Setelah kelahiran anak pertama, aku berusaha menjaga jarak kelahiran anakku yang selanjutnya dengan ikut KB Keluarga Berencana. Pada awalnya aku ikut KB suntik per tiga bulan. Dengan KB suntik, seharusnya aku tidak mengalami menstruasi setiap bulannya. Kenyataannya, justru aku mengalami menstruai lebih lama dari sebelumnya. Kalau sebelumnya menstrusi enam hari, setelah ikut KB suntik sikklus menstruasku tidak karuan.. Hal itu berarti tubuhku tidak cocok dengan alat kontrasepsi suntik. Sehingga aku beralih ke alat kontrasepsi lain yaitu pil KB.
Aku harus minum pil KB setiap hari. Siklus menstruasi memang normal, tetapi aku sering mengalami sakit kepala. Kalau sudah sudah sakit kepala aku tak bisa menyelesaikan pekerjaan rumah secara optimal. Bahkan beribadah salat pun aku sering tidak bisa khusyuk. Akhirnya aku berhenti memakai pil KB. Dan kemudian memakai KB kalender.
Setelah satu tahun lebih beberapa bulan aku memakai KB kalender, tiba-tiba aku tidak mengalami mentrusasi. Lalu aku pun memeriksa kehamilanku. Aku menggunakan alat tes kehamilan. Ternyata hasilnya positif. Serta merta aku merasa panik. Bagaimana aku dan Mas Dedi nanti bisa membesarkannya? Sementara kondisi ekonomi keluargaku masih dalam keterbatasan. Bahkan penghasilan Mas Dedi sebagai guru di pesantren masih minim sekali. Bagaimana aku bisa merawat kehamilanku dengan baik dalam kondisi ekonomi keluargaku yang terbatas? Dan bagaimana pula aku bisa membiayai persalinanku? Sementara serangan mantan penyakitnya dan ancaman sirosis masih membayangiku. Aku harus menabung untuk persalinan yang kedua. Dan hanya kepada-Nyalah aku menyerahkan segala urusan.
^-^
Beberapa bulan telah berlalu. Anak pertamaku sudah berusia berusia dua tahun lebih. Dan aku merasakan tanda-tanda melahirkan anak kedua. Menurut Bidan yang akan menolong persalinanku, hari ini adalah hari perkiraan persalinan anakku yang kedua.
Pagi hari. Sebelum merasakan tanda-tanda persalinan yang menyakitkan, aku melakukan serangkaian kegiatan rutin sehari-hari. Aku menyiram tanaman, mengisi tempayan sampai tempayannya penuh, membersihkan rumah dan memasak untuk makan hari ini. Setelah itu aku duduk di lencak, tempat tidur yang terbuat dari bambu.
Aku menyiapkan kain panjang untuk menjalani persalinan. Menata perlengkapan bayi sambil mengunyah kurma. Kadang-kadang aku makan pepaya yang sudah kupotong-potong sebesar dadu. Tak lama kemudian aku menyapu halaman depan rumah. Sehingga orang-orang di sekitar rumah mengira aku belum waktunya melahirkan. Ibu Mertua Aku bermalam di rumah kerabatnya di dekat alun-alun kota Bondowoso, jaraknya kira-kira sepuluh kilo meter dari desa Kabuaran.
Malam hari. Usai menidurkan Wildan di lencak, aku menemani Mas Dedi menerima tamunya yang baru pulang dari magang pertanian di Jepang. Tamunya laki-laki dan perempuan. Mereka mengobrol sampai pukul delapan malam .
Setelah tamu Mas Dedi pulang, aku mengambil uang tabunganku. Selama beberapa bulan aku berhasil mengumpulkan uang sebesar tiga puluh lima ribu rupiah. Uang tersebut aku masukkan ke dalam amplop. Aku akan menggunakannya untuk membiayai persalinanku yang kedua.
Aku merebahkan badanku di ranjang kuno rumah kami. Rasanya aku ingin tidur, tetapi kontraksi otot uterin menghalangiku untuk tidur. Ketika jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam, aku mengalami nyeri akibat kejang di perut dan kemudian terjadi lagi secara berkala. Mungkin hal itu adalah indikasi awal persalinan. Aku meminta Mas Dedi agar dia cepat-cepat memanggil bidan untuk menolong persalinanku. Mas Dedi segera pergi ke rumah bidan Polindes dengan naik motor sewaan. Setengah jam kemudian mas Dedi pulang.
Begitu memasuki ruangan dalam rumah, Mas Dedi berkata, “Bu Bidan menyusul, dia akan diantar suaminya ke sini.”
“Baiklah Mas.” Aku menyahut
“Apa perlu kupanggilkan adikku?” tanya Mas Dedi kepadaku sambil tetap berdiri di dekat pintu. Adik ipar perempuan Mas Dedi tinggal di dekat rumahku. Sewaktu-waktu aku bisa meminta bantuannya.
“Nanti saja, sekarang tolong pijat punggungku!” kataku.
Mas Dedi mendekati ranjangku. Lalu Mas Dedi memijat-mijat punggungku dari atas sampai ke bawah, tepatnya sampai pinggangku. Area ini terasa nyeri sekali. Mungkin akibat kontraksi. Nikmat rasanya setelah Mas Dedi memijat-mijat daerah tersebut. Sayangnya, aku tak bisa berlama-lama menikmati pijatan suamiku karena aku harus bersiap-siap melahirkan.