Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #17

Suamiku Bidanku

Setelah kelahiran anak pertama, aku berusaha menjaga jarak kelahiran anakku yang selanjutnya dengan ikut KB Keluarga Berencana. Pada awalnya aku ikut KB suntik per tiga bulan. Dengan KB suntik, seharusnya aku tidak mengalami menstruasi setiap bulannya.  Kenyataannya,  justru aku mengalami menstruai lebih lama dari sebelumnya. Kalau sebelumnya menstrusi enam hari, setelah ikut KB suntik sikklus menstruasku  tidak karuan.. Hal itu berarti tubuhku tidak cocok dengan alat kontrasepsi suntik. Sehingga aku beralih ke alat kontrasepsi lain yaitu pil KB. 

Aku harus minum pil KB setiap hari. Siklus menstruasi memang normal, tetapi aku sering mengalami sakit kepala. Kalau sudah sudah sakit kepala aku tak bisa menyelesaikan pekerjaan rumah secara optimal. Bahkan beribadah salat pun aku sering tidak bisa khusyuk. Akhirnya aku berhenti memakai pil KB. Dan kemudian  memakai KB kalender.

Setelah satu tahun lebih beberapa bulan aku memakai KB kalender, tiba-tiba aku tidak mengalami mentrusasi. Lalu  aku pun  memeriksa   kehamilanku. Aku   menggunakan  alat tes kehamilan. Ternyata hasilnya positif.  Serta merta aku merasa panik. Bagaimana aku dan Mas Dedi nanti bisa membesarkannya? Sementara kondisi ekonomi keluargaku masih  dalam keterbatasan. Bahkan  penghasilan Mas Dedi sebagai guru di pesantren masih minim sekali.   Bagaimana aku bisa merawat kehamilanku dengan baik dalam kondisi ekonomi keluargaku yang terbatas? Dan bagaimana pula aku bisa  membiayai persalinanku? Sementara serangan mantan penyakitnya dan ancaman sirosis masih membayangiku. Aku harus menabung untuk persalinan yang kedua. Dan  hanya kepada-Nyalah aku menyerahkan segala urusan.

^-^ 

Beberapa bulan telah berlalu. Anak  pertamaku sudah berusia  berusia dua tahun lebih.   Dan aku merasakan tanda-tanda  melahirkan anak kedua. Menurut  Bidan  yang  akan  menolong  persalinanku,  hari ini adalah  hari  perkiraan  persalinan anakku yang kedua.  

Pagi  hari. Sebelum   merasakan   tanda-tanda  persalinan  yang  menyakitkan,  aku  melakukan  serangkaian kegiatan  rutin sehari-hari.  Aku  menyiram  tanaman,  mengisi  tempayan  sampai tempayannya penuh,  membersihkan  rumah  dan  memasak  untuk  makan  hari  ini. Setelah  itu  aku  duduk  di   lencak, tempat  tidur yang terbuat dari bambu.  

Aku menyiapkan  kain  panjang  untuk menjalani  persalinan. Menata   perlengkapan  bayi   sambil  mengunyah  kurma.  Kadang-kadang aku makan pepaya yang sudah kupotong-potong sebesar dadu. Tak lama kemudian aku  menyapu halaman  depan rumah.  Sehingga   orang-orang  di  sekitar  rumah mengira aku belum waktunya melahirkan. Ibu Mertua Aku     bermalam  di  rumah kerabatnya   di  dekat  alun-alun  kota  Bondowoso,  jaraknya  kira-kira  sepuluh  kilo  meter  dari  desa Kabuaran.  

          Malam  hari.  Usai  menidurkan Wildan di lencak, aku    menemani  Mas Dedi   menerima  tamunya  yang  baru  pulang  dari   magang  pertanian  di  Jepang.  Tamunya  laki-laki  dan  perempuan. Mereka   mengobrol sampai  pukul   delapan  malam .  

          Setelah  tamu Mas Dedi  pulang, aku  mengambil  uang tabunganku.  Selama  beberapa  bulan aku   berhasil  mengumpulkan  uang  sebesar  tiga puluh lima  ribu  rupiah.  Uang  tersebut aku masukkan  ke  dalam  amplop.   Aku akan menggunakannya  untuk membiayai  persalinanku  yang  kedua. 

Aku  merebahkan  badanku  di  ranjang  kuno  rumah kami. Rasanya  aku  ingin  tidur,  tetapi  kontraksi  otot  uterin  menghalangiku  untuk  tidur. Ketika  jam  di dinding  menunjukkan  pukul  sembilan  malam,  aku  mengalami  nyeri  akibat  kejang  di  perut  dan  kemudian  terjadi  lagi  secara  berkala.  Mungkin  hal  itu  adalah  indikasi  awal  persalinan.  Aku  meminta  Mas Dedi agar dia cepat-cepat  memanggil  bidan  untuk  menolong  persalinanku.  Mas Dedi  segera  pergi  ke rumah  bidan  Polindes  dengan  naik  motor  sewaan.  Setengah  jam  kemudian  mas Dedi  pulang. 

          Begitu  memasuki  ruangan  dalam  rumah,  Mas Dedi  berkata,  “Bu Bidan  menyusul,  dia  akan  diantar  suaminya  ke  sini.” 

          “Baiklah  Mas.” Aku menyahut  

          “Apa  perlu  kupanggilkan  adikku?” tanya  Mas Dedi kepadaku  sambil  tetap  berdiri  di dekat  pintu.  Adik ipar  perempuan  Mas Dedi tinggal  di  dekat  rumahku.  Sewaktu-waktu aku  bisa  meminta  bantuannya.  

          “Nanti saja,  sekarang  tolong  pijat  punggungku!”  kataku.

          Mas Dedi mendekati  ranjangku. Lalu Mas Dedi  memijat-mijat  punggungku dari atas sampai ke bawah,  tepatnya sampai  pinggangku. Area ini  terasa  nyeri sekali. Mungkin akibat kontraksi.  Nikmat  rasanya  setelah  Mas Dedi  memijat-mijat  daerah  tersebut. Sayangnya, aku   tak  bisa  berlama-lama  menikmati  pijatan suamiku   karena aku harus bersiap-siap melahirkan.  

Lihat selengkapnya