Beberapa bulan setelah Mas Dedi mennjalani operasi tulang paha yang kedua, perusahaan tempat Mas Dedi bekerja mengalami kebangkrutan dan memberhentikan seluruh karyawannya termasuk Mas Dedi. Karena seluruh aset perusahaan belum terjual maka karyawan yang di-PHK Putus Hubungan Kerja tidak mendapatkan pesangon. Sedangkan Mas Dedi baru bisa mengklaim jamsostek jaminan sosial tenaga kerja miliknya tiga tahun lagi. Mungkin karena baru menjadi anggotanya.
Honor aku sebagai guru TKIT minim sekali. Tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluargaku. Oleh karena itu aku mencari tambahan penghasilan antara lain dengan berjualan kecil-kecilan.. Mulanya aku berjualan alat tulis dan mainan anak-anak. Kemudan aku berjualan makanan matang seperti tahu isi, ote-ote dan cilok. Penghasilan aku dari usaha tersebut tidak seberapa. Sehingga biro pusat statistik masih menggolongkan keluargaku sebagai keluarga miskin. Dan keluargaku berhak mendapatkan jatah beras miskin, askenkin (asuransi kesehatan miskin), dan bea siswa si miskin serta bidikmisi. Aku harus bersabar menghadapi kenyataan tersebut.
Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluargaku lainnya, terutama kebutuhan studi anak-anakku, aku mulai melakukan usaha tani. Dan uang tabunganku yang sudah terkumpul dua juta aku serahkan kepada Mas Dedi. Dengan uang tersebut aku berharap Mas Dedi dapat mengerjakan sawahnya. Karena, sudah tidak ada lagi perusahaan yang mau menerima Mas Dedi bekerja dan yang bisa Mas Dedi lakukan hanyalah bertani. Tetapi, aku tidak melihat Mas Dedi mengerjakan sawahnya. Bahkan setiap hari pekerjaannya tidur melulu. Kalau sudah bangun langsung minum kopi dan merokok. Setelah itu ia naik sepeda jadul pergi entah ke mana. Beberapa tetangga di perumahan mengatakan Mas Dedi sedang stres.
Sebelum berangkat ke TKIT aku memasak dulu. Karena biasanya sepulang dari bepergian Mas Dedi lapar sekali dan langsung makan. Kalau tidak ada nasi dan lauk di meja makan maka Mas Dedi akan marah-marah. Kadang-kadang marahnya dengan diam seharian. Kadang-kadang marah-marah sambil membuang barang-barang yang ada di dekatnya.
Sebetulnya penghasilan kami tidak cukup memeuhi kebutuhan makanan bergizi dan studi anak-anakku. Sehingga Ibu yang bekerja sebagai tenaga administras sebuah lembaga menyisihkan penghasilannya untuk cucu-cucunya. Setiap bulan Ibu mengirimkan sejumlah uang lewat wesel dan paket makanan yang berisi susu bubuk dan makanan lainnya lewat pos kepadaku untuk cucu-cucunya. Sehingga setiap hari, sebelum Imam dan Adil berangkat ke sekolah, aku bisa membuatkan minuman susu untuk mereka. Ketika Hana bangun aku membuatkan segelas susu untuknya. Dan kemudian Mas Dedi bangun. aku pun membuatkan wedang kopi untuknya.
Keterbatasan dana mau tidak mau membuat aku sering berpuasa dan memasak dengan menu yang ala kadarnya untuk keluargaku. Setiap pagi aku menanak nasi dari beras jatah dengan lauk tempe bumbu kuning dan sayur kuluban plus sambal atau sayur bening daun katuk saja.
Ketika jam di dinding menunjukkan pukul 06.30, aku pamit ke Mas Dedi. kemudian aku bersiap-siap berangkat ke TKIT. Aku naik sepeda mini sambil membonceng Hana. Jarak rumahku ke TKIT sekitar tiga kilometer. Sepanjang perjalanan aku mengayuh sepedaku sambil berzikir. Kadang-kadang aku membaca shalawat.
Sampai di TKIT, akn menaruh Hana duduk di kursi plastik di sudut ruang kelas B tempat aku mengajar. Lalu aku memandu kegiatan kelompok B.. Alhamdulilah Hana tidak rewel sehingga aku bisa lancar mengajar murid-muridku di TKIT.
Pukul 11.30 urusan pekerjaanku di TKIT selesai. Setelah salat Zuhur di masjid pesantren aku baru pulang. Aku pulang naik sepeda mini sambil membonceng Hana. Aku mengayuh sepedaku menyusuri jalan yang berbatu.
Kira-kira pukul 12.00 aku dan Hana tiba di rumah. Aku menaruh sepedaku di teras depan rumah. Mereka lewat pintu depan. Aku mengucapkan salam. Tidak ada yang menjawab. Tanpa menunggu jawabana aku dan Hana memasuki rumah. Lalu Hana cepat-cepat menjatuhkan dirinya ke tempat tidur di kamar belakang dan tertidur.
Aku menuju ke dapur. Begitu sampai di dapur, suamiku yang tengah melamun di kursi dapur sambi merokok mendadak berdiri dan melempar panci ke arahku. Serta merta aku menghindarinya dan segera mengucapkan istighfar dalam hati.
“Bangsat! Bajingan!” seru Mas Dedi dengan tatapan mata kosong.
“Mas Dedi kok berubah? Apakah ia sedang terkena halusinasi?” pikirku.
“Bejo bangsat! Bejo bajingan!” seru Mas Dedi kesal sambil melempar-lempar gelas plastik ke suatu arah.