Awal September 2004. Sekitar pukul tujuh pagi Mas Dedi mengantar aku dan Hana ke TKIT. Mas Dedi mengendarai motor milik pabrik tepung tapioka tempatnya bekerja di Situbondo. Mas Dedi menghentikan motornya di depan gedung TKIT. Aku dan Hana turun. Setelah mencium tangan Mas Dedi, Aku mengucapkan salam. Mas Dedi menjawab salam. Lalu dia mengendarai motornya dan meninggalkan halaman TKIT.
Aku dan Hana berjalan menuju ruang kelas B tempatku mengajar. Aku membiarkan Hana duduk di kursi plastik miliknya yang aku taruh di deretan paling belakang. Meskipun usianya baru satu tahun, ia hampir tidak pernah rewel menemani aku mengajar di TKIT. Aku membawanya ke TKIT sejak usianya dua bulan. Pada waktu Hana masih bayi, aku menaruhnya di atas tikar kecil yang ada di sudut ruang kelas saat aku sedang mengajar.
Sekitar pukul sembilan pagi aku pada pamit kepada seorang teman guru untuk menyelesaikan suatu urusan di kantor desa Dadap. Aku menitipkan Hana pada wali murid yang sedang menunggu anaknya sekolah di TKIT. Sepulang dari kantor desa Dadap, aku kembali ke TKIT. Tetapi sebelum kakiku menginjak gedung TKIT, seorang guru TKIT menghadangku. Dengan tergesa-gesa dia mengabarkan bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan sedang menjalani perawatan di UGD Puskesmas.
Berita yang mengejutkan itu bagai bunyi langit yang menggelegar. Begitu berita itu selesai kudengar, badanku langsung terkulai lemas.
Nenek Kha muncul di ruang imajinasiku dan membisiku, “Ucapkanlah kalimat istirjak, Annisa!”
Aku spontan mengucapkan, “Innalillahi wa innailaihi raji’un! Seusungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.”
Beberapa saat kemudian aku mempunyai kekuatan untuk berjalan. Aku melangkahkan kakiku menuju gedung TKIT untuk mencari Hana. Aku mau mengajaknya menjenguk ayahnya di puskesmas.
“Bu sebentar lagi kita ke Puskesmas naik mobil Pak Haji,” kata seorang guru TKIT.
“Ya.” Aku menyahut sambil bergegas pergi ke TKIT mencari Hana. Sesampainya di TK aku tidak melihat Hana.. Aku memutar kepalaku ke segala penjuru. Tetapi aku tidak menemukannya. Ketika aku hampir menangis, seorang wali murid mendatangiku sambil menggendong Hana.
“Ibu pergi saja ke Puskesmas! Biar saya yang menjaga Hana,” kata wali murid.
“Kalau begitu saya titip Hana. ” Aku berkata sambil bersiap-siap berjalan ke mobil
“Baiklah, Bu,” jawab wali murid.
“Terima kasih ya Bu!” ucapku. Lalu aku bersama seorang guru TKIT naik mobil dan Pak Haji uyang menyetirnya. Mobil melaju kencang menuju sebuah Puskesmas yang jaraknya sekitar enam ratus meter dari TKIT. Pikiranku mendadak panik luar biasa. Namun, aku tidak membiarkan pikiranku berkelana kemana-mana. Nenek Kha menyuruhku bersabar dan berdoa tiada henti mohon pertolongan Zat yang bersemayam jauh di atas Langit tetapi dekat di hati.
Lima belas menit kemudian kami tiba di Puskesmas. Sesampainya di ruang UGD, aku melihat Mas Dedi suamiku terbaring tak berdaya di salah satu tempat tidur pasien UGD. Ia mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya. Dahinya bengkak dan memar. Lengannya lecet-lecet. Kaki kanannya bengkak sekali dan ia tidak bisa menggerakkan kakinya. Kesadarannya menurun. Beberapa kali ia mengigau. Karena ia biasa mengisi taklim maka ia mengigau tentang materi taklim. Kadang-kadang ia mengucapkan isi Al Matsurat. Kadang-kadang ia menyampaikan materi tentang tauhid. Bahwa hidup ini hanya untuk mengabdi kepada-Nya semata..
Kira-kira pukul sembilan, seorang perawat senior datang. Ia memerintahkan asisten perawat untuk mengambil bidai dari dua papan kayu. Bidai tersebut untuk menopang kaki Mas Dedi yang patah agar tulang kakinya yang patah tak mudah bergeser dan terhindar dari kerusakan lebih lanjut. Setelah bidai mengapit kaki Mas Dedi, mobil ambulans membawanya ke rumah sakit Bondowoso untuk di-rontgen. Karena peralatan rumah sakit di Bondowoso terbatas maka Mas Dedi dirujuk ke rumah sakit di Jember.
Kira-kira pukul dua siang, mobil ambulans yang membawa Mas Dedi tiba di UGD rumah sakit di Jember. Dokter UGD yang menerima kedatangan mereka bersikap kurang ramah. Mereka memintaku untuk menandatangani surat pernyataan kesediaan menanggung biaya perawatan Mas Dedi. Perkiraan biayanya untuk operasi pemasangan platina pada tulangnya yang patah dan pemulihan kesadarannya sebesar 20 juta. Jatuh tempo pembayarannya dua hari lagi. Jika aku tak menandatangani surat pernyataan tersebut maka mereka tidak bersedia menangani Mas Dedi, suamiku.
Bagaimana kalau Mas Dedi meninggal karena tidak segera ditangani? Jantungku seperti ditarik-tarik dari rongga dadaku. Dapat darimana uang sebanyak itu? Uang di dompetku hanya lima ribu rupiah. Sedangkan meminjam uang sebanyak itu ke orang lain dalam waktu yang relatif singkat rasanya tidak mungkin. Orangtuaku sendiri bukan orang kaya. Juga mertuaku. Otakku berputar-putar mencari solusi..
“Sungguh aku tidak bisa mengambil keputusan saat ini tetapi aku harus segera mengambil keputusan karena hal ini menyangkut nyawa suamiku. Kalau aku tidak segera kuputuskan maka nyawa suamiku menjadi taruhannya. Ya Allah Zat yang bersemayam jauh di atas Langit tetapi dekat di hati, tolonglah hamba-Mu ini! Aku memohon kepada-Mu berilah suamiku kesembuhan dan berkahilah kehidupannya. Ya Allah yang Maha Hidup. Ya Allah yang Maha Penegak. Dengan rahmat-Mu aku mohon pertolongan-Mu. Perbaikilah semua masalahku dan jangan dibebankan kepada diriku barang sekejab matapun jua. Ya Allah! Kasihanilah aku. Aku belum sanggup untuk membesarkan anak-anakku yang masih kecil sendirian. Anak-anakku juga masih butuh figur ayah yang bisa mengayomi mereka.” Aku berkata di dalam hati.
“Bagaimana Bu? Kami tidak bisa menunggu ibu terlalu lama karena masih banyak pasien lainnya yang harus kami tangani,” kata salah satu Dokter UGD.
“Maaf saya masih menunggu seseorang untuk memutuskannya.” Aku menjawab setelah teringat pak Haji staf pimpinan perusahaan Mas Dedi. Karena sebelum terjadi kecelakaan, Mas Dedi memang akan berkunjung ke rumahnya.
“Kalau ibu tidak bisa menandatangani surat pernyataan ini, ibu harus menandatangani surat pernyataan berikut ini,” kata Dokter itu sambil menunjukkan blangko surat pernyataan lainnya dengan ekspresi dingin.