Andai semua tempat di dunia adalah Jogja. Pasti di ujung Utara dari belahan dunia ku temui Jogja, di kutub Selatan juga ku temui Jogja, di Barat hingga Timur semuanya Jogja, tentu aku tak perlu menyewa seorang ahli kejiawaan saat di tahanan dulu. Lima tahun hukuman telah usai ku jalani. Hidup di balik jeruji membuatku hampir gila. Mata membelalak setiap malam. Paginya badan lesu, lelah, perut mual, serta berat kepala melebihi tubuh. Tubuh sendiri kaku dan hampir saja menjadi pemalas. Selain menyalahkan diri sendiri, ajakan untuk bunuh diri menjadi garis finish diujung pagi. Aku kian menjadi diri yang lain.
Di Malioboro desas-desus tentang diriku yang keluar dari penjara mulai meresahkan sebagian orang. Karyo adalah satu dari sekian banyak orang yang tak menginginkan diriku keluar dari penjara. Dia adalah bos parkir di area pasar Beringharjo. Dulu kami bersahabat dekat. Pertemanan kami congkrah karena kami berebut lahan parkir. Itu sudah terjadi begitu lama, namun tetap saja ia enggan menerima maaf dariku. Kami berdua pun paham, debu tak bisa menolak ketika diseret badai. Sebab itu maaf tidak pernah berlaku. Kejam memang, tapi begitulah hidup kami. Di jalanan perut kami meminta nasi, bukan maaf.
Waktu itu hampir saja subuh. Kira-kira pukul tiga lewat empat puluh lima menit. Malioboro begitu hening, hanya sisa-sisa suara gelak tawa para turis dan keluarga tanpa cacat yang mencoba kutangkap. Pekik suara itu sekejap berhasil ku tangkap, kadang tiba-tiba menghilang, digantikan suara air beriak yang sulit tertelan oleh kerongkongan si Deden. Dia pengamen tuna netra yang kerap kali bersenandung di depan toko besar deretan Malioboro.
Aku berjalan terus menuju Selatan. Tak dapat ku bayangkan nasib Malioboro tanpa akhir pekan. Mungkin akan sama denganku saat ini. Merindukan kekayaan, tapi hanya mampu mengais sisa makanan, dan tertunduk menghujat kalam. Jika aku adalah kalam, ku pilihkan angin bukan sembarang angin, hujan bukan sembarang hujan, waktu bukan sembarang waktu untuk Malioboro. Akan ku tempatkan waktu untuknya selalu di pukul empat pagi, ku pilihkan untuknya angin sedemikian angin pagi ini yang menyambut kepulanganku menjalang di balik penjara. Ku turunkan hujan untuk Malioboro, hujan La Nina. Hujan dari dinginnya pasifik yang menumbuhkan awan, lalu kawin menjadi butir-butir air penyejuk. Butir-butir air itu lah yang membasuh dosa sejak pagi hingga pagi lagi. Air itu jalannya ke laut, dan di hancurkan lah dosa-dosa yang terbawa La Nina bersama karang.
“Haji Anwar. Kau kah itu?” suara itu seperti pernah ku kenal. Lemah, tanpa ada ketegasan dan sumbernya kepasrahan. Itu suara Ipul, anakku. Ia mendekat untuk memastikan jika pria yang berdiri di depan toko sendal adalah aku. Waktu itu hujan turun teramat deras. Ipul hanya mengenakan selembar plastik untuk melindungi dari terpaan air.
“Kau rupanya, nak,”
“Pak haji!” ia berlari menghampiriku. Plastik yang melindunginya dilepeh. Tubuhku ia buru. Pelukan darinya cukup membuatku tenang. Rupanya Malioboro memang tak pernah sendirian.
“Sudah minta kawin kok masih nangis saja, nak,” kataku mencoba menenangkannya. Bocah itu menangis tak terkendali. Bagai bayi yang ketakutan bercampur bahagia menyaksikan dunia setelah sembilan bulan di perut ibunya.
“Pak haji. Aku mohon, pak Haji jangan mencuri lagi,” pintanya.
“Tidak bisa, nak. Boneka mu tak abadi. Selama masih ada rasa lapar di jalan, itu artinya ada yang salah. Barangkali kita harus menjadi bagian yang salah, agar sahabatku yang lain mampu melihat kebenaran,” kataku.
“Tapi mencuri tidak dibenarkan, pak haji. Bapak sendiri seorang haji. Tentu lebih paham tentang dosa,” ia mulai melepas pelukan itu. “Bagaimana jika mereka tak juga pula melihat kebenaran,” ternyata bangkai itu belum juga tercium meski telah lima tahun lamanya.
“Jadi kau belum tahu, nak?”
“Tahu soal apa, pak?”
“Sepeda yang membuatku dijerat hukuman lima tahun penjara itu bukan lah aku yang mengambil,”
“Aku betul-betul kecewa, pak. Selain mencuri, kau juga pandai memutar fakta. Selama ini hanya aku yang tahu tentang dirimu. Tenang saja, kita tak akan bertemu lagi,” ia berjalan pelan. Mungkin perasaannya kalah.
“Tunggu!” kakinya yang keras itu terhenti, ia biarkan bulir air hujan mengalir ditubuhnya yang lelah,”Yang mencuri sepeda motor itu adalah Karyo. Orang yang tak pernah bisa memaafkanku semenjak lahan parkir di Beringharjo beberapa tahun silam aku rebut,” kataku menjelaskan.
“Bagaimana caranya aku mempercayai ucapanmu, pak?”
Malam itu Karyo menawariku sepeda motor yang itu justru menjadi alat buktiku di hadapan hukum. Ia datang meminta bantuan padaku agar menjualkan satu sepeda motor. Aku tak tahu jika sepeda tersebut adalah barang hasil curian. Sepeda motor itu ku titipkan di tempat parkir biasa sembari menanti pembeli. Hampir dua pekan tak ada satu pun pembeli yang menghubungiku. Pekan ke tiga bulan Juli, seseorang mencariku. Ia memaksa untuk melihat sepeda motor titipan Karyo. Pria itu pun tertarik dan sepakat untuk membeli dengan harga yang ku tentukan. Sejak itu aku kesulitan untuk menghubungi Karyo. Pikirku hendak ku sampaikan padanya jika ada satu calon pembeli yang ingin memboyong sepeda motornya.
“Menghilang, nak. Karyo tak bisa dihubungi. Aku tanyakan pada anak buahnya juga tak ada yang tahu,”