Pertengahan Desember 2010. Sabtu setelah menuaikan salat Isya. Ibu, Imam dan Hana menonton televisi di rumah belakang. Sedangkan aku dan Jamil berada di kamar rumah depan. Jamil melonjak-lonjak kegirangan di atas ranjang besi. Lalu ia cepat-cepat turun melewati sandaran ranjang besi. Naik lagi ke ranjang. Melonjak-lonjak di atas ranjang. Menuruni sandaran ranjang. Beberapa kali aku memperingatkan Jamil agar ia berhenti naik turun ranjang besi. Namun, ia tak menggubrisnya. Hingga akhirnya pegangan tangannya pada sandaran ranjang terlepas. Ia pun terjatuh. Salah satu lengannya patah. Spontan aku terpekik karena terkejut dan lantas mengucapkan,”Innalilahi wa inna ilaihi roji’un!”
Dadaku bagaikan terbelah. Badanku hampir saja limbung. Menyaksikan lengan mungil yang patah itu bukan milik boneka melainkan milik anakku membuat aku berdiri terpaku selama beberapa detik dalam kepanikan yang luar biasa.
“Umiii, tanganku pendek!” seru Jamil tanpa mampu mengangkat tangannya yang menjadi pendek karena tulangnya yang patah bergabung.
Badanku benar-benar terasa lemas. Jantungku seperti ada yang meremas-remas.
“Diam dulu di situ. Allah sayang Jamil!” Aku berkata sambil bergegas menolongnya.
Jamil terisak. Matanya berkaca-kaca. Mungkin dia terkejut lantaran tangannya memendek dan sakit. Aku tidak bisa membayangkan sakitnya.Tetapi, aku optimis tak ada yang tak mungkin bagi-Nya untuk menyembuhkan Jamil dengan sentuhan ajaib-Nya atau Kun Fayakun.
“Sakit ya, sayang?” Aku bertanya kepada Jamil sambil mengangkat lengannya yang patah dengan sangat hati-hati.
Jamil mengangguk pelan. Air matanya menetes. Mungkin menahan sakit.
“Ya Allah berilah Jamil kesabaran yang indah sebagaimana kesabaran yang Engkau berikan kepada nabi Ismail Alaihi Salam ketika Nabi Ibrahim hendak menyembelihnya.” Aku berseru dalam hati spontan. Aku mencium kedua pipinya sambil menopang lengannya yang patah. Lalu dengan menahan tangis dan batinku mengucapkan Basmallah, aku menuntunnya ke tempat yang lebih nyaman, yaitu ranjang tempat ia bermain loncat-loncatan. Lalu aku menyuruhnya tidur dan tidak banyak bergerak.
Aku mengambil segelas air putih dan dua butir kapsul habbatusauda. Kemudian aku memberikannya kepada Jamil. Lalu Jamil meneguk air putihnya beberapa teguk dan minum dua butir kapsul habbatussauda pemberian Ibu.
Satu jam berlalu. Aku memberi Jamil segelas susu. Jamil minum minuman kesukaannya tersebut sampai habis. Lalu aku mengambil sebuah botol kecil yang berisi minyak Zaitun, minyak yang diberkai-Nya. Minyak Zaitun pemberian temanku itu ada di lemari dekat ranjang.
“Allah sayang Jamil! Allah akan sembuhkan Jamil. Sekarang Umi mau mengolesi lengan Jamil dengan minyak zaitun. Jamil boleh menangis, tetapi tahan ya sakitnya?” Aku berkata pada Jamil sambil mengangkat lengannya yang patah dengan ekstra hati-hati.
Jamil mengangguk pelan. Mukanya tampak meringis menahan sakit.
“Bismillah. Dengan Minyak Zaitun yang Engkau berkahi! Ya Allah sembuhkan Jamil!” Aku mengolesi lengan jamil yang patah dengan Minyak Zaitun.
Setelah mengolesi lengannya dengan minyak Zaitun secara merata, aku mengusap- usap lengan Jamil tersebut dengan lembut seraya hatinya memohon kesembuhan kepada Dzat yang bersemayam jauh di atas Langit tetapi dekat di hati.