Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #9

Rumah di Surga

Setelah menikah, Mas Dedi mengajakku tinggal di rumahnya di desa Taman. Desa  yang terletak di lereng gunung Argopuro itu tergolong desa tertinggal. Aku  tinggal  bersama  Mas Dedi  di  rumah sangat sederhana. Separo rumah kami berdinding papan kayu, separonya berdinding anyaman bambu.  Lantainya plesteran yang sudah bopeng-bopeng.   Rumah kami  terdiri  atas  tiga ruang. yaitu teras  untuk  menerima   tamu dan ruang   tengah  untuk  tidur  dan  paling belakang dapur.  Rumah kami  tidak  mempunyai fasilitas  listrik PLN,  Air   PDAM  (Perusahaan  Daerah  Air  Minum),  kamar  mandi  dan  WC.  Sehingga kami buang air di sungai dan mandi di ponten.

          Setiap  pagi  sebelum  berangkat  ke  Pesantren Langit tempat aku mengajar,  aku  mengambil  air  bersih. Aku mengangkut timba berisi air bersih  dari sumber mata  air  sampai ke rumah hingga tempayan di rumah penuh. Lalu aku  mencari  ranting-ranting kering yang berserakan  di  kebun  belakang  rumah,  menyiram  tanaman,  memetik  sayur di  pekarangan,  membersihkan  rumah, menyalakan  tungku,  menjerang  air,  menanak  nasi  dan  memasak  untuk  makan  pagi. 

           Pagi  itu setelah  air di atas tungku mendidih, aku  memasak  nasi goreng.  Aku mengambil nasi  sisa  kemarin dari tempat nasi. Ada   sepiring  penuh. Kemudian aku menghaluskan  cabe  merah,  bawang putih,  terasi,  garam di atas cobek.  Bawang  daun aku  iris  tipis-tipis.  Minyak   goreng  sebanyak  tiga sendok  makan  aku tuang  ke dalam wajan.  Setelah  minyaknya  panas,  bumbunya  aku tumis  sampai  mengeluarkan  aroma  harum.  Setelah memasukkan daun bawang, aku memasukkan nasi.  Lalu semua bahan tersebut aku aduk-aduk   sampai tercampur  rata.  Setelah  nasi  goreng  masak,  wajan  aku angkat. Nasi  goreng  dua  porsi  plus  krupuk  siap  aku sajikan  di  atas  meja. Aku dan suamiku  menyantapnya  dengan  lahap.     

          Ketika  jam  di  dinding  menunjukkan  pukul  tujuh  pagi,  Aku  dan  suamiku bersiap-siap  berangkat ke  pesantren Langit. Kami berjalan kaki  menuju pangkalan ojek.   Di tengah perjalanan aku melihat rumah sederhana berdinding tembok. Di halaman sampingnya tumbuh rumpun bambu. Di depannya ada pohon mangga dan kolam ikan lele. 

“Rumah itu bagus ya, Mas Dedi!” kataku sambil jariku menunjuk ke arah rumah itu.    

Mas Dedi  melihat rumah itu sekilas tanpa berkata apa-apa.

Iseng-iseng aku bertanya kepada suamiku. “Kapan kita bisa punya rumah seperti itu ya Mas Dedi?” 

Mas Dedi memandangku  sebentar, menarik nafas panjang. Kemudian   matanya menerawang jauh. “Insya Allah nanti kalau kita sudah di surga, Annisa!” ucap Mas Dedi.

“Ingin rumah yang sederhana saja harus menunggu di surga,” kataku sedikit kesal.

Mas Dedi menoleh ke arahku. Menatapku sinis..   

“Maaf, Mas Dedi. Jangan pedulikan ucapankui tadi.  Aku tadi hanya iseng.” Aku meralat ucapanku sambil memegang lengannya. 

Mas Dedi diam. Laludia  melambaikan tangannya ke seorang sopir ojek yang sedang menunggu penumpang di pangkalan ojek.  

Ojek menghampiri kami. Mas Dedi naik ke boncengan. Aku naik. Duduk di belakang suamiku. Tak lama kemudian ojek meluncur menuju pesantren Langit. Sepuluh menit kemudian ojek sampai di depan pintu gerbang pesantren Langit. 

Aku turun. Suamiku turun. Ia  membayar ongkos ojek. Aku mencium tangan suamiku. Lalu aku berjalan menuju tempatku mengajar. Sementara suamiku menuju ke kantor Yayasan.

Aku mengajar santri Madrasah Aliyah sekitar empat  jam pelajaran.  Sedangkan   bimbingan konseling untuk santri putri  dan kunjunganke  asrama puteri pesantren Langit sekitar satu jam . 

“Assalamu’alaikum!” ucap aku ketika memasuki salah satu kamar di asrama puteri.

Lihat selengkapnya