Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #28

Kecelakaan

Awal September 2004.  Sekitar pukul tujuh  pagi  Mas Dedi   mengantar aku dan Hana   ke  TKIT. Mas Dedi mengendarai motor  milik  pabrik tepung tapioka tempatnya bekerja di Situbondo.  Mas Dedi  menghentikan motornya di  depan  gedung  TKIT.  Aku dan Hana  turun.   Setelah  mencium  tangan  Mas Dedi,  Aku mengucapkan salam. Mas Dedi  menjawab  salam.  Lalu dia  mengendarai motornya dan  meninggalkan   halaman  TKIT.  

Aku  dan  Hana  berjalan  menuju   ruang  kelas  B  tempatku mengajar.  Aku membiarkan Hana duduk  di  kursi  plastik miliknya  yang aku taruh   di  deretan  paling  belakang.  Meskipun  usianya  baru  satu  tahun,  ia  hampir  tidak  pernah  rewel  menemani aku  mengajar   di  TKIT.  Aku  membawanya ke  TKIT  sejak  usianya  dua  bulan.  Pada waktu Hana masih  bayi, aku   menaruhnya  di  atas  tikar  kecil  yang  ada  di  sudut  ruang kelas saat aku sedang mengajar.         

          Sekitar   pukul  sembilan  pagi  aku   pada  pamit kepada seorang teman  guru  untuk  menyelesaikan suatu urusan di kantor  desa Dadap.  Aku menitipkan Hana pada  wali  murid  yang  sedang  menunggu anaknya sekolah  di  TKIT.   Sepulang  dari  kantor desa Dadap,  aku  kembali ke TKIT.  Tetapi sebelum kakiku menginjak gedung  TKIT,  seorang  guru  TKIT  menghadangku. Dengan tergesa-gesa dia mengabarkan bahwa  suamiku  mengalami kecelakaan  dan  sedang menjalani perawatan di UGD  Puskesmas. 

          Berita yang  mengejutkan itu  bagai  bunyi langit yang  menggelegar.  Begitu berita itu selesai  kudengar, badanku langsung terkulai lemas. 

Nenek Kha muncul di ruang imajinasiku dan membisiku, “Ucapkanlah kalimat istirjak, Annisa!”  

Aku  spontan  mengucapkan,  “Innalillahi  wa  innailaihi  raji’un! Seusungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.”  

Beberapa saat kemudian aku mempunyai  kekuatan  untuk berjalan. Aku  melangkahkan  kakiku menuju gedung TKIT untuk mencari Hana. Aku mau mengajaknya  menjenguk ayahnya di puskesmas. 

          “Bu  sebentar  lagi  kita  ke  Puskesmas  naik  mobil  Pak  Haji,”  kata seorang guru  TKIT. 

          “Ya.” Aku menyahut  sambil  bergegas pergi  ke  TKIT  mencari  Hana.  Sesampainya  di  TK  aku tidak  melihat Hana..  Aku  memutar  kepalaku  ke  segala  penjuru.  Tetapi aku tidak  menemukannya.  Ketika aku  hampir  menangis,  seorang  wali  murid mendatangiku sambil  menggendong Hana.

         “Ibu  pergi  saja  ke Puskesmas!  Biar  saya  yang menjaga  Hana,”  kata  wali murid.

         “Kalau   begitu  saya  titip  Hana. ” Aku berkata sambil bersiap-siap berjalan ke mobil     

         “Baiklah,  Bu,”  jawab  wali  murid.

          “Terima kasih  ya  Bu!” ucapku. Lalu aku   bersama  seorang  guru  TKIT   naik  mobil  dan Pak  Haji uyang menyetirnya.  Mobil   melaju  kencang menuju   sebuah  Puskesmas  yang  jaraknya  sekitar  enam  ratus  meter  dari  TKIT.  Pikiranku mendadak   panik  luar  biasa.  Namun, aku  tidak membiarkan  pikiranku  berkelana  kemana-mana.  Nenek Kha  menyuruhku  bersabar  dan   berdoa  tiada  henti  mohon  pertolongan Zat yang bersemayam jauh di atas Langit tetapi dekat di hati.  

          Lima  belas  menit  kemudian  kami  tiba  di Puskesmas. Sesampainya  di  ruang  UGD, aku   melihat  Mas  Dedi  suamiku  terbaring tak berdaya di  salah  satu  tempat  tidur pasien UGD.  Ia  mengalami  luka-luka  di  sekujur  tubuhnya.  Dahinya  bengkak  dan  memar.  Lengannya  lecet-lecet.  Kaki   kanannya  bengkak  sekali  dan ia tidak  bisa  menggerakkan kakinya.  Kesadarannya  menurun. Beberapa  kali  ia  mengigau. Karena ia biasa  mengisi  taklim  maka  ia  mengigau  tentang  materi  taklim.  Kadang-kadang  ia  mengucapkan  isi  Al Matsurat. Kadang-kadang ia menyampaikan materi tentang tauhid. Bahwa hidup ini hanya untuk mengabdi kepada-Nya semata..

