Hari Jumat. Pekan ke dua. Kira-kira pukul dua dini hari. Aku terbangun. Berdoa bangun tidur. Aku memandangi wajah Wildan yang bersih dan polos. Aku menciumi pipi dan kening Wildan lama sekali. Lalu Aku berkata lirih, ”Ya Allah jadikanlah Wildan anak yang sholeh!” Kemudian aku mengambil wudhu dan menunaikan salat tahajud. Setelah itu aku pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
Pagi-pagi sekitar pukul empat Wildan sudah bangun. Bibirnya yang mungil mengembangkan senyum menyambut kedatanganku yang baru memasuki kamar. Wajah Wildan cerah sekali. Berseri-seri bak buah ceri.
“Umi, aku sudah bangun.” Wildan berkata begitu aku melihatnya bangun dari tempat tidurnya. Matanya yang jernih memandangiku lekat-lekat.
“Bagus.” Aku menyahut sambil tersenyum.
“Aku nggak kena ompol adik.” Wildan berkata dengan nada riang.
“Alhamdulillah, setelah ini mandi dengan air hangat ya anak sholeh?” Aku berkata dengan lembut sambil mengusap kepalanya.
“Iya Umi.” Wildan menyahut. Wajahnya nampak ceria sekali. Seolah-olah dia mau pergi berlibur ke tempat wisata yang sangat indah dan menyenagkan.
“Umi mau merebus air dulu ya sayang?”
Wildan menganggukkan kepalanya sambil melepas senyum. Lalu dia bertanya kepadaku, ”Jam berapa sekarang, Umi?” .
“Umi nggak tahu. Wildan lihat saja sendiri.” Aku menjawab seraya menggendong Wildan keluar dari kamar. Aku berhenti di depan jam dinding agar dia sendiri yang melihat jam di dinding di ruang tamu. “Tuh, lihat jamnya Wildan!”
“Sudah jam lima, Umi,” kata Wildan setelah melihat jam di dinding.
“Pintar.” Aku memujinya atas keberhasilannya menyebut jam. Aku menurunkan Wildan di kursi ruang tamu.
“Tunggu anak sholeh. Umi mau merebus air dulu.” Aku berkata kepada Wildan.
Wildan mengangguk.
Aku merebus air. Setelah air mendidih, Aku menuangkan air panas tersebut ke dalam timba untuk mandi Wildan. Biasanya Wildan mandi sendiri. Kali ini Ibu yang memandikannya. Lalu Wildan menggosok giginya dengan pasta gigi anak. Giginya putih dan sehat. Ia hampir tidak pernah mengeluh sakit gigi. Mungkin ia rajin menggosok gigi dan mengkomsumsi makanan bergizi yang cukup mengandung kalsium.
Aku memberi Wildan handuk dan pakaian seragam pramuka. Ketika aku bermaksud mengenakan pakaian seragamnya, Wildan menolaknya karena mau berpakaian sendiri. Sebelum berpakaian, ia berbaring di lantai dekat kolong tempat tidur dengan tubuh berbalut handuk. Ia memandangi kolong tempat ia biasa bersembunyi ketika sedang bermain petak umpet bersama adik-adiknya. Ia memandang ruangan di bawah tempat tidur itu lama sekali. Pandangan matanya menerawang jauh. Aku tak mau mengusiknya. Toh waktu berangkat ke sekolah masih lama.
Setelah Wildan berpakaian seragam pramuka, Ibu menyuruhnya membeli jajan apem di warung ujung jalan. Apem itu untuk bekal Wildan ke sekolah selain untuk makanan selingan kakek dan neneknya. Ketika Wildan melewati rumah seorang tetangga, seseorang menyapanya dan bertanya, “Wildan, kok beli Apem banyak?”
“Iya, besok aku nggak beli Apem lagi. Karena aku mau pergi jauh,” jawab Wildan spontan.
Setelah Wildan membeli apem, kue dari beras, ia belajar bahasa Indonesia bersama kakeknya di ruang tengah. Dia belajar sebentar. Dia anak penurut. Kakeknya senang sekali mengajarinya. Lalu aku menyuruhnya makan sepiring nasi goreng dan tahu goreng yang ada di meja makan.
Wildan tidak melahap habis nasinya dan aku yang menghabiskannya. Kemudian Wildan minum susu. Inipun dia tidak meminum sampai habis.
Setelah aku dan Imam berpakaian rapi, aku mengajak Wildan berangkat. Sebelum berangkat ke sekolah, aku merapikan hansduk dan peci baret Wildan. Ia nampak gagah dan tampan dengan seragam pramuka-nya. “Wildan ganteng!” aku memujinya.
Wildan tersenyum. Senyumnya menimbulkan perasaan yang sulit aku lukiskan.
Aku mencium kedua pipinya dengan penuh kasih sayang. Waktunya lebih lama dari biasanya. Seolah-olah aku tidak akan bisa menciumnya lagi. Aku melepaskan ciumanku dan aku menyodorkan pipi kananku kepada Wildan, ”Sayang Umi!”
Wildan mencium pipi kananku. .
“Satunya!” Aku berkata sambil menyodorkan pipi kiriku.
Wildan mencium pipi kiriku. Lalu aku memberinya uang saku sebesar dua ratus rupiah. Ibu menambah uang sakunya sebesar seratus rupiah. Jadi total uang sakunya sebesar tiga ratus rupiah. Sedikit tetapi ia menerimanya dengan senang hati.
“Oh ya, Annisa. Tolong Ibu belikan obat Antasida ke bu Bidan!” kata Ibu kepadaku sebelum aku berangkat.
“Ya, Ibu. Insya Allah!” Aku menjawab sambil mengambil tas kain batikku. Lalu aku mencium tangan Ibu dan Bapak yang berdiri di dekat pintu. Anak-anak mencium tangan Kakek dan Nenek mereka. Setelah mengucapkan salam kami pun berangkat sambil mengucapkan doa ke luar rumah.
^-^
Aku berjalan sambil membimbing tangan Wildan dan Imam. Sampai di depan pintu gerbang perumahan kami membelok sedikit ke kiri, lalu kami berhenti. Setelah jalan sepi kendaraaan, kami menyeberangi zebra cross dengan mengucapkan Basmallah.
Sesampainya di seberang jalan, Wildan mencium tanganku. Kemudian aku mengucapkan salam dan Wildan menjawabnya dengan lirih. Aku berpesan kepadanyya agar berhati-hati kalau sepulang sekolah nanti menyeberang jalan. Di wajahnya aku melihat keceriaanya menjadi murid kelas satu. Ia bergegas ke arah utara menuju sekolahnya SDN 01 karena ia tidak ingin terlambat masuk sekolah.
Aku memandangi sosok Wildan sampai ia membelok ke jalan kecil dan tak terlihat lagi. Tiba-tiba sederet kata meluncur begitu saja dari lubuk hatiku yang paling dalam, ”Ya Allah kuserahkan Wildan kepada-Mu untuk menjaganya. Karena aku tak mungkin menjaganya sepanjang waktu. Dan Engkau adalah Pemiliknya dan sebaik-baik Penjaga.”