Akhir Maret 2013. Pagi. Telepon seluler milikku dering. Di layarnya tertulis nama Bunda yang berarti telpon itu berasal dari Ibu. Aku menekan tombol jawab, ”Halo, assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam, sayang,” jawab Ibu dengan lembut.
“Bagaimana keadaan Ibu hari ini?” Aku bertanya seperti biasanya.
Ibu tidak menjawab. Pikirku, “Apa suaraku tidak jelas?”
“Kesehatan ibu bagaimana?” Aku bertanya lagi.
“Kenapa belum ke Surabaya?” Ibu balik bertanya.
“Belum ada dana, Bu. Soalnya uang untuk ongkos tranpor ke Surabaya, habis untuk membeli regulator kompor gas.”Aku menjawab apa adanya..
“Oh begitu. Maafkan Ibu.” sahut Ibu.
“Dan kemarin aku sakit kepala.,” Aku memberi tambahan alasan..
“Sakit kepala?” nada suara Ibu agak terkejut.
“Ya, Bu. Jadi aku takut pergi ke Surabaya sendirian. Nanti kalau terjadi apa-apa.”
“Akhir-akhir ini Ibu juga sering sakit kepala. Nyeri sekali rasanya...”
Beberapa saat komunikasi lewat telpon seluler terputus karena tidak ada sinyal. Setelah tersambung, Ibu melanjutkan curahan hatinya. “Annisa, akhir-akhir ini Ibu makan sedikit sekali. Entah kenapa Ibu gak selera makan. Karena jarang makan maka badan kurus sekali sekarang”
Ibu menarik nafas panjang. Lalu Ibu melanjutkan perkataannya. “Kata dokter Ibu mengalami gangguan pencernaan atau dispepsia. Kadang-kadang pusing-pusing yang Ibu alami sering membuat Ibu tidak mampu untuk menyeduh bubur instan sendiri. Kalau sudah pusing Ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Ibu langsung berbaring di ranjang sampai tertidur. Tubuh Ibu mudah terseret kursi yang tertiup angin kencang karena tubuh Ibu sangat kurus. Kalau berjalan, Ibu harus berpegangan pada dinding atau apa agar Ibu tak mudah jatuh.”
Komunikasi terputus lagi karena tidak ada sinyal. Setelah ada sinyal dan hubungan tersambung, Ibu melanjutkan curhatnya,” Annisa, ada sosok tinggi besar yang tiba-tiba berdiri dan diam terpaku di sekitar kamar Ibu. Makhluk itu beberapa kali mengikuti Ibu dan selalu memandangi Ibu. Ibu balas memandanginya. Ibu heran mengapa dia mengikuti Ibu terus? Untungnya Ibu tidak sampai menjerit karena Ibu sudah sering menghadapinya.”
Dalam hati aku bertanya. Apakah makhluk itu adalah malaikat maut yang Allah kirim untuk mencabut nyawa Ibu?
Sebelum Ibu menutup telponnya yang pada hari itu durasinya lama sekali, Ibu berkata, “Annisa Bidadari, maafkan Ibu! Sungguh maafkan Ibu!”
“Ya, Bu! Aku juga minta maaf.”
“Ibu minta kamu dan keluargamu segera datang ke sini!”
“Ya Bu. Insya Allah!” Aku menjawab sambil hatiku bertanya-tanya. Apakah Ibu sudah waktunya?