Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #18

Kontraksi di Becak

Setelah melahirkan anak ke dua, aku tidak memakai alat kontrasepsi karena tidak ada yang cocok. Kalau minum pil KB aku sering pusing. Kalau KB suntik aku   mengalami pendarahan terus. Tetapi, qodarullah jarak kelahiran anak ke dua dan ke tiga cukup jauh yaitu sekitar tiga tahun. Ketika anak kedua berumur tiga tahun, aku hamil anak ketiga. Bersamaan dengan kehamilanku itu  aku mendapat  pekerjaan  sebagai  guru  TK Taman Kanak-kanak.   Sehingga mau tidak mau aku mencari   rumah  kontrakan  yang  lokasinya  dekat  dengan  gedung TK.  Dengan  bantuan  orang tuaku,  akhirnya aku  dapat  membayar  sewa   rumah  kontrakan  type  36  di Blok A  Perumahan Asri.  

Beberapa  hari kemudian aku dan keluargaku tinggal di  rumah  kontrakan.  Selama  kehamilan  anak  ketiga  aku memeriksakan  kehamilanku  secara  rutin. Sebelum  mengajar  aku  bersama  kedua  anakku pergi  ke  puskesmas  pembantu. Lokasi puskesmas  tersebut   terletak  di  dekat  rumah  kontrakanku.  Pada  waktu  Bidan  sedang memeriksa kehamilanku  di  ruang  periksa,  kedua  anakku  bermain  di ruang tunggu.  

          Honorku sebagai guru TK minim sekali setiap  bulannya. Meskipun demikian aku menyisihkan honorku   sedikit  demi  sedikit  untuk membiayai  persalinanku yang ketiga. Pada  waktu kehamilanku yang ketiga ini  sudah  berusia  sembilan  bulan, uangku yang  terkumpul  sebesar  sembilan  puluh  ribu  rupiah. 

 Kata  Bidan  Desa  yang  sedang  bertugas di  puskesmas  pembantu,  jika aku   melahirkan  di rumahnya  maka  dia akan  mengenakan biaya  persalinan  sebesar  tujuh  puluh  lima  ribu  rupiah.  Aku  berharap  bisa  melahirkan  di  rumahnya  karena  uangku   tidak  cukup  untuk  membayar  biaya  persalinan  di  rumah bersalin  bidan  kota.  Aku   harus   mengeluarkan  uang minimal  sebesar  seratus  lima  puluh  ribu  rupiah  untuk menjalani  persalinan  di  kota  Bondowoso. Sementara uang tabunganku tidak sampai sebesar itu.   Dan uang  tabunganku  yang  sebesar  sembilan  puluh  ribu  rupiah  itu  tidak  aku  sentuh  sama  sekali  sebelum  hari H-persalinan.  Aku berusaha tidak   meminta  biaya  persalinan  kepada  suamiku.  Karena aku  tidak ingin membebani  suamiku. Apalagi  penghasilan suamiku  hanya cukup untuk  membeli beras. Aku bersyukur  pakaian bayi  Wildan  dan   Imam  pemberian Ibu masih ada dan layak  pakai untuk  calon bayiku. 

          Usai menunaikan  salat  Ashar aku  merasakan   nyeri  dan  kejang  di perut  akibat  kontraksi  otot uterin atau rahim. Tidak  berapa  lama  kemudian  rasa  sakit  itu hilang. Aku  menyempatkan  diri  pergi ke  telpon  umum  untuk  menghubungi  bidan  desa  yang pernah memeriksa kehamilannya  di  puskesmas  pembantu. 

          Sampai di telpon  umum,  sengatan  kejang  menyerang perutku.  Tetapi,  aku   masih bisa  menahan  rasa  sakitnya.  Sehingga   aku  bisa pergi ke telpon umum untuk  menelpon bidan  desa. Aku  berjanji sore  hari akan datang ke rumahnya  untuk  memeriksakan  kehamilanku.          

          Setelah   menelpon   bidan,  aku  menelpon  suamiku  yang  sedang  bertugas  di pesantren Langit.   Kata  teman  suami  yang  menerima  telponku, suamiku  tidak  ada  di  tempat.  Aku  pun  menutup  telponnya.  Beberapa  menit  kemudian aku merasakan  sengatan  kejang lagi.  Tetapi,   aku tidak  mau  kembali  ke  rumah  sebelum  berbicara  langsung dengan  suamiku  lewat  telpon.  

