Baru sekitar dua bulan aku melahirkan anakku yang ketiga, tiba-tiba aku merasakan langit seperti runtuh. Pasalnya, masa kontrakan rumahku habis dan pemilik rumah kontrakan mengusir kami. Sementara untuk mengontrak rumah lagi di perumahan suamiku belum mempunyai uang. Sehingga mau tidak mau aku dan keluargaku kembali tinggal di rumah gubuk kami yang ada di desa Taman. Hal ini berarti aku kembali menjalani kehidupan seperti dulu yang agak primitif. Pagi-pagi aku harus mengisi tempayan di rumah dengan air pancuran sampai tempayannya penuh. Aku harus mengangkut air dengan timba dari pancuran ke rumah yang jaraknya sekitar seratus meter. Mencuci baju, mandi, buang air besar dan kecil di sungai. .
Keluargaku kembali makan apa adanya. Kalau dana terbatas karena penghasilan kami habis untuk membayar ongkos ojek maka kami makan nasi jagung dengan kuluban dan sambal tomat. Tetapi, pagi itu kami makan dengan menu spesial yaitu makan nasi jagung dengan sayur bening daun kelor dan lauk bakwan jagung. Bahan sayur beningnya yaitu daun kelor, aku memetiknya di pekarangan rumah. Bumbunya bawang merah, bawang putih, temu kunci. gula dan garam. Caranya. Setelah air di panci mendidih, daun kelor dan bumbunya aku masukkan. Setelah kira-kira sepuluh menit, aku mengangkatnya dari tungku. Lauknya, aku membuat bakwan jagung. Karena kebetulan ada tetangga yang panen jagung memberiku beberapa buah jagung muda. Bahan bakwannya adalah irisan tiga buah jagung muda yang sudah kuhaluskan. Lalu jagung tersebut kucampur dengan tepung terigu sebanyak dua ons dan air setengah gelas. Bumbunya adalah daun jeruk, kencur, laos, ketumbar, bawang putih, cabe merah, bawang merah, gula dan garam. Lalu aku menggoreng adonan bakwan satu sendok demi satu sendok dalam minyak panas sampai matang. Setelah matang aku angkat dan tiriskan. Setelah itu aku dan keluargaku menyantapnya bersama nasi jagung dan sayur bening daun kelor di atas lencak.
Seminggu sekali aku mencuci pakaian kotor. Aku biasanya mencuci baju sebanyak dua ember. Aku mencuci baju di sungai saat Adil sedang tidur. Wildan dan Imam bermain di teras. Sekali-sekali aku menengok Adil yang sedang tidur di rumah.
Setiap hari Senin sampai Sabtu aku pergi ke TK tempatku mengajar. Karena tidak ada yang mengasuh anak-anakku maka aku membawa semua anakku ke TK. Wildan dan Imam aku masukkan ke TK meskipun usia mereka belum memenuhi syarat. Sedangkan Adil, aku menidurkannya di atas tikar lipat kecil yang aku gelar di salah satu sudut ruang kelompok B. Karena tempat kerjaku dan suamiku berada dalam lingkungan yang sama maka kami berangkat kerja bersama. Setiap hari kami naik ojek berenam. Paling depan duduklah Wildan dan Pak Ojek. Lalu di belakang Pak Ojek duduklah Imam, suamiku dan aku. Jadi aku duduk paling belakang sambil menggendong Adil.
^-^
Setelah beberapa minggu tinggal di desa di lereng Argopuro, aku jatuh sakit. Sepertinya mantan penyakitku yang penyebabnya virus kambuh atau jangan-jangan aku terkena serangan sirosis. Pikirku pada waktu itu. Lagi-lagi aku merasakan langit seperti runtuh. Aku terpaksa tidak masuk kerja selama beberapa hari tanpa tahu kapan masuknya. Aku juga terpaksa meminta tolong Ibu Mertua untuk mengurus anak-anakku. Syukurlah Ibu Mertua memahami kondisi bahwa aku sedang sakit. Saudara-saudara ipar perempuan yang tinggal di dekat rumahku peduli kepada anak-anakku. Sehingga mereka tidak terlantar. Sedangkan suamiku sendiri awalnya tidak peduli padaku. Suamiku mengira aku berpura-pura sakit. Bahkan dia membentakku ketika dia pulang dari kerja dan aku tidak bangun dari tempat tidur untuk menyambutnya, setidaknya mencium tanganya.
