Setiap detik mataku begitu sibuk mengamati larik kata yang bergerak menyamping dari balik layar kaca berukuran satu meter yang digerakkan oleh listrik. Papan layar itu berada persis di depan jeruji tunggu berukuran empat meter persegi. Temboknya berwarna kuning gelap. Aku berada di dalam ruangan itu bersama lima belas terpidana yang menanti sidang. Kata yang bergerak dan tak kuinginkan keberadaanya itu berbunyi “Ruang Tunggu Sidang Pengadilan Negeri Yogyakarta”.
Sekarang hari Selasa, tanggal satu, bulan sembilan. Empat bulan lagi tepat seribu hari nenek meninggal. Aku pastikan akan merayakan hari kematian itu dari balik jeruji. Karena aku terancam terkena pasal 362 kasus pencurian. Itu artinya hukuman lima tahun kurungan penjara akan kembali aku nikmati.
“Boleh aku berdiri di sampingmu?” seorang tambun berkacamata tebal, dan mengenakan arloji mentereng menghampiriku.
“Silakan,”
“Anda kena hukuman berapa lama?” seorang tambun itu mulai bertanya. Kemejanya begitu harum. Sangat rapi sekali. Badannya juga putih bersih, meski bukan seorang Cina. Mungkin dia orang penting.
Bagiku pertanyaan itu begitu mencabau berlapis-lapis hati yang sudah tak miliki warna ini. Bukan persoalan seberapa lama aku akan dikurung. Namun hati ini begitu berat jika harus meninggalkan sembilan bocah di panti Hafara. Mereka pemalas yang tak tahu diri. Jangankan untuk hidup, berpikir saja itu pekerjaan yang berat bagi mereka. Para anak jalanan itu membutuhkanku. Siapa yang mengurus makan mereka mulai hari ini? Gerutuku pagi itu
“Mungkin lima tahun. Atau bisa saja lebih. Aku mencuri sepeda motor tetangga,” kataku dengan berusaha menolak memandangi kata berbaris yang menyebalkan tepat di depanku itu.
“Kalau begitu aku lebih beruntung. Aku hanya dihukum dua tahun penjara,”
“Kasus apa?”
“Penggelapan uang. Aku seorang bendahara. Kata pengacara hukumanku hanya dua tahun. Itu pun jika aku kembalikan uang yang dituduhkan padaku, hukumannya bisa lebih ringan. Jika dendanya ku bayar, mungkin pula aku bisa bebas,” katanya. Betul bukan?. Seorang tambun ini memang orang penting. Ku biarkan seorang tambun ini terus bicara. Begitu aku mengetahui perkara yang menjeratnya, ludahku begitu sulit ku telan,“Saudara Haji Anwar,”
Pekik suara dari benda hitam di pojok tembok itu membuatku harus meninggalkannya. Aku sudah tidak kaget dengan suara itu. Sudah dua kali namaku disebut oleh robot aneh yang digantung di atas tembok sana.
“Itu namaku dipanggil,” aku meninggalkannya. Seorang tambun itu seketika berhenti bicara. Matanya membuntutiku hingga ke pintu ruang sidang.