Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #27

Pembukaan Macet

Dua tahun setelah kematian Wildan, aku dan keluargaku pindah ke rumah kontrakan yang baru di Perumahan Asri. Kami menempati rumah tipe 36 di Blok C. Lokasinya di pojok. Halaman samping rumah kontrakan tersebut cukup luas. Sehingga aku bisa memanfaatkannya untuk berkebun. Bagiku berkebun adalah kegiatan yang mengasyikan. Selain dapat membantuku melupakan kesedihan atas kematian Wildan, berekbun juga memberikan kebahagian plus keuntungan finansial. Karena, dengan izin-Nya berkebun dapat mengaktifkan dopamin, hormon kebahagiaan. Lebih-lebih jika berkebun sayur-sayuran dan buah-buahan seperti cabe, tomat, labu siam, kangkung, pisang dan pepaya. Sehingga ketika panen dapat memenuhi kebutuhan gizi keluarga dan menambah penghasilan. 

Selain menanam sayur-sayuran dan buah-buahan, aku juga menanam tanaman obat keluarga atau TOGA. Salah satu tanaman obatku adalah temulawak, herbal yang berkhasiat meningkatkan daya tahan tubuh. Mantan penderita hepatitis B seperti aku wajib menanam temulawak di kebunku. Sewaktu-waktu membutuhkannya tinggal ambil. Untuk menjaga kesehatanku aku rutin minum seduhan temulawak atau kunyit atau jahe madu setiap hari.      

Aku mengolah daun-daun kering yang berserakan di kebunku dan sampah organik dapur menjadi kompos di pot bekas. Kemudian aku timbun tanah. Pada waktu-waktu tertentu aku menggunakan kompos tersebut untuk memupuk para tanaman di kebunku.. 

          Setiap hari aku menyiram tanamannya. Biasanya dengan air cucian beras. Setiap menyiram aku selalu berdoa kepada-Nya agar Dia memberi tanaman-tanamanku kesuburan dan keberkahan. 

          Pada hari libur sekolah biasanya aku mengajak anak-anakku berkebun. Lewat berkebun aku menanamkan rasa cinta kepada-Nya dan juga cinta kepada makhluk ciptaan-Nya, misalnya, ketika ada kasus yang menimpa tanaman. Suatu hari Imam lupa menyiram tanaman tomat. Sehingga sang tomat jatuh lemas. Melihat hal itu, aku pun menegur Imam. 

”Apakah tanamannya belum kamu siram, Sayang?” Aku bertanya kepada Imam. 

          Imam mengangguk .

          “Kalau Imam ingin disayang Allah maka Imam juga harus sayang pada tanaman ciptaan-Nya!”     

“Iya Umi, Maaf aku belum menyiram tanaman.” jawab Imam. Lalu Imam bergegas mengambil gembor berisi air dan menyiram tanaman tomat..

          Kebun di halaman rumah kontrakanku memang sempit dan tanamannya sedikit. Meskipun demikian kebunku telah banyak membantuku mengatasi masa-masa sulit. Ketika harga cabe melangit, aku tidak menjerit karena aku bisa memetik cabe rawit di kebunku yang sempit. Beberapa jenis sayur dan buah lainnya seperti labu siam, bayam, tomat, markisah, pepaya, dan pisang aku tidak perlu membelinya karena aku bisa memetiknya di kebun.  

Aku pernah nyaris tidak bisa menebus beras jatah yang harganya Rp. 11.000,- per zak 10 kg. Karena aku tidak mempunyai uang Rp11.000,00 sama sekali. Kalau aku tidak segera mengambilnya maka orang lain yang akan menebusnya. Kebetulan suaminya sedang ada di luar kota. Sehingga aku terpaksa mencari utangan ke tetanggaku. Sayangnya tetanggaku tidak meempunyai uang. 

Setelah menunaikan salat Dhuha, aku mendatangi kebunku. ternyata ada pohon pisang di halaman rumahku siap aku panen. Aku pun menawarkan pisang tersebut ke tetanggaku. Ia menawar pisangku dengan harga Rp30.000,00 per tandan. Aku mengiyakannya. Lalu tetanggaku memotong pisang tersebut dan mengambilnya setelah menyerahkan uang Rp30.000,00. Alhamdulillah akhirnya dengan uang hasil menjual pisang tersebut, aku bisa menebus beras jatah dan belanja kebutuhan dapur.