          Kira-kira  pukul  sembilan,  seorang perawat  senior  datang.  Ia  memerintahkan  asisten  perawat  untuk  mengambil  bidai   dari  dua  papan  kayu.  Bidai  tersebut  untuk  menopang  kaki  Mas  Dedi  yang  patah  agar   tulang  kakinya  yang  patah  tak  mudah  bergeser  dan  terhindar  dari  kerusakan  lebih  lanjut.  Setelah  bidai  mengapit  kaki  Mas  Dedi,  mobil  ambulans  membawanya  ke  rumah sakit  Bondowoso  untuk  di-rontgen.  Karena  peralatan  rumah  sakit di Bondowoso terbatas  maka  Mas  Dedi  dirujuk  ke  rumah sakit di Jember.  

          Kira-kira  pukul  dua siang, mobil  ambulans  yang  membawa  Mas  Dedi  tiba   di  UGD  rumah  sakit di   Jember.  Dokter  UGD  yang  menerima  kedatangan   mereka  bersikap  kurang  ramah.   Mereka   memintaku  untuk  menandatangani  surat  pernyataan    kesediaan    menanggung   biaya  perawatan  Mas  Dedi.  Perkiraan   biayanya  untuk  operasi  pemasangan  platina  pada  tulangnya  yang  patah  dan  pemulihan  kesadarannya sebesar 20 juta. Jatuh   tempo  pembayarannya  dua  hari  lagi.  Jika aku  tak   menandatangani   surat  pernyataan tersebut  maka  mereka  tidak  bersedia  menangani  Mas Dedi, suamiku. 

Bagaimana  kalau  Mas  Dedi  meninggal  karena tidak  segera  ditangani?  Jantungku   seperti  ditarik-tarik  dari  rongga  dadaku. Dapat  darimana  uang  sebanyak  itu?  Uang  di  dompetku  hanya  lima  ribu rupiah.  Sedangkan  meminjam  uang  sebanyak  itu  ke  orang  lain  dalam  waktu  yang relatif singkat  rasanya  tidak  mungkin.  Orangtuaku  sendiri  bukan  orang  kaya.  Juga  mertuaku. Otakku berputar-putar mencari solusi..  

“Sungguh  aku  tidak  bisa  mengambil  keputusan  saat  ini  tetapi  aku  harus  segera  mengambil  keputusan  karena hal ini menyangkut nyawa suamiku.  Kalau aku tidak segera kuputuskan maka nyawa  suamiku  menjadi taruhannya.  Ya  Allah Zat yang bersemayam jauh di atas Langit tetapi dekat di hati,  tolonglah  hamba-Mu ini!  Aku  memohon  kepada-Mu berilah  suamiku  kesembuhan  dan  berkahilah  kehidupannya.  Ya  Allah  yang  Maha  Hidup.  Ya  Allah  yang  Maha  Penegak.  Dengan  rahmat-Mu  aku  mohon  pertolongan-Mu. Perbaikilah  semua  masalahku  dan  jangan  dibebankan  kepada  diriku  barang  sekejab  matapun  jua.  Ya  Allah!  Kasihanilah  aku.  Aku  belum  sanggup  untuk  membesarkan  anak-anakku  yang  masih  kecil  sendirian.  Anak-anakku  juga  masih  butuh  figur  ayah  yang  bisa  mengayomi  mereka.” Aku berkata  di dalam hati.  

          “Bagaimana  Bu?  Kami  tidak  bisa  menunggu  ibu  terlalu  lama  karena  masih  banyak  pasien  lainnya  yang  harus  kami  tangani,” kata  salah  satu  Dokter  UGD.

          “Maaf  saya  masih  menunggu  seseorang  untuk  memutuskannya.” Aku  menjawab setelah  teringat  pak  Haji  staf  pimpinan  perusahaan Mas Dedi.  Karena  sebelum  terjadi  kecelakaan,  Mas Dedi  memang  akan berkunjung  ke  rumahnya.

          “Kalau  ibu  tidak  bisa  menandatangani  surat  pernyataan  ini,  ibu  harus  menandatangani   surat  pernyataan  berikut  ini,”  kata  Dokter  itu  sambil  menunjukkan  blangko  surat  pernyataan  lainnya  dengan  ekspresi  dingin. 

Lihat selengkapnya