Hari Ahad. Siang. Aku memarahi Wildan karena dia tidak memberesi mainannya.
“Kalau Umi marah terus aku mau pergi,” kata Wildan sambil membuka pintu depan. Mukanya tampak masam. Mulutnya mengerucut.
“Pergi ke mana Wildan?” Aku bertanya dengan sedikit cemas.
“Aku mau pergi jauh.” Wildan menjawab sambil melangkah keluar.
Aku tersentak. Serta merta aku memohon perlindungan-Nya dan cepat-cepat mengejar Wildan sebelum ia bertindak nekad yaitu pergi tanpa pamit. Aku ke luar ke halaman depan. Tapi halaman depan tampak lengang.
Aku melongok ke jalan. Barangkali aku masih bisa melihat sosoknya. Tetapi, aku tidak melihat siapapun di jalan. Kemana ya anak itu? Semoga dia tidak pergi jauh. Ingin rasanya aku menangis. Rasa malu menghalangiku untuk berteriak memanggil Wildan sekencang-kencangnya.
Aku memanggil-manggil namanya dengan volume suara sedang sambil tak henti-hentinya mengitari halaman depan. “Wildaaan! Wildaaan! ”
Beberapa kali aku memanggil namanya, tetapi tak ada jawaban.
Aku terduduk di kursi teras. Hatiku bagai terpecah belah. Aku tercenung beberapa saat lamanya.
Aku beranjak dari kursi dan berusaha mencarinya lagi di sekitar rumah.
“Wildaaan kemarilah! Umi tidak mau marah lagi!” Aku berseru dengan lembut.
Masih tidak ada yang menyahut.
“Jangan-jangan ia sudah pergi jauh,” pikirku. Rasa cemas mulai menjalari pikiranku. Doa-doa pun aku panjatkan. Ya Allah, lindungilah Wildan! Lalu aku mencarinya di sudut halaman. Di balik pot besar yang berisi tanaman bonsai kelapa hibrida. Juga di semak-semak. Namun, aku tidak berhasil menemukannya. Di mana Wildan Ya Allah?Tolong aku untuk menemukannya. Aamiin Ya Rabb.
Ketika aku sudah hampir putus asa mencarinya, tiba-tiba terdengar suara renyah milik anak pertamaku dari tempat yang tinggi.
“Umiii!” seru Wildan.
Begitu mendengar suaranya yang renyah seketika itu juga perasaan lega bercampur bahagia memenuhi rongga dadaku. Lalu aku pun mencari-cari tempat asal suara tersebut.
“Umiii, aku di sini!” Wildan berseru dengan bangga karena ia berhasil bersembunyi di atas pohon di halaman samping.
Aku mengelus dada.
“Wildan, Wildan! Kau membuat Umi khawatir saja.” Aku bergumam seraya menghampiri pohon yang Wildan panjat.
“Hati-hati ya sayang! Kalau turun lihat bawah!” Aku mengingatkan Wildan setelah berada di dekat pohon yang dia panjat.
“Iya, Umi.” Wildan menjawab sambil berpegangan pada cabang pohon.
Setelah turun dari pohon, aku memeluk Wildan erat sekali seolah-olah tidak ingin dia pergi lagi. Lalu aku mencium kedua pipi Wildan.
“Maafkan Umi, ya?” Aku berkata sambil mengusap rambut di kepalanya.
Wildan menganggukkan kepala pelan.
Kemudian aku dan Wildan memasuki rumah. Sementara Wildan memasuki kamar, aku mendekati Imam dan Adil yang sedang asyik bermain APE di ruang tengah.
Tiba-tiba terdengar suara Wildan dari dalam kamar.
“Umi cari aku! Di mana aku?” Wildan berseru dengan nada menggoda..
Rupanya Wildan mengajak aku bermain petak umpet. Aku pun mulai bermain peran. Aku berakting menjadi teman mainnya yang seimbang.
Aku membuka pintu kamar perlahan-lahan. Memasuki kamar tempat Wildan bersembunyi. Berjalan mengendap-endap. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku tidak menemukan jejaknya di kamar. Bersembunyi di manakah anak itu?