“Assalamu alaikum,” ucap suamiku begitu memasuki rumah sepulang dari bekerja.
”Waalaikumusallam,” sahutku tanpa beranjak dari tempat tidur.
“Heh, bangun! Jangan malas Annisa.” Suamiku membentakku karena aku tidak segera bangkit menyambut menyambut kedatangannya.
Aku diam mendengarkan perkataan suamiku.
“Aku ini capek-capek kerja. Kamu enak-enakan tidur. Pura-pura sakit.” Suamiku menggerutu sambil menendang kaki tempat tidur.
Padahal aku memang tidak kuat bangun dan tidak ingin suamiku tertular penyakitku kalau memang hepatitis B mantan penyakitku itu yang menyerangku. Tetapi, kemudian Ibu Mertua tiba-tiba datang ke rumahku dan membawa secangkir wedang kopi..
“Istrimu sedang sedang sakit Ded. Kalau mau wedang kopi itu ada di atas meja. Ibu baru saja membuatnya.” Ibu Mertua memarahi suamiku.
“Ya Bu. Terima kasih.” Suamiku menjawab dengan wajah masam.
Setelah Ibu Mertua memarahi suamiku, dia agak peduli kepadaku dan esoknya dia mau aku titipi surat izin untuk dia sampaikan kepada pimpinan yayasan yang menaungi TK tempatku bekerja
^-^.
Awal Agustus 1999. Sudah beberapa hari aku merasakan gejala hepatitis B menyerangku. Aku merasa mual-mual. Tidak mempunyai nafsu makan. Timbul gejala ruam-ruam pada kulitku. Sendiku sedikit terasa nyeri. Aku merasakan sakit kepala. Aku mengalami demam berkepanjangan. Warna air seniku seperti teh. Mataku terasa gatal. Pandanganku tidak lagi jernih. Jiwaku rasanya mau melayang. Namun aku tidak mau pergi ke rumah sakit. Aku tidak punya uang untuk berobat. Aku juga tidak mau merepotkan suamiku dan keluarganya lagi. Aku lebih banyak diam menghadapi penyakitku. Aku tidak mampu berbuat apa-apa selain makan seadanya, minum air putih beberapa gelas dan minum air perasan temulawak satu gelas kecil.
Siang hari. Di rumahku tidak ada makanan kecuali bubur Beras Merah program JPS (Jaring Pengaman Sosial). Bubur tersebut tidak hanya menjadi santapan bayiku, tetapi juga santapanku selama aku sakit. Suamiku tidak mempunyai uang sepeserpun sehingga tidak bisa membawaku ke rumah sakit atau memeriksakanku ke Dokter.
Syukurlah ada sedikit uang dari tabungan Wildan. Aku minta izin Wildan untuk menmakai uang tabungannya. Meski uang tabungan wildan tidak seberapa nilai nominalnya, namun cukup untuk membeli obat herbal dan sekaleng susu kental manis yang membantu meningkatkan daya tubuhku. Sebab hampir tidak ada obat kimia yang aman untuk mengobati gangguan fungsi hati.
Malam hari. Anak-anak sudah terlelap. Mereka tidur berjajar seperti pindang di lencak. Sementara aku masih terbaring lemah di ranjang tua rumahku Sekali-sekali angin bertiup kencang melewati celah-celah dinding bambu rumahku dan menembus kulitku Lidah api yang berasal dari lampu ublik yang berdiri di atas meja menari-nari mengikuti terpaan angin. Aku melirik jam di dinding. Sudah pukul sebelas malam. Tetapi suamiku belum pulang. Sebongkah kejengkelan mulai menyerang hatiku.