Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #25

Pasca Kematian Wildan

Peristiwa meninggalnya Wildan mau tak mau membuatku terserang stress. Namun, aku  tidak membiarkan diriku mengalami stres berat. Sebab kalau hal itu sampai terjadi maka mantan penyakit  bisa kambuh lagi. Bahkan sirosis akan semakin berani menyerang tubuhku. Oleh karena itu aku berusaha  mengisi hari-hariku dengan banyak kesibukan yang membuatku bebas stres dan sekaligus membuatku semakin dekat dengan-Nya. 

Aku banyak  membaca buku karya ulama kibar seperti Menggapai Manisnya Iman karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah. Lalu aku menulis ringkasannya. Aku kembali rajin mengerjakan amalan-amalan sunnah seperti salat dhuha dan tahajud, tilawah, puasa sunnah, sedekah dan dzikrullah. Sehingga dengan izin-Nya stres enggan menghampiriku .

          Pada setiap sepertiga malam aku   hampir  selalu  menghabiskan  waktuku  dengan menunaikan salat Tahajud,   dzikir, tilawah, sholawat, istighfar  dan  berdoa, “ Ya  Allah  aku  mohon  keridhoan-Mu  sesudah  adanya  keputusan  dan  aku  mohon  kepada-Mu  kesejukan  hidup   sesudah  mati   dan  aku  mohon  kepada-Mu  kenikmatan  melihat  wajah-Mu dan kerinduan  berjumpa dengan-Mu, dengan mudah tanpa susah dan tanpa godaan yang menyesatkan.”

          Sejak  kepergian  Wildan  ke  Surga,  aku  tidak  lagi  mempunyai  selera  makan.  Kalaupun  terpaksa  makan  karena aku  tidak  ingin  jatuh sakit dan terserang penyakit hepatitis B lagi. Seperti  pagi  ini aku terpaksa makan telur rebus dan  minum  segelas  susu.  Sehingga aku   bisa  melayani  tamu-tamuku  yang  datang  silih  berganti. Dan yang lebih penting aku bisa  beribadah secara optimal. 

          Sepeninggal  Wildan,  aku merasa kakiku menginjak bumi, tetapi pikiranku melayang ke langit. Hidup  terasa  tak  seindah  dulu lagi.  Sebab  kini  hanya tinggal  dua  anak lelaki  yang  bisa  menemani  kesendirianku,  mengajakku bercanda dan bermain  petak  umpet.  Sehingga hidup  terasa kurang  lengkap   tanpa  kehadiran  Wildan di sisiku.  Tetapi,  kalau   Sutradara  Yang  Maha  Tinggi  sudah  membuat  skenario   hidupku serperti demikian  maka  apa  yang  bisa  aku perbuat  selain  menerima  suratan  takdir-Nya. Tak ada gunanya aku mengeluh.  Kalaupun aku  mengeluh sampai air mataku meleleh sekian kali, Wildan tidak akan hidup lagi.  

          Rasa bersalah masih menyelimuti hati ini. Aku    memahami  betul  bahwa  anak  adalah  amanah  atau  titipan  Allah  yang  harus  aku jaga sebaik-baiknya.  Demikian pula Wildan.  Amanah  Allah  yang  harus  kujaga dengan  sebaik-baiknya.  Kalaupun  pada  akhirnya  Wildan  meninggal  dunia lantaran truk menabraknya truk  maka  hal  itu  di  luar  kemampuanku.  Bukan  karena aku tidak  bersungguh-sungguh  menjaganya.  Tetapi,   karena  sudah menjadi takdir-Nya Wildan  meninggal  dunia  dengan  jalan  kecelakaan  tertabrak  truk  yang  lewat  di  depan  sekolahnya  pada  hari  Jum’at   sekitar  pukul  sembilan. Bukankah  jodoh,  rezeki   dan  umur  seseorang   itu  ada   di  tangan  Allah?  Dan   Allah  sudah  menentukan  jatah  umur  Wildan  hidup  di  dunia hanya selama  enam  tahun tiga  bulan.  Apa  yang  bisa aku perbuat? Apa  aku bisa  menentang  takdir-Nya?  Meskipun  aku berdoa  seribu  kali  memohon kepada-Nya agar  Allah melindungi Wildan dari wara bahaya   dan  memaksa  Wildan  untuk  berlangganan  naik  becak. Apakah  hal  itu bisa  menjamin  Wildan  tidak  mati   dan  tidak  mengalami  kecelakaan  pada  hari  Jum’at  pagi  di sekolahnya ?       

Lihat selengkapnya