Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #30

Ketuban Pecah Dini

Awal tahun 2006. Aku merasakan tanda-tanda kehamilan. Dengan sebuah alat tes kehamilan, Aku memerikksa kehamilanku. Hasilnya aku positif hamil.  Betapa bahagianya hati aku karena Allah masih memberiku amanah pada usiaku yang sudah 44 tahun. Namun, aku menyembunyikan kehamilanku pada Ibu. Karena, Ibu selalu menganjurkan aku ikut KB agar aku tidak mempunyai anak lagi. Sementara aku tidak bisa ikut KB karena selalu mengalami perdarahan pada saat memakai alat kontrasepsi. Aku juga menyembunyikan kehamilanku pada suamiku sampai ia tahu sendiri perutku membesar. Karena, aku tidak ingin membebani suamiku yang sedang menganggur.  

          Ketika aku mendapatkan rezeki sejumlah uang, aku membeli sepeda untuk menghemat transpor. Aku naik sepeda ke TKIT setiap hari. Hana yang berusia dua tahun membonceng di kursi yang menggantung di setir sepeda. Jalan raya menuju TKIT merupakan jalan poros Bondowoso - Jember yang ramai kendaraan besar. Aku bersepeda di tepinya. Meskipun jalannya berbatu dan membuat perutku sering melonjak-lonjak, aku tidak memperdulikannya. Bersepeda di jalan yang berbatu aku lakukan sampai usia kandunganku hampir delapan bulan.                      

          Pada saat usia kandunganku delapan bulan, aku memeriksakan kehamilanku. Bidan tidak bisa memastikan letak janin apakah posisi kepala di bawah atau sungsang. Sebetulnya aku bisa mengetahui posisi kepala bayiku secara jelas lewat USG (Ultrasonografi), tetapi aku tidak mempunyai uang untuk USG. Meskipun demikian, aku memohon kepada-Nya agar persalinanku lancar tanpa operasi. Dan setiap menunaikan salat aku berusaha berlama-lama dalam posisi sujud. Dengan demikian, bayiku akan ikut sujud. Sehingga kepalanya terdorong ke bawah. Itu perkiraanku. 

^-^

          15 Agustus. Malam hari kira-kira pukul 22.00. Seseorang mengetuk pintu. Lalu ia mengucapkan salam, ”Assalamu ‘alaikum!” ternyata Mas Dedi pulang dari taklim. 

Aku bergegas membukakan pintu dan menjawab salam. “Wa’alaikum sallam!” . 

Setelah Mas Dedi memasuki rumah, aku mencium tangan Mas Dedi. “Abi, Insya Allah aku besok ke rumah Bidan. Mungkin aku mau melahirkan.,” Aku memberitahu suamiku. .  

  “Ya. Tetapi Abi tidak punya uang!“ Mas Dedi menjawab dengan ekspresi kelihatan bingung. Karena, ia memang tidak mempunyai uang sepeser pun. Dan lagi stok beras di rumahku tinggal sedikit. 

“Tidak mengapa, Abi. Aku sudah menabung di celengan untuk biaya melahirkan. Ada seratus lima puluh ribu rupiah. Insya Allah cukup.” Aku menenangkan suamiku.  

          Tengah malam. Setelah menunaikan salat Tahajud dan beberapa kali aku tersungkur sujud. Aku memohon agar Allah memudahkan persalinanku tanpa operasi. Aku menjatuhkan diriku ke tempat tidur. Aku berbaring di pinggir tempat tidur. Tidak sampai lima semenit aku tertidur. Dalam tidur aku bermimpi. Aku berada di ruang bersalin sebuah rumah sakit. Tidak lama kemudian aku melahirkan seorang bayi di rumah sakit.. Laki-laki, ucap orang yang menolong persalinanku. Begitu aku hendak melihat bayiku, Aku terbangun dan terjatuh dari tempat tidurku. Serta merta terjadi letupan kecil dari jalan lahir bayiku. Lalu cairan keluar dari jalan lahir bayiku sedikit demi sedikit. Cairannya merembes.

^-^

          16 Agustus. Pagi hari. Usai mengerjakan pekerjaan rumah, aku mengambil uang tabunganku yang sudah terkumpul sebanyak 150 ribu rupiah. Lalu aku pergi ke rumah Bidan dengan naik kendaraan umum atau angkot. Turun dari angkot, aku berjalan kaki kira-kira sejauh satu kilo meter menuju rumah bidan desa atau Polindes.  

          Sesampainya di Polindes, Bidan memeriksa kehamilanku. Katanya, masih belum pembukaan. Lalu Bidan menyuruh aku berjalan-jalan di sekitar Polindes. Mungkin hal itu mempercepat pembukaan jalan lahir.  

          Aku pun melaksanakan anjuran bidan.. Tiba-tiba bayangan Khodijah berkelebat di dalam benakku. Wanita mulia itu telah membuat aku percaya diri untuk menjalani persalinan yang kelima pada saat usiaku sudah tidak muda lagi yaitu 44 tahun.      

          Malam telah larut, Aku belum juga merasakan kontraksi lagi. Karena kelelahan, aku pun berhenti mondar-mandir. Tetapi cairan dari jalan lahir tidak mau berhenti mengalir. Bidan pun melarang aku mondar-mandir lagi agar aku tidak mengeluarkan banyak cairan. Bidan memintaku beristirahat. Lalu aku pun berbaring di tempat tidur dan berserah diri kepada-Nya saja.

^-^

          17 Agustus. Pagi hari sebelum menghadiri acara di puskesmas Grujugan, Bidan memeriksa kehamilanku. Bidan mengatakan bahwa jalan lahir bayiku masih pembukaan satu. Mendengar hal itu badanku menjadi lemas. Pikiranku mendadak terserang cemas. Dan doa yang mengalir dari lubuk hatiku pun semakin deras. “Ya Rahman! Ya Rahim! Ya Fatah! Ya Razaq! Ya Malik! Ya Quddus! Mudahkanlah persalinan hamba tanpa operasi sesar. Dan berilah hamba kesabaran yang indah. Aamiin Yaa Robbul ‘alaamin!”   

Lihat selengkapnya