Malam hari. Setelah menunaikan salat Isya. Tiba-tiba muncul perasaan bersalah dalam diriku karena telah menelantarkan suami dan anak-anakku selama sekian lama di Bondowoso. Kalau hal itu kubiarkan terus maka hal itu dapat menimbulkan stres dan berakibat buruk pada hatiku. Sehingga rentan terserang hepatitis. Oleh karena itu aku berusaha mengatasi hal itu dengan menulis. Lalu aku menulis surat kepada anakku Adil yang sedang menuntut ilmu di sekolah di Bondowoso dan tinggal bersama suaminya di rumah kontrakan di Bondowoso.
Surabaya, Awal Mei 2012
Asssalamu’alaikum
Anakku yang saleh;
Sudah lama Umi ingin menulis surat kepada Adil. Kerinduan Umi kepadamu yang sudah mencapai ubun-ubun. Namun, baru kali ini Umi baru sempat menulisnya. Umi minta maaf tidak menulisnya lewat pesan singkat di telepon seluler. Karena, ruang pesan di telepon seluler Umi tidak cukup. Maklumlah surat umi panjang sekali.
Anakku yang saleh,
Saat usiamu sebelas tahun dan kau baru lulus SD di Surabaya, Umi meminta Abi untuk mendaftarkanmu di SMPN Bondowoso. Alasan Umi menyekolahkanmu di sini karena SMPN ini tidak memungut biaya sepeserpun. Bahkan SMPN ini memberimu topi, dasi, kaos kaki dan kain seragam batik secara gratis. Sehingga orangtuamu yang sedang krisis keuangan ini tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk menyekolahkanmu ke SMP.
Anakku yang saleh,
Pada awalnya kau mungkin agak kecewa disekolahkan di SMPN ini karena menurutmu SMPN ini kurang favorit dan lokasinya di daerah pinggiran. Tetapi setelah kau tahu kalau lingkungan sekolah di sini nyaman dan guru-guru di sini perhatian kepadamu maka lambat laun kau pun senang sekolah di SMPN ini. Hal ini membuat Umi semakin sayang kepadamu. Lebih-lebih jika kau bisa berprestasi di SMPN ini.
Anakku yang saleh,
Akhir-akhir ini di dalam diri Umi sering muncul rasa bersalah karena ada hakmu yang belum Umi penuhi, yaitu hak untuk mendapatkan kasih sayang Umi. Memang Umi menyusuimu sampai dua tahun. Merawatmu, membimbingmu berjalan dan berbicara saat usiamu belum genap satu tahun. Mengajarimu berdoa, membaca Al Qur’an sejak kau masih anak-kanak, dan menemanimu belajar saat kau duduk di Sekolah Dasar dengan kasih sayang. Namun, saat kau duduk di bangku SMP dan hidup terpisah dengan Umi karena Umi di Surabaya dan kau di Bondowoso, Umi tidak bisa memberimu kasih sayang sepenuhnya kepadamu.
Anakku yang saleh,
Sesungguhnya Umi tidak sampai hati meninggalkan dan membiarkanmu tumbuh dewasa tanpa bimbingan Umi. Apalagi jika mengingat lingkungan pergaulan yang begitu bebas dan terbuka pada era globalisasi ini. Tetapi apa yang bisa Umi lakukan jika Umi harus menjaga nenek di Surabaya atas seizin Abi? Oleh karena itu Umi harap kau tidak menjadikan kurangnya kasih sayang Umi kepadamu sebagai alasan untuk berbuat sesuatu yang dilarang agama. Seperti menjadi pecandu narkoba, anggota geng dan pencandu game. Umi percaya kau tidak akan menjadi pecandu narkoba. Tetapi ketika Umi teringat sebatang rokok di kamarmu dan janjimu untuk berhenti merokok setelah itu, Umi jadi ingin bertanya kepadamu. Apakah kau sudah betul-betul berhenti merokok? Ingatlah Abi bukanlah perokok dan kau sudah paham bahwa rokok mengandung racun yang membahayakan tubuhmu. Jika kau belum berhenti merokok maka rasa bersalah itu akan terus mendera hati Umi.
Anakku yang saleh,
Kadang-kadang rasa sedih menyelinap di dalam hati Umi bila teringat baju-baju yang ada di lemarimu. Sebagian besar bajumu tidak layak pakai. Ada yang kancingnya lepas. Ada yang lengannya robek. Dan ada yang kelihatan kusam. Karena, pada waktu itu Umi dan Abi tidak punya cukup uang untuk membelikanmu baju yang baru. Umi terpaksa menjahit baju-baju lama yang robek itu agar bisa kau pakai. Alhamdulillah kau mau memakainya meskipun baju-baju itu kelihatan kusam. Bahkan kau kelihatan PD saja saat ke luar rumah bersama teman-temanmu yang memakai baju trendi.
Anakku yang saleh,
Umi semakin sedih ketika teringat sepatu hitammu yang jebol itu. Bagaimana Umi tidak sedih? Jika bagian bawah sepatumu itu berlubang maka bagian bawah kaos kakimu itu pun akan selalu bernoda hitam setelah kau pulang. Karena, kau biasa pulang dengan berjalan kaki sejauh kira-kira tiga setengah kilometer dari sekolahmu. Jadi wajar kalau kaos kakimu cepat kotor dan berwarna hitam. Maklumlah, Umi dan Abi tidak punya uang pada waktu itu sehingga tidak bisa membelikanmu sepatu yang baru. Meskipun demikian Abi berusaha menambal sepatumu yang lubang itu agar bisa dipakai. Alhamdulillah kau mau memakainya tanpa rasa malu alias PD saja. Kesanggupanmu menerima apa yang ada itu membuat Umi semakin sayang kepadamu. Mudah-mudahan Allah juga sayang kepadamu sehingga keberkahan-Nya selalu mengalir deras dalam hidupmu.
Anakku yang saleh,
Beberapa waktu yang lalu saat Umi berada di Bondowoso, Umi berkunjung ke rumah bu Fulanah. Bu Fulanah itu tetangga kita di perumahan. Ia adalah ibu teman sebayamu. Dan inilah hasil percakapan Umi dengan bu Fulanah.
“Kapan bu Dedi kembali menetap di Bondowoso?” tanya bu Fulanah setelah Umi duduk di kursi ruang tamunya.
“Entahlah. Ada apa, bu?” Umi balik bertanya.
“Kasihan Adil! Masa anak SMP diberi uang saku hanya dua ribu. Untuk apa uang sebesar itu? Untuk membeli jajan saja tidak cukup. Iya kalau Adil dapat tumpangan atau berjalan kaki ke sekolah pulang pergi. Kalau tidak, uang sebesar itu hanya cukup untuk transpor,” kata bu Fulanah dengan nada sedikit kesal.
“Mungkin waktu itu ayahnya sedang tidak punya uang,” kata Umi menimpali.
“Masa Pak Dedi tidak punya uang terus-menerus?” tanya bu Fulanah dengan nada keheranan.
“Bisa jadi. Karena penghasilan ayah Adil sebagai petani sering tidak menentu,” jawab Umi.