Peristiwa meninggalnya Wildan mau tak mau membuatku terserang stress. Namun, aku tidak membiarkan diriku mengalami stres berat. Sebab kalau hal itu sampai terjadi maka mantan penyakit bisa kambuh lagi. Bahkan sirosis akan semakin berani menyerang tubuhku. Oleh karena itu aku berusaha mengisi hari-hariku dengan banyak kesibukan yang membuatku bebas stres dan sekaligus membuatku semakin dekat dengan-Nya.
Aku banyak membaca buku karya ulama kibar seperti Menggapai Manisnya Iman karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah. Lalu aku menulis ringkasannya. Aku kembali rajin mengerjakan amalan-amalan sunnah seperti salat dhuha dan tahajud, tilawah, puasa sunnah, sedekah dan dzikrullah. Sehingga dengan izin-Nya stres enggan menghampiriku .
Pada setiap sepertiga malam aku hampir selalu menghabiskan waktuku dengan menunaikan salat Tahajud, dzikir, tilawah, sholawat, istighfar dan berdoa, “ Ya Allah aku mohon keridhoan-Mu sesudah adanya keputusan dan aku mohon kepada-Mu kesejukan hidup sesudah mati dan aku mohon kepada-Mu kenikmatan melihat wajah-Mu dan kerinduan berjumpa dengan-Mu, dengan mudah tanpa susah dan tanpa godaan yang menyesatkan.”
Sejak kepergian Wildan ke Surga, aku tidak lagi mempunyai selera makan. Kalaupun terpaksa makan karena aku tidak ingin jatuh sakit dan terserang penyakit hepatitis B lagi. Seperti pagi ini aku terpaksa makan telur rebus dan minum segelas susu. Sehingga aku bisa melayani tamu-tamuku yang datang silih berganti. Dan yang lebih penting aku bisa beribadah secara optimal.
Sepeninggal Wildan, aku merasa kakiku menginjak bumi, tetapi pikiranku melayang ke langit. Hidup terasa tak seindah dulu lagi. Sebab kini hanya tinggal dua anak lelaki yang bisa menemani kesendirianku, mengajakku bercanda dan bermain petak umpet. Sehingga hidup terasa kurang lengkap tanpa kehadiran Wildan di sisiku. Tetapi, kalau Sutradara Yang Maha Tinggi sudah membuat skenario hidupku serperti demikian maka apa yang bisa aku perbuat selain menerima suratan takdir-Nya. Tak ada gunanya aku mengeluh. Kalaupun aku mengeluh sampai air mataku meleleh sekian kali, Wildan tidak akan hidup lagi.
Rasa bersalah masih menyelimuti hati ini. Aku memahami betul bahwa anak adalah amanah atau titipan Allah yang harus aku jaga sebaik-baiknya. Demikian pula Wildan. Amanah Allah yang harus kujaga dengan sebaik-baiknya. Kalaupun pada akhirnya Wildan meninggal dunia lantaran truk menabraknya truk maka hal itu di luar kemampuanku. Bukan karena aku tidak bersungguh-sungguh menjaganya. Tetapi, karena sudah menjadi takdir-Nya Wildan meninggal dunia dengan jalan kecelakaan tertabrak truk yang lewat di depan sekolahnya pada hari Jum’at sekitar pukul sembilan. Bukankah jodoh, rezeki dan umur seseorang itu ada di tangan Allah? Dan Allah sudah menentukan jatah umur Wildan hidup di dunia hanya selama enam tahun tiga bulan. Apa yang bisa aku perbuat? Apa aku bisa menentang takdir-Nya? Meskipun aku berdoa seribu kali memohon kepada-Nya agar Allah melindungi Wildan dari wara bahaya dan memaksa Wildan untuk berlangganan naik becak. Apakah hal itu bisa menjamin Wildan tidak mati dan tidak mengalami kecelakaan pada hari Jum’at pagi di sekolahnya ?