Menghabiskan waktu bersama orang yang disayangi adalah hal mahal yang tidak bisa dibeli oleh uang. Semakin hari, Ferdi merasa lebih baik dan mulai terbiasa dengan kehidupannya sekarang. Dia juga sering mengobrol dan saling meledek dengan Putra lagi seperti sebelum kenyataan menghancurkan semangat Ferdi. Selain dengan Putra, hubungannya dengan Arlen pun bisa dibilang sedang hangat-hangatnya.
Setelah berhasil lolos dari Siska sang ratu gosip yang kepo terhadap hubungan Arlen dan Ferdi, mereka pun berhenti di sebuah kedai es krim sesuai ajakan Ferdi. Arlen tersenyum semringah melepas helm dan menyerahkannya kepada Ferdi, lalu masuk lebih dulu ke kedai es krim yang saat ini sedang hit di kalangan anak remaja.
Pada saat Ferdi hendak menyusul Arlen, seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya. Tentu saja Ferdi terkejut dan langsung menoleh saat itu juga. Didapatinya seorang pria paruh baya bersama seorang anak berusia sekitar lima tahun. Orang itu tampak terkejut bisa bertemu dengan Ferdi setelah cukup lama mereka tidak bertemu. Kalau tidak salah, terakhir bertemu saat di rumah sakit.
“Dokter?” kata Ferdi, memandang Dokter Jo dan anak laki-laki yang dituntunnya.
Dokter Jo tersenyum lebar. “Apa kabar, Ferdi? Kelihatannya sekarang sudah membaik, ya,” ujarnya masih mempertahankan senyum yang sama.
“Alhamdulillah, Dok. Banyak orang yang bantu saya melewati semuanya, termasuk Dokter Jo.” Ferdi masih sangat ingat betapa kerasnya Dokter Jo memberikan saran agar dia mau konsultasi kepada psikolog. Dokter Jo yang berstatus sebagai dokter umum itu memang tidak memiliki banyak wewenang untuk menangani Ferdi yang memiliki permasalahan istimewa dibandingkan pasien-pasiennya yang lain. Selama ini Dokter Jo hanya membantu perawatan Ferdi setiap kali terluka karena self-harm yang dilakukannya.
“Kamu hebat!” Dokter Jo menepuk lengan Ferdi beberapa kali. “Saya senang bisa melihat kamu lebih baik. Jujur saja, rasanya saya nggak tega waktu lihat kakak kamu nangis di depan saya karena kamu sering self-harm.”
Ferdi tercengang, karena tidak pernah mengetahui hal itu. “A-apa iya, Dok?” tanyanya dengan tatapan membelalak.
“Iya. Kakak kamu itu sungguh luar biasa.” Seulas senyum tercetak di bibir Dokter Jo. “Apa sekarang kamu psikoterapi?”
“Iya, Dok. Saya masih butuh psikoterapi karena sesekali masih ada keinginan self-harm.” Kini giliran Ferdi yang menyunggingkan senyum, walau senyumnya hambar. Dia masih terlalu terkejut mendengar pernyataan Dokter Jo sebelumnya mengenai Putra.
“Lanjutkan! Kebahagiaan tergantung dari bagaimana caranya kamu mengolah emosi dan perasaan. Kamu punya kakak yang hebat, maka jadikan dia sebaik-baiknya tempat berbagi perasaan. Saya yakin, kamu bisa melewati semuanya lebih baik lagi.”
Sebelum Ferdi menyahut, Arlen keluar dari kedai. “Ferdi, kok lo ....” Kata-katanya terhenti saat menyadari ada dokter yang dilihatnya saat di rumah sakit, juga yang memberi tahu Arlen mengenai kondisi Ferdi meskipun secara tidak langsung.
“Eh, ada Dokter.” Arlen berubah kikuk dan mengangguk seramah mungkin. “Ini anaknya?” tanyanya, kentara sedang berusaha menutupi rasa malu yang memelintir wajahnya.
“Iya, ini anak saya. Kamu yang waktu itu ada di rumah sakit juga, kan?” terka pria paruh baya itu menatap Arlen. “Kalian .... pacaran?” terkanya lagi, berhasil membuat pipi Arlen memerah, begitu juga dengan Ferdi yang langsung salah tingkah.
“Oh, baik, baik, saya mengerti.” Dokter Jo terkekeh menyadari rona dua anak muda di hadapannya sudah berubah.
“Dok, saya duluan, ya. Sekali lagi makasih untuk semua kebaikannya.” Merasa situasi tidak begitu menguntungkan, Ferdi akhirnya memilih undur diri saja daripada semakin dibuat merona oleh pertanyaan-pertanyaan Dokter Jo seputar hubungannya dengan Arlen.
Dokter Jo pun mengangguk sambil tersenyum, lalu bergegas menuju mobil bersama anaknya yang tertidur di gendongan. “Cinta mengalahkan sesuatu yang terasa tidak mungkin,” gumamnya.
***
Satu per satu masa sulit berhasil dilewati dengan penuh pengorbanan dan air mata. Tak ada yang sia-sia, sekalipun dalam prosesnya terasa begitu memuakkan. Arlen menarik napas cukup panjang sebelum masuk ke mobil Bu Vina dan menuju ke sekolah. Hari ini jadwal pembagian rapor bagi seluruh siswa SMA Bunga Bangsa. Sejak Ferdi tidak lagi melakukan self-harm, Arlen jadi lebih fokus pada kesibukannya sebagai Ketua OSIS sebelum menyerahkan jabatan pada ketua baru. Dia juga semakin rajin belajar karena ingin mengalahkan Ferdi, sesuai tantangan yang sama-sama mereka sepakati.
Sementara itu, Ferdi mondar-mandir di teras sambil berdecak beberapa kali. Dia merasa kesal karena Putra masih berdandan di kamar, padahal pembagian rapor akan segera dimulai sepuluh menit lagi. Bisa saja Ferdi pergi lebih dulu ke sekolah menggunakan motor bututnya, tetapi sialnya semalam Putra berhasil mengambil kunci motor miliknya.
“Putraaa! Ya ampun, lo kapan kelarnya, sih? Buruan, deh! Lama bener ketimbang mau ngambil rapot doang, oi!” Sudah ketiga kalinya Ferdi berteriak dengan kalimat yang sama. Lama-lama dia kesal juga karena Putra menghabiskan waktu secara percuma.
“Apa jangan-jangan dia pingsan?” Sontak Ferdi berlari ke dalam menuju kamar Putra. “Put! Apa lo ....”
“Kenapa?” Putra berbalik dengan ekspresi tenang, seakan tidak sadar kalau apa yang dilakukannya sudah membuat Ferdi kesal setengah mati.
“Putra sialan! Ngapain lo pake-pake jas begitu? Astaga! Ini udah telat, Putraaa!”
Putra tertawa melihat wajah Ferdi yang memerah. “Gue lagi nyoba jas yang kemarin dipilih sama Cica. Gimana menurut lo, keren enggak?”
Bug!
Ferdi menendang pintu kamar sangat keras. Menyalurkan semua kekesalan yang sejak tadi ditahannya. “Tiga menit lo nggak cabut, gue berangkat sendiri!” katanya, meninggalkan kamar Putra.
“Dia beneran ngamuk,” kikik Putra, segera melepas jas yang baru dicobanya dan bersiap sebelum Ferdi semakin murka.
***