Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #34

Lengan Jamil Patah

 Pertengahan Desember 2010.  Sabtu setelah menuaikan  salat Isya.  Ibu,  Imam  dan  Hana  menonton  televisi  di  rumah  belakang.  Sedangkan  aku  dan  Jamil  berada  di  kamar  rumah  depan. Jamil  melonjak-lonjak  kegirangan  di  atas  ranjang besi.  Lalu  ia  cepat-cepat turun  melewati  sandaran  ranjang  besi.  Naik  lagi  ke  ranjang.  Melonjak-lonjak  di  atas  ranjang.  Menuruni  sandaran  ranjang.  Beberapa  kali  aku  memperingatkan  Jamil agar  ia  berhenti  naik  turun  ranjang  besi.  Namun,   ia tak  menggubrisnya.  Hingga  akhirnya  pegangan  tangannya pada  sandaran ranjang terlepas.   Ia  pun  terjatuh. Salah   satu  lengannya  patah.  Spontan aku  terpekik karena terkejut dan lantas mengucapkan,”Innalilahi  wa  inna  ilaihi  roji’un!”  

          Dadaku  bagaikan  terbelah.   Badanku hampir saja limbung.  Menyaksikan  lengan  mungil   yang  patah  itu  bukan  milik  boneka   melainkan  milik  anakku membuat aku   berdiri  terpaku selama  beberapa  detik  dalam  kepanikan  yang  luar  biasa.

          “Umiii,  tanganku  pendek!”  seru  Jamil  tanpa  mampu  mengangkat  tangannya  yang  menjadi  pendek  karena   tulangnya  yang  patah  bergabung.

          Badanku benar-benar  terasa lemas. Jantungku   seperti  ada yang meremas-remas.    

          “Diam  dulu  di  situ.  Allah  sayang  Jamil!” Aku   berkata sambil  bergegas  menolongnya.

          Jamil terisak. Matanya berkaca-kaca. Mungkin dia  terkejut lantaran  tangannya memendek dan sakit. Aku tidak bisa membayangkan sakitnya.Tetapi,  aku optimis tak ada yang tak  mungkin bagi-Nya untuk menyembuhkan Jamil dengan sentuhan ajaib-Nya atau Kun Fayakun.    

         “Sakit  ya,  sayang?” Aku  bertanya kepada Jamil  sambil mengangkat lengannya yang patah  dengan  sangat hati-hati. 

          Jamil  mengangguk  pelan. Air matanya menetes. Mungkin menahan sakit.   

          “Ya   Allah  berilah  Jamil  kesabaran yang indah  sebagaimana  kesabaran yang Engkau berikan kepada nabi Ismail  Alaihi  Salam  ketika Nabi Ibrahim  hendak menyembelihnya.” Aku berseru dalam hati  spontan. Aku  mencium  kedua  pipinya  sambil  menopang  lengannya yang patah. Lalu  dengan  menahan   tangis  dan  batinku  mengucapkan  Basmallah,  aku  menuntunnya   ke  tempat  yang  lebih  nyaman, yaitu ranjang tempat ia bermain loncat-loncatan. Lalu aku menyuruhnya tidur dan tidak banyak bergerak.  

          Aku  mengambil segelas air putih dan dua butir kapsul habbatusauda. Kemudian aku memberikannya kepada Jamil. Lalu Jamil  meneguk  air  putihnya beberapa  teguk dan minum dua butir  kapsul   habbatussauda pemberian Ibu.  

          Satu jam berlalu. Aku  memberi Jamil  segelas  susu. Jamil minum  minuman kesukaannya tersebut sampai habis. Lalu  aku  mengambil sebuah botol  kecil yang berisi minyak  Zaitun, minyak yang diberkai-Nya. Minyak  Zaitun  pemberian  temanku  itu  ada di  lemari  dekat  ranjang.

          “Allah  sayang  Jamil!  Allah  akan  sembuhkan  Jamil.  Sekarang  Umi  mau  mengolesi lengan Jamil dengan minyak zaitun. Jamil  boleh  menangis,  tetapi   tahan  ya  sakitnya?” Aku berkata pada  Jamil sambil mengangkat lengannya yang patah dengan ekstra hati-hati.

          Jamil  mengangguk pelan. Mukanya tampak  meringis menahan sakit.

         “Bismillah. Dengan  Minyak Zaitun  yang Engkau berkahi!  Ya  Allah  sembuhkan  Jamil!”  Aku   mengolesi lengan jamil   yang  patah  dengan  Minyak  Zaitun. 

          Setelah mengolesi lengannya dengan minyak Zaitun secara merata, aku mengusap- usap lengan Jamil tersebut dengan lembut seraya hatinya memohon kesembuhan kepada Dzat yang bersemayam jauh di atas Langit tetapi dekat di hati.

Lihat selengkapnya