Awal Juli 2012. Imam lulus SMPN Surabaya. Nilai Ujian Nasionalnya cukup bagus. Imam ingin melanjutkan ke SMKN jurusan perangkat lunak agar setelah lulus nanti bisa bekerja. Tetapi, Imam tak memiliki Kartu Keluarga (KK) Surabaya sehingga kemungkinan kecil bisa masuk Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) di Surabaya.
Setelah ada pengumuman panitia, ternyata Imam tidak lolos masuk SMKN Surabaya pilihannya. Mula-mula Imam merasa kecewa. Tetapi, kemudian mau tidak mau Imam menerimanya. Lebih-lebih setelah tahu teman-temannya yang pandai tidak diterima.
“Umi sekolah swasta di Surabaya mahal. Kalau tidak punya KK Surabaya, bayar uang sekolahnya bisa dua kali lipat,” kata Imam sebelum aku menawarinya sekolah di Surabaya.
“Baiklah, Umi mau menyekolahkanmu ke SMAN Bondowoso.” Aku merespon kata-katanya.
Sementara itu Hana naik ke kelas lima. Tanpa sepengetahuanku , Hana mengajukan pindah sekolah kepada guru wali kelasnya.
“Umi, tadi guruku tanya siapa mau pindah sekolah? Terus aku mengacungkan tangan. Boleh kan Umi? Aku pindah ke SDN Bondowoso?” tanya Hana.
Aku terdiam beberapa saat. “Bagaimana ini? Bagaimana perasaan Ibu jika aku mengikuti anak-anakku pindah ke Bondowoso? Bagaimana perasaan Hana jika aku tidak mengizinkannya pindah ke Bondowoso?” pikiranku berkecamuk..
“Boleh ya, Umi? Plis!” rengek Hana.
Mau tidak mau aku mengiyakan keinginan Hana untuk pindah sekolah ke Bondowoso dan aku harus segera mengurus kepindahannya ke kantor diknas. Kalau tidak memenuhi keinginannya maka mungkin Hana akan stress.
“Ya, boleh.” Aku menjawab setelah berpikir beberapa saat.
“Horeee!” seru Hana kegirangan.