Setelah melahirkan anak ke dua, aku tidak memakai alat kontrasepsi karena tidak ada yang cocok. Kalau minum pil KB aku sering pusing. Kalau KB suntik aku mengalami pendarahan terus. Tetapi, qodarullah jarak kelahiran anak ke dua dan ke tiga cukup jauh yaitu sekitar tiga tahun. Ketika anak kedua berumur tiga tahun, aku hamil anak ketiga. Bersamaan dengan kehamilanku itu aku mendapat pekerjaan sebagai guru TK Taman Kanak-kanak. Sehingga mau tidak mau aku mencari rumah kontrakan yang lokasinya dekat dengan gedung TK. Dengan bantuan orang tuaku, akhirnya aku dapat membayar sewa rumah kontrakan type 36 di Blok A Perumahan Asri.
Beberapa hari kemudian aku dan keluargaku tinggal di rumah kontrakan. Selama kehamilan anak ketiga aku memeriksakan kehamilanku secara rutin. Sebelum mengajar aku bersama kedua anakku pergi ke puskesmas pembantu. Lokasi puskesmas tersebut terletak di dekat rumah kontrakanku. Pada waktu Bidan sedang memeriksa kehamilanku di ruang periksa, kedua anakku bermain di ruang tunggu.
Honorku sebagai guru TK minim sekali setiap bulannya. Meskipun demikian aku menyisihkan honorku sedikit demi sedikit untuk membiayai persalinanku yang ketiga. Pada waktu kehamilanku yang ketiga ini sudah berusia sembilan bulan, uangku yang terkumpul sebesar sembilan puluh ribu rupiah.
Kata Bidan Desa yang sedang bertugas di puskesmas pembantu, jika aku melahirkan di rumahnya maka dia akan mengenakan biaya persalinan sebesar tujuh puluh lima ribu rupiah. Aku berharap bisa melahirkan di rumahnya karena uangku tidak cukup untuk membayar biaya persalinan di rumah bersalin bidan kota. Aku harus mengeluarkan uang minimal sebesar seratus lima puluh ribu rupiah untuk menjalani persalinan di kota Bondowoso. Sementara uang tabunganku tidak sampai sebesar itu. Dan uang tabunganku yang sebesar sembilan puluh ribu rupiah itu tidak aku sentuh sama sekali sebelum hari H-persalinan. Aku berusaha tidak meminta biaya persalinan kepada suamiku. Karena aku tidak ingin membebani suamiku. Apalagi penghasilan suamiku hanya cukup untuk membeli beras. Aku bersyukur pakaian bayi Wildan dan Imam pemberian Ibu masih ada dan layak pakai untuk calon bayiku.
Usai menunaikan salat Ashar aku merasakan nyeri dan kejang di perut akibat kontraksi otot uterin atau rahim. Tidak berapa lama kemudian rasa sakit itu hilang. Aku menyempatkan diri pergi ke telpon umum untuk menghubungi bidan desa yang pernah memeriksa kehamilannya di puskesmas pembantu.
Sampai di telpon umum, sengatan kejang menyerang perutku. Tetapi, aku masih bisa menahan rasa sakitnya. Sehingga aku bisa pergi ke telpon umum untuk menelpon bidan desa. Aku berjanji sore hari akan datang ke rumahnya untuk memeriksakan kehamilanku.
Setelah menelpon bidan, aku menelpon suamiku yang sedang bertugas di pesantren Langit. Kata teman suami yang menerima telponku, suamiku tidak ada di tempat. Aku pun menutup telponnya. Beberapa menit kemudian aku merasakan sengatan kejang lagi. Tetapi, aku tidak mau kembali ke rumah sebelum berbicara langsung dengan suamiku lewat telpon.
Aku memutar nomor telpon kantor pesantren Langit lagi. Seseorang di seberang mengangkat telpon. Ternyata teman suamiku yang menerima telponku. Karena katanya suamiku masih sibuk melakukan kegiatan dan tidak bisa menerima telepon. Akhirnya aku hanya menyampaikan pesan kepada teman suaminku agar suamiku secepatnya pulang karena aku hendak melahirkan.
Di rumah. Aku merasa gelisah menunggu kedatangan suamiku. Bagaimana tidak gelisah? Aku merasa mau melahirkan, tetapi rumah bidan yang mau menolongku jauh. Aku bertambah gelisah karena setelah satu jam menunggu, suamiku belum juga datang. Padahal aku sangat membutuhkannya. Aku hendak meminta tolong kepadanya untuk mencarikan becak yang bisa mengantarkanku ke rumah bidan desa. Karena aku merasa tidak kuat berjalan untuk mencari becak di pintu gerbang perumahan. Aku juga butuh dia untuk menjaga anak-anak yang masih balita.
“Suamiku memang gila kerja. Meskipun tengah malam, kalau yang meminta bekerja adalah pimpinan pesantren Langit maka dengan terkantuk-kantuk pun ia akan datang memenuhi permintaannya. Tetapi jika istrinya yang mau melahirkan meminta pertolongannya maka dengan sangat tenangnya ia menolak permintaan istrinya.” Aku mengomel sendiri dalam hati.
“Jangan begitu Annisa. Suamimu mungkin sedang sibuk.” Nenek Kha tiba-tiba muncul di ruang imajinasi dan menegurku.
“Dari kemarin lusa sibuk melulu!”
“Maklumi suamimu. Dia sedang khilaf!”
“Manusia memang tidak pernah lepas dari khilaf. Tetapi suamiku betul-betul keterlaluan. Masa istrinya mau melahirkan, ia malah asyik dengan pekerjaan sosialnya. Temannya di pesantran Langit ‘kan banyak. Masa tidak ada temannya yang bisa menggantikannya,” kataku kesal.
“Namanya saja kerja sosial. Bekerja tanpa bayaran. Kalaupun dibayar, besarnya tidak seberapa. Mungkin hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi. Mana ada orang yang mau bekerja tidak mengenal waktu tanpa upah yang tinggi selain suamimu?” Nenek Kha mencoba membesarkan hatiku.
“Tentu saja tidak ada Nenek Kha.” Aku menjawab.
“Kalau begitu bersabarlah!”
“Kalau melahirkan bayi bisa kutahan maka aku akan melakukannya.”
Nenek Kha terdiam. Lalu menghilang.
Karena suamiku belum pulang maka aku terpaksa meminta tolong kepada Ibu Mertua yang sudah lanjut usia itu untuk mencarikan becak. Sebetulnya aku tidak sampai hati melihat Ibu Mertua berjalan kaki kira-kira sejauh lima ratus meter ke gerbang perumahan untuk mencari becak. Tetapi apa yang bisa kuperbuat?
Sementara menunggu becak datang, Aku menanak nasi dan merebus telur sampai masak. Aku menunggu nasi masak sambil tak henti-hentinya berdoa memohon pertolongan-Nya.
Begitu becak datang, aku bersiap-siap naik becak bersama ibu Mertua dan anak-anak. . Namun belum sampai beberapa langkah ke luar rumah, suamiku datang. Raut wajahnya tidak ceria. Bahkan sedikit cemberut.
“Mengganggu orang kerja saja.” Suamiku memasuki rumah sambil menggerutu.