Ini adalah hari ke dua aku menjalani rawat inap di rumah sakit. Ketika tim medis hendak memeriksaku, seorang perawat perempuan meminta Ibu untuk meninggalkan ruangan. Kemudian perawat itu membenahi peralatan medis yang menempel di tubuhku dan mengajak temannya untuk memindahkan aku ke atas kereta pasien. Mereka membawa aku ke beberapa tempat rekam medik. Lalu kembali ke ruang rawat inap penyakit dalam.
Dalam keadaan tergolek lemah tanpa daya di atas kereta pasien, tiba-tiba Nenek Khayalan alias Nenek Kha muncul di ruang imajinasiku. Nenek Kha adalah tokoh impian hasil rekaan imajinasiku dan sekaligus sahabatku dalam bisu sejak dua tahun yang lalu. Dia merupakan sosok muslimah tangguh yang rajin ibadah, gemar membaca buku dan bijak. Lantas dia berkata lirih, ”Annisa, jangan risau! Karena, sesungguhnya penyakitmu ini akan menggugurkan dosa-dosamu dan sekaligus membersihkan hatimu. Juga jalan untuk menjadi hamba yang dicintai-Nya. Apakah kamu tidak ingin menjadi hamba yang dicintai-Nya?”
“Tentu saja ingin Nenek Kha. Tetapi...” Belum selesai menjawab pertanyaan Nenek Kha, Dokter Hani memeriksaku dan melontarkan beberapa pertanyaan kepadaku.
“Apakah sekarang kamu merasa pusing?” Tanya Dokter Hani.
“Ya.” Aku menjawab singkat.
“Apakah bagian ini terasa sakit?” Dokter Hani menekan perutku bagian kanan.
Aku menganggukkan kepalaku sambil meringis menahan sakit.
Setelah menjalani pemeriksaan beberapa kali, dokter Hani, dokter spesialis penyakit dalam yang menangani kasusku memberikan penjelasan bahwa penyakit yang menyerangku adalah hepatitis B. Dan pendarahan hebat yang aku alami itu adalah melena. Hal itu terjadi sebagai akibat dari dinding usus yang terluka atau adanya perdarahan dalam traktus gastrointestinum. Jadi bukan karena aku mengalami keguguran.
^-^
Beberapa menit berlalu. Kondisi tubuhku semakin kritis. Serangan virus hepatitis B dengan melena itu membuat tubuhku betul-betul menjadi lemah tak berdaya, apalagi aku pernah terserang menjadi typhus hingga tiga kali. Hal itu juga membuat aku berada dalam keadaan antara sadar dan tidak selama beberapa saat.
Mataku pelan-pelan terpejam. Tubuhku mendadak terasa ringan. Seakan-akan hendak terbang ke langit. Mungkin aku akan meninggal sebentar lagi. Kataku dalam hati seraya mencoba pasrah. Baru saja aku memasuki fase tidur pertama. Mungkin tidur-tidur ayam. Tiba-tiba dasyatnya api neraka terbayang jelas di pelupuk mataku. Bahan bakarnya dari manusia. Lidah apinya berkobar-kobar menyambar apa saja yang ada di dekatnya. Panasnya membara entah berapa derajat celsius hingga membuat kulit penduduk neraka hangus seketika. Mereka berteriak histeris meminta tolong. Mereka kelihatan kesakitan tanpa kesudahan. Ketakutan yang luar biasa pun menyerang jiwaku.
Samar-samar terdengar suara Ibu. “Bangun, An! Bangun, An!” Ibu berseru sambil mengguncang-guncang tubuhku dengan keras.
Aku terbangun. “Alhamdulillah Allah masih memberiku hidup,” ucapku spontan.
“Semangat, Annisa!” Ibu menimpali.