Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #6

Lima Kunci

Setelah tidak menjalani pengobatan di rumah sakit,  aku menjalani rawat jalan di rumah. Sehingga otomatis aku banyak menghabiskan hari-hariku di rumah. Dan sejak saat itu aku mulai serius mengerjakan salat wajib tepat waktu. Aku  juga mulai membiasakan  mengerjakan lima kunci atau lima amalan sunnah seperti membaca Alquran, salat sunnah Dhuha dan Tahajud, berpuasa  sunnah Senin Kamis, bersedekah  dan dzikrullah.

Setiap  pagi usai menunaikan  salat Subuh, aku menyetel radio Islam untuk  mengikuti kuliah subuhnya.  Lalu aku menyiram tanaman yang tumbuh di halaman depan. Ada tanaman melati, srikaya dan belimbing wuluh.  Setelah salat Dhuha aku  membantu Ibu di dapur.                       

Pada waktu-waktu tertentu aku pergi ke kampus Unair untuk menyelesaikan urusan kuliahku. Setelah aku lulus sebagai  sarjana psikologi, aku mengajak temanku   Maria mengisi kegiatan di Yayasan Asy-Syifa Surabaya. Maria adalah alumni psikologi Unair seperti aku. Bersama  Maria, aku menghabiskan waktuku di Yayasan Asy-Syifa. Kegiatan kami di Asy-Syifa antara lain memberikan  bimbingan  belajar  anak usia pra-sekolah, menjual alat mainan edukatif dan menangani   anak-anak   berkebutuhan khusus, terutama  anak-anak  autis  dan tuna grahita atau anak-anak yang mengalami retardasi mental..

Setiap  sepertiga  malam, aku berjuang melawan rasa kantukku agar bisa menunaikan salat Tahajud. Lalu aku membaca zikir, shalawat, istighfar dan memanjatkan doa kepada-Nya,  Zat  yang  tak  pernah  menolak  permintaanku. ”Ya Hayyu Ya Qoyyum! Dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan-Mu. Perbaikilah semua masalahku. Dan jangan bebankan kepada diriku barang sekejab matapun jua.”  

Dalam keheningan malam,  aku  menarik  nafas  dalam-dalam dan berdoa  lagi, “Ya  Allah. Jadikanlah  cintaku  kepada-Mu  lebih  dari cintaku  kepada  diriku, kerabatku dan  air  yang sejuk!”  

Ketika  perasaan  cintaku  kepada-Nya  sudah  memenuhi  relung  hatiku, maka aku  pun  mengakhiri  munajatku.  Tetapi   sebelum itu,  aku memberi  kesempatan kepada batinku  untuk  mencurahkan seluruh hatiku lagi kepada Zat yang tak pernah bosan  menerima curhatanku. Aku curhat kepada-Nya sampai air mataku meleleh membasahi pipiku. Sehingga ketegangan  psikisku berkurang dan di dalam hatiku  ada ketenangan. Kemudian dengan  perasaan  malu  karena  masa lalu  yang   kelabu  dan  harap-harap  cemas  karena takut Allah  tidak  membalas, aku berdoa lagi  kepada-Nya  dengan  nada  memelas,  “Ya  Allah. bimbinglah aku menjadi  hamba yang Engkau cintai. Jadikanlah aku hamba pilihan-Mu sebagaimana Maryam binti Imron, ibunda nabi Isa Alaihisallam.” 

  Mendadak  aku merasa ragu-ragu, tidak PD bermimpi.  “Pantaskah aku  bermimpi  menjadi hamba yang dicintai-Nya seperti Maryam binti Imran?” Aku bertanya kepada diriku sendiri.  

“Setiap orang berhak bermimpi apa saja,” celetuk  Nenek Kha yang tiba-tiba muncul di ruang imajinasiku

“Kalau begitu aku tidak akan menikah...”

Lihat selengkapnya