum bisa jadi yang terbaik. Bahkan mungkin nggak pernah ada kebaikan yang dilakukan buat kalian.” Sekali lagi Ferdi memejamkan mata, mengumpulkan kekuatan untuk sekadar bermonolog.
“Ma, terima kasih karena melahirkan dan membesarkan Ferdi dengan penuh kasih sayang. Mama juga melahirkan Putra, sosok kakak yang selama ini selalu jagain aku. Dia yang selama ini mati-matian berusaha biar aku tetap hidup, meskipun aku tau kalo Putra sama hancurnya kayak aku. Dia juga terluka waktu Mama dan Rama pergi.” Ucapan terima kasih ini lahir dari hati terdalam Ferdi hingga sudut matanya membasah.
“Ram, gue minta maaf nggak bisa selamatin nyawa lo. Seandainya gue jago berenang, gue pasti langsung berenang buat selamatin lo. Tapi ... maaf buat kekurangan gue yang satu itu. Makasih udah jadi adik gue yang selalu bikin gue ketawa setiap hari karena kekonyolan lo. Semoga di sana, lo nggak ngadu sama Tuhan kalo lo nyesel punya kakak kayak gue.”
Mengingat Rama dan semua kejadian yang menimpanya, masih menjadi kesedihan yang tak bisa Ferdi mungkiri. Air mata yang semula hanya berupa genangan saja, kini perlahan menuruni pipi. Ferdi terlalu merindukan kehadiran Rama yang tak pernah bertengkar dengannya, karena mereka benar-benar memiliki satu sifat yang sama. Ya, sama-sama jail dan sering mengganggu Putra.
“Gustam,” ucap Ferdi, merogoh saku celana seragamnya dan mengeluarkan sebuah foto berukuran 4x6 yang diberikan Bu Diah saat pulang berziarah dari makam Gustam. “Gue harap Tuhan denger doa-doa gue tentang lo. Gue harap, lo nggak pernah nyesel punya sahabat pengecut dan kurang peka kayak gue. Makasih karena kita pernah sama-sama berjuang menaklukkan kehidupan yang semakin hari, rasanya semakin kurang ajar. Lo hebat, Gustam. Lo sahabat terbaik yang pernah gue miliki.”
Foto itu diambil sepulang sekolah di jembatan dekat kompleks. Salah satu tempat Ferdi dan Gustam biasa menghabiskan hari hingga sore menjelang, walaupun hanya diisi dengan cerita-cerita hidup mereka. Tangan Ferdi gemetar menyeka tulisan yang ada di balik foto itu. sesuatu yang selama ini memang selalu Gustam katakan pada Ferdi, juga pada dirinya sendiri.
Setiap manusia berhak tidak baik-baik saja. Jadi, akuilah. Tuhan akan selalu menolongmu.
Habis sudah ketangguhan Ferdi menahan air matanya sendiri. Ferdi menangis tanpa bersuara, seakan-akan seluruh suara telah diwakilkan oleh air mata yang memberondong membasahi pipi, tetapi kembali kering karena terpaan sinar matahari.
“Gue janji, gue bakalan hidup lebih baik lagi. Gue punya Putra, Arlen, Dimas, dan temen-temen yang selama ini ngasih gue banyak pelajaran. Gue janji,” katanya, mengepalkan tangan meyakinkan diri sendiri.