Hari pertama bulan ke lima pernikahan kami. Usaha kripik gadung kami macet. Tidak adanya usaha lain setelah kripik gadung macet membuat kondisi keuangan keluarga kami semakin terpuruk. Kebiasaan merokok Mas Dedi kambuh. yaitu, merokok seperti rangkaian gerbong kereta api. Sehari Mas Dedi bisa menghabiskan puluhan batang rokok. Tak peduli apakah Mas Dedi punya uang atau tidak. Yang penting Mas Dedi bisa merokok meskipun harus berutang ke warung tetangga. Seperti pagi ini. Bangun tidur Mas Dedi langsung mencari rokok. Kebetulan rokoknya masih ada. Kalau tidak Mas Dedi pasti meluncur ke warung tetangga untuk utang rokok.
Setelah membuang hajat, aku duduk termenung di tepi sungai. Hidup bersama Mas Dedi membutuhkan kesabaran ekstra. Masalah sepele saja bisa membuatnya naik darah. Misalnya ketika tidak ada wedang kopi di atas meja makan, maka tangannya yang kokoh langsung menggebrak-gebrak meja makan sampai kaki mejanya patah. Aku berkata dengan diriku sendiri. Kira-kira dua belas menit kemudian aku berdiri. Lalu berjalan kembali ke rumah. Lamat-lamat kudengar Mas Dedi berteriak.
“Annisaaa!!! Annisaaa!!!”
“Ada apa Mas?” tanyaku setelah sampai rumah.
“Mana wedang kopiku?”
“Sebentar Mas... Aku masih mau bikin.”
“Tadi kamu kemana saja?”
“Baru saja aku pergi ke sungai Mas. Buang air.” Aku berkata sambil menjerang air. Setelah airnya mendidih, aku membuat wedang kopi. Bubuk kopinya tinggal satu sendok teh. Gulanya hampir habis. Aku mengkorek-korek gula yang menempel di wadahnya. Satu cangkir wedang kopi selesai kubuat. Lalu aku memberikan wedang kopi tersebut kepada Mas Dedi, Mas Dedi segera menyeruputnya. Baru saja satu seruputan Mas Dedi langsung menyemburkan ke depanku.
“Kopi apa ini?”