Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #19

Mantan Kembali

Baru sekitar dua bulan aku melahirkan anakku yang ketiga, tiba-tiba aku merasakan langit seperti runtuh. Pasalnya, masa kontrakan  rumahku habis dan pemilik rumah kontrakan mengusir kami. Sementara  untuk  mengontrak  rumah  lagi  di  perumahan suamiku  belum  mempunyai  uang.  Sehingga mau tidak mau aku  dan  keluargaku kembali  tinggal  di   rumah  gubuk kami  yang  ada di  desa Taman.  Hal  ini  berarti aku kembali  menjalani  kehidupan  seperti  dulu  yang  agak  primitif.  Pagi-pagi  aku  harus  mengisi tempayan di rumah dengan air pancuran sampai tempayannya  penuh. Aku harus mengangkut  air  dengan timba  dari  pancuran  ke  rumah  yang  jaraknya  sekitar  seratus  meter.  Mencuci  baju,  mandi,  buang  air  besar  dan  kecil  di  sungai.            .  

           Keluargaku kembali  makan  apa  adanya. Kalau dana terbatas karena penghasilan kami habis untuk membayar ongkos ojek maka kami makan nasi jagung dengan kuluban dan sambal tomat. Tetapi,  pagi itu kami makan dengan menu spesial yaitu  makan  nasi jagung  dengan  sayur  bening daun kelor dan lauk bakwan jagung. Bahan sayur beningnya yaitu daun kelor, aku memetiknya di pekarangan rumah. Bumbunya  bawang merah, bawang putih, temu kunci. gula  dan  garam.  Caranya.  Setelah  air di panci  mendidih, daun kelor  dan  bumbunya  aku masukkan.  Setelah kira-kira sepuluh menit, aku mengangkatnya dari tungku.  Lauknya, aku membuat  bakwan  jagung. Karena kebetulan ada tetangga yang panen jagung memberiku beberapa buah jagung muda. Bahan bakwannya adalah  irisan tiga  buah  jagung  muda yang sudah kuhaluskan. Lalu jagung tersebut kucampur dengan tepung  terigu sebanyak  dua  ons dan air  setengah gelas. Bumbunya adalah  daun  jeruk,  kencur,  laos,  ketumbar,  bawang  putih,  cabe merah,  bawang merah, gula  dan  garam.    Lalu aku menggoreng adonan bakwan satu sendok  demi  satu  sendok  dalam  minyak  panas  sampai  matang. Setelah  matang aku  angkat  dan  tiriskan. Setelah  itu aku dan keluargaku menyantapnya bersama nasi jagung dan sayur bening daun kelor  di atas lencak.          

Seminggu  sekali  aku  mencuci  pakaian  kotor. Aku  biasanya  mencuci  baju  sebanyak  dua   ember.  Aku  mencuci baju  di sungai  saat  Adil   sedang  tidur. Wildan dan Imam   bermain di  teras.  Sekali-sekali aku   menengok  Adil  yang  sedang tidur  di rumah.

          Setiap  hari  Senin  sampai  Sabtu  aku pergi  ke  TK tempatku mengajar. Karena  tidak  ada  yang  mengasuh  anak-anakku maka  aku membawa  semua  anakku ke TK.  Wildan  dan Imam  aku masukkan  ke   TK  meskipun  usia  mereka  belum memenuhi  syarat.  Sedangkan  Adil,  aku  menidurkannya  di atas tikar lipat  kecil  yang aku  gelar  di salah  satu  sudut  ruang  kelompok  B. Karena  tempat  kerjaku dan suamiku  berada dalam lingkungan yang sama  maka  kami berangkat kerja bersama.  Setiap   hari  kami  naik  ojek  berenam. Paling  depan  duduklah  Wildan dan  Pak  Ojek. Lalu di belakang Pak Ojek duduklah Imam,  suamiku  dan  aku. Jadi aku   duduk  paling  belakang sambil menggendong  Adil.

^-^

          Setelah  beberapa  minggu  tinggal  di desa di lereng Argopuro,   aku jatuh  sakit.  Sepertinya mantan penyakitku yang penyebabnya virus   kambuh atau jangan-jangan aku terkena serangan sirosis. Pikirku pada  waktu itu.  Lagi-lagi aku  merasakan  langit  seperti  runtuh.  Aku  terpaksa  tidak  masuk  kerja selama beberapa hari tanpa tahu kapan masuknya. Aku juga terpaksa   meminta  tolong  Ibu  Mertua untuk  mengurus anak-anakku. Syukurlah  Ibu  Mertua memahami kondisi bahwa aku sedang sakit.   Saudara-saudara   ipar  perempuan  yang  tinggal  di  dekat  rumahku  peduli  kepada  anak-anakku.   Sehingga   mereka  tidak  terlantar.  Sedangkan suamiku sendiri awalnya tidak peduli padaku. Suamiku mengira aku berpura-pura sakit. Bahkan dia membentakku ketika dia pulang dari kerja dan  aku tidak bangun dari tempat tidur untuk menyambutnya, setidaknya mencium tanganya. 

