Setelah tidak menjalani pengobatan di rumah sakit, aku menjalani rawat jalan di rumah. Sehingga otomatis aku banyak menghabiskan hari-hariku di rumah. Dan sejak saat itu aku mulai serius mengerjakan salat wajib tepat waktu. Aku juga mulai membiasakan mengerjakan lima kunci atau lima amalan sunnah seperti membaca Alquran, salat sunnah Dhuha dan Tahajud, berpuasa sunnah Senin Kamis, bersedekah dan dzikrullah.
Setiap pagi usai menunaikan salat Subuh, aku menyetel radio Islam untuk mengikuti kuliah subuhnya. Lalu aku menyiram tanaman yang tumbuh di halaman depan. Ada tanaman melati, srikaya dan belimbing wuluh. Setelah salat Dhuha aku membantu Ibu di dapur.
Pada waktu-waktu tertentu aku pergi ke kampus Unair untuk menyelesaikan urusan kuliahku. Setelah aku lulus sebagai sarjana psikologi, aku mengajak temanku Maria mengisi kegiatan di Yayasan Asy-Syifa Surabaya. Maria adalah alumni psikologi Unair seperti aku. Bersama Maria, aku menghabiskan waktuku di Yayasan Asy-Syifa. Kegiatan kami di Asy-Syifa antara lain memberikan bimbingan belajar anak usia pra-sekolah, menjual alat mainan edukatif dan menangani anak-anak berkebutuhan khusus, terutama anak-anak autis dan tuna grahita atau anak-anak yang mengalami retardasi mental..
Setiap sepertiga malam, aku berjuang melawan rasa kantukku agar bisa menunaikan salat Tahajud. Lalu aku membaca zikir, shalawat, istighfar dan memanjatkan doa kepada-Nya, Zat yang tak pernah menolak permintaanku. ”Ya Hayyu Ya Qoyyum! Dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan-Mu. Perbaikilah semua masalahku. Dan jangan bebankan kepada diriku barang sekejab matapun jua.”
Dalam keheningan malam, aku menarik nafas dalam-dalam dan berdoa lagi, “Ya Allah. Jadikanlah cintaku kepada-Mu lebih dari cintaku kepada diriku, kerabatku dan air yang sejuk!”
Ketika perasaan cintaku kepada-Nya sudah memenuhi relung hatiku, maka aku pun mengakhiri munajatku. Tetapi sebelum itu, aku memberi kesempatan kepada batinku untuk mencurahkan seluruh hatiku lagi kepada Zat yang tak pernah bosan menerima curhatanku. Aku curhat kepada-Nya sampai air mataku meleleh membasahi pipiku. Sehingga ketegangan psikisku berkurang dan di dalam hatiku ada ketenangan. Kemudian dengan perasaan malu karena masa lalu yang kelabu dan harap-harap cemas karena takut Allah tidak membalas, aku berdoa lagi kepada-Nya dengan nada memelas, “Ya Allah. bimbinglah aku menjadi hamba yang Engkau cintai. Jadikanlah aku hamba pilihan-Mu sebagaimana Maryam binti Imron, ibunda nabi Isa Alaihisallam.”
Mendadak aku merasa ragu-ragu, tidak PD bermimpi. “Pantaskah aku bermimpi menjadi hamba yang dicintai-Nya seperti Maryam binti Imran?” Aku bertanya kepada diriku sendiri.
“Setiap orang berhak bermimpi apa saja,” celetuk Nenek Kha yang tiba-tiba muncul di ruang imajinasiku
“Kalau begitu aku tidak akan menikah...”