Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #29

Nyaris Gila

Beberapa  bulan  setelah  Mas  Dedi  mennjalani operasi tulang paha yang kedua,  perusahaan  tempat  Mas  Dedi  bekerja  mengalami  kebangkrutan  dan   memberhentikan  seluruh   karyawannya  termasuk  Mas  Dedi.  Karena seluruh aset perusahaan  belum terjual  maka karyawan yang  di-PHK  Putus  Hubungan Kerja tidak mendapatkan pesangon.  Sedangkan  Mas  Dedi baru  bisa mengklaim jamsostek jaminan sosial tenaga kerja miliknya  tiga tahun  lagi. Mungkin karena baru menjadi anggotanya.

 Honor aku sebagai guru TKIT minim sekali. Tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluargaku.  Oleh karena itu  aku mencari  tambahan  penghasilan antara lain dengan berjualan kecil-kecilan..  Mulanya  aku  berjualan  alat  tulis  dan  mainan  anak-anak.   Kemudan aku  berjualan  makanan matang seperti tahu isi, ote-ote dan cilok. Penghasilan  aku dari  usaha  tersebut   tidak  seberapa.  Sehingga biro pusat statistik masih menggolongkan  keluargaku   sebagai   keluarga  miskin. Dan  keluargaku berhak  mendapatkan jatah  beras  miskin,  askenkin (asuransi kesehatan miskin), dan bea siswa si miskin serta bidikmisi. Aku  harus bersabar  menghadapi kenyataan tersebut. 

Selanjutnya  untuk  memenuhi  kebutuhan  hidup  keluargaku lainnya, terutama kebutuhan studi anak-anakku, aku mulai melakukan usaha tani.  Dan uang tabunganku yang sudah terkumpul dua juta aku serahkan kepada  Mas  Dedi. Dengan  uang tersebut aku berharap Mas Dedi  dapat mengerjakan sawahnya.  Karena,  sudah tidak ada lagi perusahaan yang mau menerima Mas Dedi bekerja dan yang bisa  Mas Dedi lakukan hanyalah bertani. Tetapi, aku tidak melihat Mas Dedi mengerjakan sawahnya.  Bahkan setiap hari pekerjaannya tidur melulu.  Kalau sudah bangun langsung  minum kopi dan merokok.  Setelah  itu ia naik sepeda jadul  pergi entah ke mana. Beberapa tetangga di perumahan mengatakan Mas Dedi sedang stres.

Sebelum  berangkat ke TKIT aku memasak dulu. Karena biasanya sepulang dari bepergian Mas Dedi lapar sekali dan langsung makan. Kalau tidak ada nasi dan lauk di meja makan maka Mas Dedi akan marah-marah. Kadang-kadang marahnya dengan diam seharian. Kadang-kadang marah-marah sambil membuang barang-barang yang ada di dekatnya. 

Sebetulnya penghasilan kami tidak cukup memeuhi kebutuhan makanan bergizi dan studi anak-anakku. Sehingga Ibu yang bekerja sebagai tenaga administras sebuah lembaga menyisihkan penghasilannya untuk cucu-cucunya. Setiap bulan Ibu mengirimkan sejumlah uang lewat  wesel dan  paket makanan yang berisi susu bubuk dan makanan lainnya lewat pos kepadaku untuk cucu-cucunya.  Sehingga setiap hari, sebelum Imam dan Adil berangkat ke sekolah, aku bisa membuatkan  minuman susu untuk mereka. Ketika Hana bangun aku membuatkan segelas susu untuknya. Dan kemudian Mas Dedi bangun. aku  pun membuatkan wedang kopi untuknya.

          Keterbatasan  dana mau tidak mau  membuat   aku sering berpuasa dan   memasak  dengan menu yang ala kadarnya untuk keluargaku.  Setiap pagi aku menanak nasi dari beras jatah dengan lauk tempe bumbu kuning dan  sayur kuluban  plus sambal atau  sayur bening daun katuk saja.

Ketika jam di dinding menunjukkan pukul 06.30, aku  pamit ke Mas Dedi. kemudian aku bersiap-siap berangkat ke TKIT. Aku naik sepeda mini sambil membonceng Hana. Jarak rumahku ke TKIT sekitar tiga kilometer. Sepanjang perjalanan aku mengayuh sepedaku sambil berzikir. Kadang-kadang aku membaca shalawat.

Sampai di TKIT, akn menaruh Hana  duduk di kursi plastik di sudut ruang kelas B tempat aku mengajar. Lalu aku memandu kegiatan  kelompok B.. Alhamdulilah Hana tidak rewel sehingga aku bisa lancar mengajar murid-muridku di TKIT. 

Pukul 11.30 urusan pekerjaanku di TKIT  selesai. Setelah salat Zuhur di masjid pesantren aku baru pulang. Aku pulang   naik sepeda mini sambil membonceng Hana. Aku mengayuh sepedaku menyusuri jalan yang berbatu.

Kira-kira pukul 12.00 aku dan Hana tiba di rumah.  Aku menaruh sepedaku di teras depan rumah. Mereka lewat pintu depan. Aku mengucapkan salam. Tidak ada yang menjawab. Tanpa menunggu jawabana aku dan Hana memasuki rumah. Lalu Hana cepat-cepat menjatuhkan dirinya ke tempat tidur di kamar belakang dan tertidur.

Aku menuju ke dapur. Begitu sampai di dapur, suamiku yang tengah melamun di kursi dapur sambi merokok mendadak berdiri dan melempar panci ke arahku. Serta merta aku menghindarinya  dan segera mengucapkan istighfar dalam  hati.

“Bangsat! Bajingan!” seru Mas Dedi dengan tatapan mata kosong.  

“Mas Dedi kok berubah? Apakah ia sedang terkena halusinasi?” pikirku.

“Bejo bangsat! Bejo bajingan!” seru Mas Dedi kesal sambil melempar-lempar gelas plastik ke suatu arah.

Lihat selengkapnya