^-^

 Setelah mengalami keguguran dua tahun yang lalu, aku hamil lagi. Orang-orang di sekitarku terutama Ibu Mertua dan saudara-saudara iparku tidak tahu sama sekali kalau aku hamil. Mungkin karena jilbab lebar yang aku pakai sehingga perut besarku tidak kelihatan atau aku tidak menampakkan tanda-tanda kehamilan seperti mual-mual dan muntah-muntah di depan mereka. Aku sendiri tetap menjalankan kebiasaanku menjalankan puasa Senin Kamis tanpa mengeluhkan kehamilanku. Mereka baru tahu kalau aku hamil pada waktu usia kandunganku tujuh bulan karena aku memang tak mungkin bisa menyembunyikan perutku yang semakin besar. 

Orang-orang yang tinggal di kompleks perumahan Asri tempatku tinggal begitu perhatian terhadap kehamilanku terutama setelah mereka mengetahui aku hamil. Kadang-kadang mereka mengujungi rumahku sambil membawa makanan yang matang. Tetangga-tetangga di desa juga perhatian kepadaku Saat mereka panen sayur mayur atau buah-buahan, mereka tidak segan-segan  mengirimi aku sayur-mayur atau buah-buahan dari kebun mereka. Kadang-kadang mereka mengirimiku beras hasil selep .

          Sahabatku yang tinggal di dekat rumah kontrakanku juga perhatian terhadap diriku yang sedang hamil. Namanya Mbak Tien. Sudah beberapa kali Mbak Tien mengirimi keluargaku makanan yang lezat dan bergizi. Pertama, semur daging. Kedua, ayam goreng krispi. Ketiga, bothok tempe campur teri. Keempat, sup jamur tiram. Kelima, rawon. Sehingga kesehatanku relatif tetap terjaga, meskipun mantan penyakitku si hepatitis B dan sirosis masih terus membayangi hidupku.     

          Orang-orang di sekitarku memang perhatian terhadapku. Apalagi suamiku. Menjelang tanggal perkiraan persalinan, aku ingin makan kurma dalam jumlah yang banyak. Dengan makan kurma banyak aku berharap dapat menjalani persalinanku yang ketiga dengan kesehatan yang prima sebagaimana persalinan-persalinan sebelumnya. Namun, bulan Ramadhan sudah lewat enam bulan yang lalu. Dan pedagang yang menjual kurma di pasar Bondowoso sudah tidak ada lagi. Meskipun demikian, suamiku berusaha memenuhi permintaanku. Bahkan tidak tanggung-tanggung Mas Dedi membelikan tiga kilo kurma di Situbondo untukku.

          Beberapa hari sebelum persalinan berlangsung, setiap hari aku mengunyah beberapa butir kurma selain makan nasi dengan sayur, lauk dan buah yang mengandung vitamin, mineral dan zat-zat yang ibu hamil butuhkan. 

Setiap usai salat Subuh, aku berjalan kaki tanpa alas kaki sambil menghirup udara segar di sekitar halaman rumah kontrakanku. Lalu aku menginjak-injak kerikil kira-kira selama setengah jam. Aku melakukan hal ini secara rutin agar terhindar dari bengkak muka atau tungkai.

^-^

Awal Juli 2003. Pagi hari setelah mengajar di TKIT, aku memeriksakan kehamilanku ke polindes. Lokasinya 100 meter dari TKIT. Kata Bidan, kepala bayiku sudah di bawah tetapi belum terjadi pembukaan jalan lahir. 

Sore hari. Aku belum merasakan tanda-tanda persalinan, seperti nyeri di perut atau punggung, pecahnya air ketuban dan keluarnya lendir kental yang kadang-kadang bercampur darah.  

Menjelang  Maghrib aku merasakan mulas-mulas di perut akibat kontraksi otot uterin. Semula sakitnya biasa-biasa saja. Tetapi, lama-lama aku merasakan nyeri dan sengatan kejang di punggung dan pangkal paha.  

Usai menunaikan salat Maghrib, aku bersiap-siap ke rumah Bidan. Dengan uang sebesar 150 ribu rupiah yang merupakan hasil tabunganku selama beberapa bulan, Aku minta antar Mas Dedi ke Polindes. Mas Dedi pun segera membawaku ke Polindes dengan naik motor perusahaan tempat dia bekerja.  

          Tiba di Polindes, Bidan memeriksa kehamilanku. Bidan memeriksa berapa tekanan darah, nadi dan suhu badanku . Lalu Bidan minta izin untuk memeriksa jalan lahir bayi untuk mengukur besarab pembukaan..   

Lihat selengkapnya