Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #12

Telpon Ibu

Hari ke tujuh bulan ke lima pernikahan kami. Frekuensi kemarahan Mas Dedi sudah melebihi ambang batas toleransi. Kalau aku boleh menghitungnya, maka frekuensi kemarahan Mas Dedi mungkin sudah lebih dari sepuluh kali dalam pekan ini.  Dan peri laku Mas Dedi sering membuatku kesal. Oleh karena itu aku memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuaku di Surabaya.  

          Siang itu Mas Dedi tidak ada di rumah. Aku tidak tahu dia pergi ke mana. Maklum dia jarang pamit. Usai menunaikan salat Zuhur, aku berencana pergi ke pesantren. lalu ke warung telpon atau wartel untuk telpon ibu. Sebelum pergi, aku menemui ibu mertua yang tinggal di dekat rumahku. Tetapi, aku tidak menemukan Ibu Mertua. Sehingga aku pergi tanpa pamit. Ketika berpapasan dengan tetangga di jalan. Aku hanya tersenyum. 

Aku meninggalkan rumah suamiku tanpa membawa bekal makanan dan minuman. Uang yang ada di dompetku tak seberapa jumlahnya. Aku berjalan kaki sejauh tiga setengah kilo meter tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri. Sesampainya di pesantren, aku menemui seorang teman untuk meminjam uang. Setelah mendapat pinjaman uang, aku ke wartel. Aku menelpon Ibu dulu sebelum berangkat ke Surabaya. 

           Aku mengangkat gagang telpon, memutar nomor telpon rumah Ibu. Telpon di seberang berdering. Seseorang mengangkat gagang telpon. 

          “Halo!” Ibu menyapa dengan lembut. 

          “Ini Annisa, Bu. Assalamu ‘alaikum!” Aku memberi salam. 

          “Wa ‘alaikummussalam. Ada apa, Annisa?”  Ibu bertanya agak curiga.

          “Tidak ada apa-apa, Bu. Aku hanya ingin pulang ke Surabaya,” jawabku dengan tenang. Namun dadaku terasa bergemuruh.

          “Apa Nak Dedi sudah mengizinkan kamu, An?” tanya lbu dengan nada agak curiga. 

          “Belum, Bu!” jawabku singkat. 

          “Kalau begitu sebaiknya jangan pergi ke Surabaya dulu, ya Annisa!” 

          “Baiklah, Bu!” sahutku sambil menelan ludah. 

          “Ingat Annisa!  Kamu harus lebih baik dari mantan istrinya. Kalau dia marah, kamu harus diam. Tidak perlu menanggapi kemarahannya. Apalagi mendebatnya. Kalaupun menang kamu tak bakal mendapatkan piala. ”  Ibu menasihatiku. 

          “Ya, bu. Terima kasih nasehatnya. Sudah ya bu, maaf akan kututup telponnya”.    

          “Ya, Annisa. Ibu juga minta maaf. Assalamu”alaikum.” Ibu mengucapkan salam terburu-buru.

          “Wa ‘alaikummussalam!” Aku menjawab.

          Aku meletakkan gagang telpon di tempatnya semula. Aku cepat-cepat membayar tarif telpon. Kemudian aku meninggalkan wartel. Aku kembali ke pesantren. Aku menuju asrama putri.  

          Aku memasuki sebuah kamar. Ada dua tempat tidur bersusun di dalamnya. Tempat tidur tersebut terbuat dari kayu dan berukuran kecil. Setelah memberi salam kepada penghuni kamar, aku duduk di salah satu sisi sebuah tempat tidur. 

          “Kalau Bu An mau istirahat, silahkan! Tetapi maaf Bu An, tempat kami berantakan,’ kata seorang santri dengan sopan. 

           “Tak mengapa. Saya bisa istirahat di sini saja sudah bersyukur. Terima kasih ya, Mbak! Kalau Mbak mau istirahat, silahkan!” jawabku sambil menyelonjorkan kakiku di atas kasur yang telah tertutup sprei motif bunga warna pink.

          “ Permisi, Bu An!” Santri itu merebahkan badannya ke tempat tidur. Rupanya ia sedang tidak enak badan. Karena belum waktunya istirahat dia sudah ada di kamar.

         “Silahkan!” Aku menyahut sambil merebahkan badanku di tempat tidur sebelahnya. Namun aku tak bisa tidur. Pikiranku melayang jauh. Tiba-tiba dalam batinku terjadi pergolakan. 

          “Aku sudah tidak tahan lagi hidup bersama Mas Dedi. Aku mau minta cerai saja!” ujarku di dalam hati.

          Nenek Kha mendadak muncul di ruang imajinasiku dan berkata, “Kalau kamu minta cerai, bagaimana nanti anak yang ada dalam kandunganmu?”  

“Anak dalam kandunganku?” 

“Karena mungkin kamu sedang hamil. Apakah nanti anakmu bisa hidup tanpa kehadiran ayah?”  

          “Bukankah aku bisa menjadi single parent?” Aku menjawab.

Lihat selengkapnya