Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #23

Pamit Ke Surga

Hari Ahad. Siang.  Aku  memarahi  Wildan  karena dia  tidak  memberesi  mainannya. 

          “Kalau  Umi  marah  terus  aku  mau  pergi,”  kata  Wildan  sambil  membuka  pintu  depan.  Mukanya tampak masam. Mulutnya mengerucut.

          “Pergi  ke  mana Wildan?”  Aku bertanya dengan  sedikit  cemas.

          “Aku  mau  pergi  jauh.” Wildan menjawab  sambil   melangkah  keluar. 

Aku  tersentak.  Serta  merta aku  memohon  perlindungan-Nya  dan  cepat-cepat  mengejar  Wildan  sebelum  ia  bertindak  nekad  yaitu  pergi  tanpa  pamit.  Aku  ke luar  ke  halaman  depan.  Tapi  halaman  depan tampak  lengang.   

          Aku  melongok  ke  jalan.  Barangkali  aku  masih  bisa  melihat   sosoknya.  Tetapi,  aku  tidak  melihat  siapapun  di  jalan.  Kemana  ya  anak  itu? Semoga dia tidak pergi jauh. Ingin  rasanya  aku  menangis. Rasa malu menghalangiku untuk berteriak memanggil Wildan sekencang-kencangnya.  

Aku memanggil-manggil  namanya dengan volume suara sedang  sambil tak henti-hentinya  mengitari  halaman  depan. “Wildaaan!  Wildaaan! ”   

          Beberapa  kali  aku memanggil namanya, tetapi tak ada jawaban.

          Aku  terduduk  di  kursi  teras.  Hatiku  bagai  terpecah  belah. Aku  tercenung  beberapa saat lamanya.

          Aku  beranjak  dari  kursi  dan  berusaha  mencarinya  lagi  di  sekitar  rumah.   

          “Wildaaan  kemarilah!  Umi  tidak mau  marah lagi!” Aku berseru  dengan  lembut.

            Masih tidak ada yang menyahut.  

          “Jangan-jangan  ia  sudah  pergi  jauh,”  pikirku.  Rasa  cemas  mulai menjalari pikiranku. Doa-doa pun aku panjatkan. Ya  Allah,  lindungilah  Wildan!   Lalu aku  mencarinya  di  sudut  halaman.  Di balik  pot  besar yang berisi tanaman bonsai kelapa hibrida.  Juga di semak-semak.  Namun, aku tidak  berhasil  menemukannya.  Di  mana Wildan  Ya  Allah?Tolong aku untuk menemukannya. Aamiin Ya Rabb.  

          Ketika  aku  sudah  hampir  putus  asa  mencarinya,  tiba-tiba  terdengar  suara  renyah  milik  anak  pertamaku  dari  tempat  yang  tinggi.  

          “Umiii!” seru  Wildan. 

          Begitu   mendengar  suaranya  yang renyah seketika itu juga perasaan lega bercampur bahagia memenuhi rongga dadaku.   Lalu aku  pun  mencari-cari  tempat  asal   suara   tersebut.

          “Umiii,  aku  di  sini!”  Wildan  berseru  dengan  bangga  karena  ia  berhasil  bersembunyi  di  atas  pohon  di halaman  samping. 

         Aku  mengelus  dada. 

          “Wildan,  Wildan!  Kau   membuat Umi  khawatir  saja.”  Aku bergumam seraya  menghampiri  pohon  yang Wildan  panjat.

           “Hati-hati  ya  sayang!  Kalau  turun  lihat  bawah!” Aku mengingatkan Wildan  setelah  berada  di  dekat  pohon  yang dia panjat.  

          “Iya,  Umi.”  Wildan menjawab sambil  berpegangan  pada  cabang  pohon. 

          Setelah  turun  dari  pohon,  aku  memeluk Wildan erat sekali seolah-olah tidak ingin dia pergi lagi. Lalu aku  mencium  kedua  pipi  Wildan.  

          “Maafkan  Umi, ya?”  Aku berkata  sambil  mengusap  rambut  di  kepalanya. 

          Wildan  menganggukkan kepala pelan.  

          Kemudian  aku  dan  Wildan  memasuki  rumah.   Sementara  Wildan  memasuki   kamar, aku  mendekati   Imam  dan  Adil  yang  sedang  asyik  bermain  APE  di  ruang  tengah. 

Tiba-tiba  terdengar  suara  Wildan  dari  dalam  kamar.

           “Umi  cari  aku!  Di  mana  aku?”  Wildan berseru  dengan nada menggoda..

          Rupanya  Wildan  mengajak aku   bermain  petak  umpet. Aku  pun  mulai bermain peran. Aku   berakting  menjadi  teman  mainnya  yang  seimbang. 

          Aku  membuka  pintu  kamar  perlahan-lahan.  Memasuki   kamar  tempat  Wildan  bersembunyi.   Berjalan  mengendap-endap. Menoleh  ke  kanan  dan  ke  kiri.  Aku  tidak  menemukan  jejaknya  di  kamar.  Bersembunyi  di  manakah  anak  itu?

Lihat selengkapnya