Jumat pagi itu adalah hari pertama Wildan mengenakan seragam pramukanya. Ia tampak gagah sekali. Setelah makan pagi aku mengajak anak-anakku berangkat ke sekolah. Lalu aku, Wildan dan Imam pun berjalan kaki menuju sekolah Wildan. Aku menawari Wildan pulang sekolah naik becak tetangga. Karena, Wildan pulang jauh lebih awal daripada aku, tetapi Wildan menolak naik becak. Wildan ingin berjalan kaki pulang sekolah. Akhirnya Kakek yang menjemput Wildan.
Siang hari. Setelah aku dan anak-anakku berada di rumah, aku dan anak-anakku menonton film anak-anak di televisi. Seorang pemainnya sering menggunakan komputer.
“Umi beli komputer seperti itu ya!” pinta Wildan sambil menunjuk ke televisi.
Dalam pikiranku komputer termasuk barang mahal. Karena, di toko harga komputer yang baru sekitar tujuh juta-an rupiah sementara honorku sebagai guru TK pada waktu itu hanya tujuh puluh ribu-an.
“Umi tidak punya uang , sayang ,” jawabku sesaat kemudian.
“Pakai uang tabunganku,” Wildan menawariku .
Aku tersenyum. Dalam benakku terbayang beberapa keping uang logam seratusan ada di celengan Wildan. ”Kalau mau membeli komputer butuh uang banyak.”
“Nanti kalau uangku sudah banyak, Umi kubelikan komputer,” tegas Wildan.
Aku tersenyum lagi sambil mengamini ucapan Wildan dalam hati. Sebab rezeki orang siapa yang tahu? Lalu aku pergi ke dapur.
Aku memasak di dapur. Siang ini aku akan membuat dadar Jagung dan sayur bening bayam. Jagung-jagung muda aku sisir satu per satu. Lalu aku menghaluskan sisiran jagung muda tersebut di atas cobek dengan uleg-uleg (alat penghalus bumbu). Ketika aku sedang menghaluskan jagung muda, Wildan menghampiriku.
“Umi, aku bantu ya?” ucap Wildan sambil tersenyum.
“Ya, jangan sampai tumpah ya!” Aku menyerahkan uleg-uleg kepada Wildan.
“Iya, Umi,” jawab Wildan kegirangan sambil menerima uleg-uleg.
Aku memandangi Wildan. Biarpun laki-laki tetapi ia tidak canggung mengerjakan pekerjaan yang biasa dikerjakan perempuan.
Sore hari. Aku membeli pepaya Thailand yang beratnya sekitar empat kilogram. Setelah mencucinya, aku mengupasnya. Lalu aku memotongnya menjadi beberapa potong dan meletakkan potongan-potongan pepaya tersebut di atas piring oval. Wildan mengambil sepotong pepaya dengan tangan kanannya. Imam mengambil pepaya dengan tangan kirinya. Melihat hal itu aku menegur Imam.
“Imam sayang, kalau ambil pepaya, pakai tangan kanan ya!” kataku pada Imam.
Imam memindahkan pepayanya ke tangan kanannya.
“Aku ambil pakai tangan kanan ya, Mi?” tanya Wildan.
Aku mengangguk. Lalu aku memperhatikan mereka makan dengan tangan kanan. Melihat mereka makan dengan tangan kanan, aku pun jadi ingin bertanya kepada Wildan, “Kenapa kalau makan pakai tangan kanan, Wildan?”
“Karena Rasululah pakai tangan kanan, Umi,” Jawab Wildan.
“Betul!” Aku mengiyakan sambil mengacungkan jempol .