Ini adalah hari ke tiga aku menjalani rawat inap di rumah sakit. Salah satu anggota tim medis menyampaikan kabar bahwa dokter akan mengambil tindakan operasi untuk menambal ususku yang bocor akibat melena. Artinya aku harus menjalani operasi. Awalnya hatiku memberontak, tidak mau menerima keputusan itu. Tetapi setelah aku menyadari betapa bekal yang kubawa ke kampung akhirat teramat sedikit dan aku takut masuk neraka maka mau tak mau aku menjalani operasi agar ada harapan hidup. Meskipun demikian aku merasa seolah-lah kematian sudah di depan mata. Apalagi ketika teringat firman-Nya dalam surat AL-Anbiya ayat 35 berikut ini,”Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya kepada Kamilah kamu akan dikembalikan.”
Cepat atau lambat, kematian pasti menghampiriku. Dia Yang Maha Hidup berfirman dalam surat Al-jumuah ayat 62., “Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, ia pasti akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. ”
Dalam situasi genting seperti itu, aku melihat bibir komat kamit tiada henti. Bibir yang bergerak-gerak itu milik seorang perempuan paro baya yang aku panggil Ibu. Ya perempuan yang melahirkan aku. Ia berdoa tak kenal lelah. Ia memohon kepada-Nya agar Allah memberiku kesembuhan. Suaranya lirih sekali. Hampir-hampir aku tak bisa mendengarnya.
Jantungku berdegup semakin kencang. Tiba-tiba Nenek Kha muncul di ruang imajinasiku. “Hai Annisa! Apakah kamu ingat isi ceramah ustadz Fauzi di pengajian Tawakal?” tanya Nenek Kha kepadaku.
“Ceramah yang mana? Bukankah ceramahnya banyak sekali.’
“Ceramah tentang bagaimana sikap kita terhadap penyakit.”
“Oh ceramah itu. Menurut ustadz Fauzi, setiap penyakit itu ada obatnya kecuali penyakit tua dan kematian. Jika kita menyikapi penyakit yang menyerang kita sebagai bentuk teguran kasih sayang-Nya agar kita kembali kepada-Nya, maka penyakit itu identik dengan sinyal bahwa di hati kita ada noda. Sehingga kita harus membersihkan hati kita dengan bertobat dan banyak istighfar, memohon ampun kepada-Nya.”
“Benar An. Jadi jika penyakit yang menyerang tubuhmu sangat parah maka boleh jadi noda-noda atau dosa-dosa yang ada di hatimu sudah melebihi ambang batas toleransi. Sehingga kamu harus menggelontornya.”
“Menggelontornya? Seperti kholesterol jahat saja.”
“Kalau kholesterol jahat dengan obat. Sedangkan dosa dengan banyak tobat, yaitu dengan membaca istighfar sebanyak-banyaknya dan bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa itu lagi. Sehingga penyakit yang menimpamu akan menggugurkan dosa-dosamu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “ Jadi tidak mengapa, rasa sakit ini sebagai pembersih dosa.. Hadis riwayat Al-Bukhari nomor .3616.”
“Begitu ya Nenek Kha?’
“Ya Annisa. Ketika sakit kamu wajib berobat sesuai dengan kemampuan kamu. Minum obat yang tepat dan tetap menjadi muslimah taat. Menjadikan sabar dan salat sebagai penolong, berdoa tak kenal lelah memohon kesembuhan kepada-Nya dan tawakal, hasil akhir kamu serahkan kepada-Nya saja. Apapun hasilnya. Setelah kamu berikhtiar seoptimal mungkin dan berdoa maka itulah keputusan yang terbaik dari-Nya. Jika kamu tidak mau berobat maka sama saja kamu berputus asa dari rahmat-Nya. Padahal rahmat-Nya meliputi langit dan bumi,” lanjut Nenek Kha lalu dia pergi.