          Aku  memutar  nomor  telpon kantor pesantren  Langit lagi.  Seseorang di seberang mengangkat telpon.  Ternyata teman suamiku  yang  menerima  telponku.  Karena   katanya suamiku  masih  sibuk  melakukan  kegiatan  dan  tidak  bisa menerima telepon.  Akhirnya   aku  hanya  menyampaikan  pesan  kepada  teman  suaminku  agar  suamiku  secepatnya  pulang  karena aku hendak melahirkan.  

          Di  rumah. Aku merasa   gelisah  menunggu  kedatangan  suamiku. Bagaimana tidak gelisah? Aku merasa mau melahirkan, tetapi rumah bidan yang mau menolongku jauh.  Aku bertambah gelisah karena setelah satu  jam menunggu,  suamiku belum  juga  datang.  Padahal aku sangat membutuhkannya. Aku   hendak meminta tolong kepadanya untuk mencarikan becak yang bisa mengantarkanku ke  rumah  bidan  desa. Karena aku merasa tidak kuat berjalan  untuk mencari becak di pintu gerbang perumahan. Aku juga butuh dia untuk menjaga anak-anak yang masih balita.    

          “Suamiku  memang  gila  kerja.  Meskipun   tengah  malam,  kalau  yang  meminta bekerja  adalah  pimpinan pesantren Langit maka  dengan  terkantuk-kantuk  pun  ia  akan  datang  memenuhi  permintaannya.   Tetapi   jika   istrinya  yang  mau  melahirkan    meminta  pertolongannya  maka  dengan  sangat  tenangnya  ia  menolak  permintaan  istrinya.”  Aku   mengomel  sendiri  dalam  hati.

          “Jangan  begitu Annisa.  Suamimu mungkin  sedang  sibuk.”  Nenek Kha tiba-tiba muncul di ruang imajinasi dan menegurku. 

          “Dari kemarin lusa sibuk melulu!”

“Maklumi suamimu. Dia sedang khilaf!”

“Manusia  memang  tidak  pernah  lepas  dari  khilaf.  Tetapi   suamiku  betul-betul  keterlaluan.  Masa  istrinya   mau  melahirkan,   ia    malah  asyik  dengan  pekerjaan  sosialnya.  Temannya  di  pesantran Langit ‘kan  banyak.  Masa   tidak  ada  temannya  yang  bisa menggantikannya,”  kataku  kesal.

          “Namanya  saja  kerja  sosial.  Bekerja  tanpa  bayaran.  Kalaupun  dibayar,  besarnya  tidak  seberapa. Mungkin  hanya  cukup  untuk  membeli  sebungkus  nasi.  Mana  ada  orang  yang  mau  bekerja  tidak  mengenal  waktu tanpa upah yang tinggi selain  suamimu?” Nenek Kha mencoba membesarkan hatiku. 

“Tentu  saja  tidak  ada Nenek Kha.”  Aku menjawab. 

“Kalau  begitu  bersabarlah!” 

“Kalau melahirkan bayi bisa kutahan maka aku akan melakukannya.”

Nenek Kha terdiam. Lalu menghilang. 

Karena  suamiku  belum  pulang  maka aku   terpaksa  meminta tolong  kepada Ibu  Mertua  yang  sudah  lanjut   usia  itu  untuk  mencarikan  becak. Sebetulnya aku   tidak  sampai  hati  melihat  Ibu  Mertua  berjalan  kaki  kira-kira  sejauh  lima  ratus meter  ke  gerbang  perumahan  untuk  mencari  becak.   Tetapi  apa  yang  bisa  kuperbuat?     

          Sementara   menunggu  becak  datang,  Aku  menanak  nasi  dan  merebus  telur  sampai  masak. Aku menunggu nasi masak sambil   tak   henti-hentinya  berdoa  memohon pertolongan-Nya. 

Begitu  becak  datang, aku  bersiap-siap  naik  becak  bersama  ibu  Mertua  dan  anak-anak. . Namun  belum  sampai  beberapa  langkah  ke luar  rumah,  suamiku  datang.  Raut  wajahnya  tidak  ceria.  Bahkan  sedikit  cemberut.   

          “Mengganggu orang kerja saja.” Suamiku  memasuki  rumah  sambil  menggerutu.  

Lihat selengkapnya