“Assalamu alaikum,” ucap suamiku begitu memasuki rumah sepulang dari bekerja.

”Waalaikumusallam,” sahutku tanpa beranjak dari tempat tidur.

“Heh, bangun! Jangan malas Annisa.” Suamiku membentakku karena aku tidak segera bangkit menyambut menyambut kedatangannya.

Aku diam mendengarkan perkataan suamiku. 

“Aku ini capek-capek kerja. Kamu enak-enakan tidur. Pura-pura sakit.” Suamiku menggerutu sambil menendang kaki tempat tidur. 

Padahal aku memang tidak kuat bangun dan tidak ingin suamiku tertular penyakitku kalau memang hepatitis B mantan penyakitku itu yang menyerangku. Tetapi, kemudian Ibu Mertua tiba-tiba datang ke rumahku dan membawa secangkir wedang kopi..

“Istrimu sedang sedang sakit Ded. Kalau mau wedang kopi itu ada di atas meja. Ibu baru saja membuatnya.” Ibu Mertua memarahi suamiku.

“Ya Bu. Terima kasih.” Suamiku menjawab dengan wajah masam. 

 Setelah Ibu Mertua memarahi suamiku,  dia agak peduli kepadaku dan esoknya dia mau aku titipi  surat  izin  untuk  dia sampaikan  kepada pimpinan yayasan  yang  menaungi TK  tempatku  bekerja

^-^.     

          Awal Agustus 1999. Sudah beberapa  hari  aku   merasakan  gejala  hepatitis B  menyerangku. Aku merasa  mual-mual. Tidak   mempunyai  nafsu  makan. Timbul  gejala  ruam-ruam  pada  kulitku. Sendiku  sedikit  terasa  nyeri.  Aku merasakan sakit  kepala. Aku mengalami demam  berkepanjangan.  Warna  air  seniku seperti teh. Mataku terasa  gatal. Pandanganku  tidak  lagi  jernih.  Jiwaku rasanya mau  melayang.  Namun aku tidak mau pergi ke rumah sakit. Aku tidak punya uang untuk berobat. Aku juga  tidak mau merepotkan suamiku dan keluarganya lagi. Aku lebih banyak diam menghadapi penyakitku.   Aku     tidak mampu  berbuat  apa-apa  selain  makan  seadanya,  minum  air  putih  beberapa  gelas  dan  minum  air  perasan  temulawak  satu gelas kecil.

          Siang  hari. Di rumahku  tidak  ada  makanan  kecuali  bubur  Beras  Merah  program  JPS (Jaring Pengaman Sosial). Bubur  tersebut  tidak hanya  menjadi  santapan  bayiku, tetapi  juga  santapanku selama aku sakit. Suamiku tidak  mempunyai  uang  sepeserpun  sehingga   tidak  bisa  membawaku  ke  rumah  sakit  atau  memeriksakanku  ke  Dokter.   

          Syukurlah  ada  sedikit  uang  dari  tabungan Wildan.  Aku   minta izin Wildan untuk menmakai   uang tabungannya.  Meski  uang  tabungan wildan   tidak  seberapa  nilai  nominalnya,  namun  cukup  untuk  membeli obat  herbal  dan  sekaleng  susu  kental  manis  yang  membantu  meningkatkan daya  tubuhku. Sebab  hampir  tidak  ada  obat  kimia  yang  aman  untuk  mengobati  gangguan  fungsi  hati.

          Malam  hari. Anak-anak  sudah  terlelap.  Mereka  tidur  berjajar  seperti  pindang  di  lencak.  Sementara  aku masih  terbaring  lemah  di  ranjang  tua  rumahku  Sekali-sekali  angin bertiup  kencang  melewati  celah-celah  dinding  bambu rumahku dan menembus  kulitku  Lidah  api  yang  berasal  dari  lampu  ublik  yang  berdiri  di  atas  meja  menari-nari  mengikuti  terpaan  angin.  Aku  melirik  jam  di  dinding.  Sudah pukul  sebelas  malam.  Tetapi  suamiku  belum  pulang. Sebongkah  kejengkelan  mulai  menyerang hatiku.

Lihat selengkapnya