Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #26

Lailatul Qadar

Ya Allah, Izinkan aku bersamanya di surga! Kata-kata itu spontan keluar dari hatiku setiap aku mendengar namanya disebut orang. Aku memang belum lama mengenalnya. Tetapi, cintaku kepadanya begitu mendalam. Rasanya tidak ada lelaki yang paling aku cintai di dunia ini selain dia. Bagaimana tidak? Ketika aku berada di titik terendah, jatuh sakit parah karena serangan virus hepatitis B yang hampir merenggut nyawaku dan kemudian ancaman sirosis yang menghantui hidupku, dia hadir di dalam hatiku memberikan pencerahan.. Sehingga aku bangkit dan meniti kembali hidupku yang nyaris porak poranda..    

Lewat buku Sirah Nabawiyah yang aku baca, aku mencoba memahami pribadinya. Dan kemudian meneladani keindahan akhlak dan perbuatannya. Aku memulainya dari amalan-amalan yang ringan. Makan minum dengan tangan kanan, makan ketika lapar berhenti sebelum kekenyangan. Minum minuman yang sudah dingin. Kalau panas mengipasnya tanpa meniup-niupnya. Tidur miring ke kanan menghadap kiblat. Selain itu aku berusaha istikamah menggenggam lima kunci alias mengerjakan lima amalan sunnah setiap hari. Lima kunci itu antara lain sholat sunnah terutama sholat Dhuha dan sholat Tahajud, membaca Al-Qur’an, berpuasa sunnah, bersedekah, dan dzikrullah khususnya dzikir pagi dan petang yang di dalamnya ada sholawat dan istighfar. Sudah sekitar lima belas tahun aku menggenggam lima kunci tersebut.  

Pikiranku melayang pada masa lalu. Sekian tahun yang lalu. Aku adalah seorang ibu dengan tiga anak laki-laki, yaitu: Wildan, Imam dan Adil. Aku dan keluargaku tinggal di rumah kontrakan di Bondowoso. Sehari-harinya aku bekerja sebagai guru TKIT di Bondowoso. Sedangkan suamiku Mas Dedi bekerja sebagai karyawan pabrik tepung tapioka di Situbondo dan tinggal di mess pabrik. Seminggu sekali suamiku pulang ke rumah Bondowoso. 

Beberapa bulan setelah suamiku bekerja di pabrik tepung tapioka, berbagai musibah menimpa keluargaku. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Suatu malam ketika suamiku sedang berada di Situbondo dan ketiga anak laki-lakiku tengah tidur nyenyak di tempat tidur, aku merasakan sakit perut yang luar biasa. Seperti hendak melahirkan. Padahal aku baru hamil tiga bulan. Tidak lama kemudian darah ke luar dari jalan lahir bayiku. Banyak sekali darah yang mengalir. Hingga baju yang kupakai terutama bagian bawah basah bersimbah darah. Rupanya aku mengalami keguguran. Mau minta tolong tetangga, hari sudah larut malam. Tanpa pikir panjang, aku mengambil selimut yang ada di dekatku.. 

Aku menaruh sarung pada bagian bawah tubuhku. Sebelum sempat ke kamar mandi, Aku pergi ke dapur dengan tertatih-tatih. Aku menyalakan kompor minyak tanah, menjerang air, mengupas kunyit, mengiris-irisnya. Setelah air yang kumasak mendidih, aku membuat ramuan kunyit asam yang kucampur madu. Setelah minum ramuan tersebut, aku membersihkan badanku di kamar mandi. Lalu kembali istirahat di tempat tidur. 

Selama beberapa hari aku banyak berbaring di tempat tidur. Kebetulan ketika itu anak-anak TKIT sedang libur semester. Jadi tidak ada masalah aku tidak masuk kerja,  

Beberapa minggu kemudian, Wildan, anak pertamaku yang baru memasuki sekolah dasar kelas satu meninggal dunia. Anakku meninggal dunia karena tertabrak truk di depan sekolahnya. Aku belum sempat menjemput Wildan karena ketika itu masih ada urusan penting di sekolah tempatku mengajar. 

Keguguran calon buah hatiku dan kematian anak pertamaku Wildan itu cukup membuat aku kehilangan daya hidup. Terkadang aku merasa kakinya menginjak bumi, tetapi jiwanya melayang ke langit. Meskipun demikian, aku tidak ingin kehilangan sebuah momen spesial di bulan puasa Ramadhan yaitu berburu lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sebagaimana yang pernah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam lakukan. Sehingga pada setiap penghujung malamnya aku selalu menyempatkan diri untuk mengintai langit di balik pintu belakang rumahku. Sementara suami dan dua anak lelakiku melakukan i’tikaf di Masjid Al-Ikhlas di Bondowoso setiap hari pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, Tante Ima menginap di rumah kontrakanku untuk menemaniku.

^-^ 

Malam itu Tante Ima tak bisa tidur hingga larut malam karena insomnia. Ia tampak keheranan menyaksikan kebiasaan baruku. Lalu karena rasa penasarannya, Tante Ima memberanikan diri bertanya kepadaku. Ketika itu malam ke tiga pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Aku masih dalam balutan mukenah putih, aku menguak pintu belakang, Tante Ima bertanya,”Mengapa kamu sering mengintai langit, Annisa?” 

"Siapa tahu dapat Lailatur Qadar, Tante Ima." Aku menyahut kalem.

"Lailatur Qadar? Malam seribu bulan?" Tante Ima bertanya keheranan.

 "Iya. Malam ketika dosa-dosa diampuni Nya, dan doa-doa dikabulkan-Nya."

Serta merta Tante Ima menyahut, "Mimpi kamu! Ustadz yang paham agama saja sulit meraih Lailatul Qadar, apalagi kamu yang masih terbata-bata baca Alquran.”. 


Aku langsung terdiam. Tetapi hatiku tidak mau diam berzikir, seperti mengucapkan bacaan subhanallah, laa ilaha illallaha, alhamdulillah, istighfar dan doa terutama berdoa saat kedatangan lailatul qadar, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Aisyah RA, 

“Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jika aku menjumpai satu malam yang itu merupakan lailatul qadar, apa yang aku ucapkan?’

Nabi Shallallahu Alayhi Wasallam menjawab: Ucapkanlah Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Pemaaf dan Pemurah maka maafkanlah diriku." (HR At-Turmudzi dan Ibnu majah)

Lihat selengkapnya