Setelah menikah, Mas Dedi mengajakku tinggal di rumahnya di desa Taman. Desa yang terletak di lereng gunung Argopuro itu tergolong desa tertinggal. Aku tinggal bersama Mas Dedi di rumah sangat sederhana. Separo rumah kami berdinding papan kayu, separonya berdinding anyaman bambu. Lantainya plesteran yang sudah bopeng-bopeng. Rumah kami terdiri atas tiga ruang. yaitu teras untuk menerima tamu dan ruang tengah untuk tidur dan paling belakang dapur. Rumah kami tidak mempunyai fasilitas listrik PLN, Air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), kamar mandi dan WC. Sehingga kami buang air di sungai dan mandi di ponten.
Setiap pagi sebelum berangkat ke Pesantren Langit tempat aku mengajar, aku mengambil air bersih. Aku mengangkut timba berisi air bersih dari sumber mata air sampai ke rumah hingga tempayan di rumah penuh. Lalu aku mencari ranting-ranting kering yang berserakan di kebun belakang rumah, menyiram tanaman, memetik sayur di pekarangan, membersihkan rumah, menyalakan tungku, menjerang air, menanak nasi dan memasak untuk makan pagi.
Pagi itu setelah air di atas tungku mendidih, aku memasak nasi goreng. Aku mengambil nasi sisa kemarin dari tempat nasi. Ada sepiring penuh. Kemudian aku menghaluskan cabe merah, bawang putih, terasi, garam di atas cobek. Bawang daun aku iris tipis-tipis. Minyak goreng sebanyak tiga sendok makan aku tuang ke dalam wajan. Setelah minyaknya panas, bumbunya aku tumis sampai mengeluarkan aroma harum. Setelah memasukkan daun bawang, aku memasukkan nasi. Lalu semua bahan tersebut aku aduk-aduk sampai tercampur rata. Setelah nasi goreng masak, wajan aku angkat. Nasi goreng dua porsi plus krupuk siap aku sajikan di atas meja. Aku dan suamiku menyantapnya dengan lahap.
Ketika jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, Aku dan suamiku bersiap-siap berangkat ke pesantren Langit. Kami berjalan kaki menuju pangkalan ojek. Di tengah perjalanan aku melihat rumah sederhana berdinding tembok. Di halaman sampingnya tumbuh rumpun bambu. Di depannya ada pohon mangga dan kolam ikan lele.
“Rumah itu bagus ya, Mas Dedi!” kataku sambil jariku menunjuk ke arah rumah itu.
Mas Dedi melihat rumah itu sekilas tanpa berkata apa-apa.
Iseng-iseng aku bertanya kepada suamiku. “Kapan kita bisa punya rumah seperti itu ya Mas Dedi?”
Mas Dedi memandangku sebentar, menarik nafas panjang. Kemudian matanya menerawang jauh. “Insya Allah nanti kalau kita sudah di surga, Annisa!” ucap Mas Dedi.
“Ingin rumah yang sederhana saja harus menunggu di surga,” kataku sedikit kesal.
Mas Dedi menoleh ke arahku. Menatapku sinis..
“Maaf, Mas Dedi. Jangan pedulikan ucapankui tadi. Aku tadi hanya iseng.” Aku meralat ucapanku sambil memegang lengannya.
Mas Dedi diam. Laludia melambaikan tangannya ke seorang sopir ojek yang sedang menunggu penumpang di pangkalan ojek.
Ojek menghampiri kami. Mas Dedi naik ke boncengan. Aku naik. Duduk di belakang suamiku. Tak lama kemudian ojek meluncur menuju pesantren Langit. Sepuluh menit kemudian ojek sampai di depan pintu gerbang pesantren Langit.
Aku turun. Suamiku turun. Ia membayar ongkos ojek. Aku mencium tangan suamiku. Lalu aku berjalan menuju tempatku mengajar. Sementara suamiku menuju ke kantor Yayasan.
Aku mengajar santri Madrasah Aliyah sekitar empat jam pelajaran. Sedangkan bimbingan konseling untuk santri putri dan kunjunganke asrama puteri pesantren Langit sekitar satu jam .
“Assalamu’alaikum!” ucap aku ketika memasuki salah satu kamar di asrama puteri.