Namaku Annisa Bidadari. Orang-orang biasa memanggilku An. Siang itu aku merasa tidak enak badan. Setelah urusanku di fakultas psikologi selesai, aku bergegas menuju pintu gerbang kampus selatan Unair. Aku berdiri di tepi jalan Airlangga, menunggu angkot jurusan Asem Mulya. Tidak berapa lama kemudian angkot jurusan Asem Mulya muncul. Aku melambaikan tangan. Angkot berhenti. Aku naik dan duduk di dekat pintu.
Angkot melaju, membelok ke jalan Dharmawangsa, melintasi viaduk yang membungkuk di atas rel kereta api stasiun Gubeng, melewati jalan-jalan protokol membelah kota Surabaya tengah. Beberapa kali angkot berhenti untuk menaikkan penumpang. Sampai di depan Tunjungan Plaza berhenti lagi untuk menurunkan penumpang.
Sepanjang perjalanan aku banyak menunduk. Aku merasa leherku tidak cukup kuat untuk menopang kepalaku. Sehingga mau tak mau aku menyandarkan kepalaku ke kaca jendela angkot. Aku juga merasa mual-mual sehingga aku menjejali mulutku dengan tisu agar air liurku tidak meluap.
Aku berdoa tiada henti. Aku memohon kekuatan kepada-Nya agar aku bisa berjalan sampai ke rumah. “Ya Allah! Berilah aku kekuatan. Aku tak ingin ambruk di jalan. Ya Allah mudahkan aku berjalan sampai ke rumah!”
Setengah jam kemudian angkota menginjak jalan Tidar. Ketika angkota hampir mendekati sebuah gang di kampung Asem, aku segera menekan bel. Angkota berhenti tepat di depan gapura gang. Aku turun, membayar ongkos. Lalu aku berjalan kira-kira seratus meter menuju rumahku.
Dengan langkah gontai aku berusaha mencapai rumahku. Jalan yang aku lewati saat itu sepi. Tidak ada motor atau orang yang lewat di jalan di depan rumahku. Suasana di sekitar rumahku pun tampak lengang. Sehingga tidak ada orang yang menyaksikan kedatanganku. Begitu tiba di depan rumahku, aku membuang satu genggam kertas tisu yang sudah kotor ke tong sampah. Setelah itu aku membuka pintu pagar dan memasuki halaman rumahku. Aroma tanaman melati yang bunganya telah mekar sempurna menyambut kedatanganku. “Masya Allah harum dan segar.” Aku berseru seketika begitu mencium baunya yang harum. Sejenak harumnya membuat suasana hatiku sedikit membaik.
“Assalamu alaikum!” ucapku.
“Waalaikumsallam.” Ibu menjawab salamku dari dapur. Lalu aku bergegas memasuki kamarku dan menjatuhkan tubuhku ke tempat tidur. Aku langsung memeluk guling sambil memegang tisu. Kira-kira lima menit kemudian. Ibu datang ke kamarku dan menghampiri aku. “Kenapa kamu, An?” tanya Ibu setelah duduk di tepi tempat tidur.
“Mual-mual dan kepalaku pusing, Bu!” Aku berkata sambil mengelap air liurku yang terus-menerus mengalir dengan tisu.
Ibu memegang dahiku. “Badanmu panas sekali, An. Mungkin kamu masuk angin!”
Aku memandang Ibu. “Ya, Bu. Mungkin aku masuk angin.”