Kira-kira satu tahun setelah Ibu meninggal dunia dan penghasilanku sebagai pedagang kecil berkurang Mas Dedi mulai bekerja keras mencari nafkah. Mas Dedi menanam bawang merah di sawahnya dan menanam jahe merah di polibag di halaman rumah kontrakan kami.
Setiap pagi Mas Dedi pergi ke sungai Sampean. Mas Dedi menimba airnya sampai satu dirigen 20 liter penuh. Air itu untuk menyiram tanaman jahe merahnya. Setelah itu Mas Dedi mengurus tanaman bawang merah di sawahnya dan mengisi karung 25kilo dengan kompos untuk ia jual. Begitulah kegiatannya setiap hari. Ia tidak peduli sedang berpuasa Ramadhan atau tidak. Di sela-sela kesibukannya Mas Dedi menyisihkan waktunya untuk mengikuti kajian Islam setiap pekan dan menghafal Al-Qur’an hingga ia hafal dua juz.
Dua hari berturut-turut menjelang Ramadhan berakhir, Mas Dedi berbuka di Kampung Arab. Menunya makanan favorit Mas Dedi yaitu gulai kambing yang lezat. Dagingnya banyak dan santannya kental. Pada saat hari raya Idul Fitri, aku menyajikan nasi rawon dan Mas Dedi memakannya. Dua hari setelah Idul Fitri aku dan Mas Dedi berkunjung ke rumah kerabat. Kerabat menjamu kami dengan masakan lontong kikil yang lezat. Mas Dedi menyantapnya sampai tandas.
Sepulang silaturahmi dari rumah kerabat Mas Dedi jatuh sakit. Badannya panas dan dia mengeluh sakit kepala. Aku meminta Adil untuk mengantarkan Mas Dedi ke puskesmas naik motor. Menurut dokter, penyakit hipertensi Mas Dedi kambuh. Sehingga dokter memberi Mas Dedi obat hipertensi dan menganjurkan Mas Dedi untuk banyak istirahat di rumah. Mas Dedi berbaring di ranjang kamar depan.
Setelah beberapa hari menjalani pengobatan di rumah dan obat hipertensi Mas Dedi habis, tetapi penyakit Mas Dedi belum juga sembuh. Bahkan penyakitnya semakin parah. Mas Dedi tidak hanya mengeluh sakit kepala tetapi juga mengeluh dadanya nyeri. Katanya, sakitnya seperti diremas-remas dan terasa menjalar dari pusat dada ke rahang dan leher.
“Apakah suamiku terkena serangan jantung!” Aku bertanya di dalam hati.
Sesaat kemudian Mas Dedi mengikat kepalanya dengan bandana dan minta tolong Hana untuk membeli obat sakit kepala. Hana pun bergegas berangkat ke toko sebelah membeli obat sakit kepala. Setelah Hana datang membawa pil sakit kepala, Mas Dedi mengambil satu butir dan meminumnya.
Mas Dedi mendadak menggigil kedinginan di kamar. Aku menyelimutinya. Setelah itu Mas Dedi minta minuman air kelapa muda. Aku menyuruh Imam membelikan air kelapa muda di penjual kelapa muda yang lokasinya di dekat perumahan.
Sepuluh menit berlalu. Imam datang dengan membawa satu kantong air kelapa muda. Setelah aku menaruhnya di gelas dan memasukkan sedotan, aku memberikan segelas air kelapa muda ke Mas Dedi.
“Terima kasih, isteriku sayang!” ucap Mas Dedi sambil menerima gelas air kelapa.
Mendengar panggilan sayang dari suamiku itu aku jadi tersipu.
Mas Dedi hanya minum sedikit air kelapa mudanya. Lalu ia meletakkan gelas air kelapa muda ke meja di samping ranjang. Melihat hal itu aku hanya bisa berdoa.
Mas Dedi mencoba menggerakan badannya. Tetapi ia kelihatan kesakitan. Nafasnya tersengal-sengal. Sehingga ia kembali berbaring.
“Apakah aku minta tolong pak Saleh untuk mengantar Abi ke rumah sakit, ” tanyaku kepada suamiku.
“Tidak perlu. Suruh anak-anak berkumpul di sini. Aku mau berbicara,” kata Mas Dedi sambil menahan sakit dadanya.
“Baik, Abi,” sahutku.
Dengan perasaan tak menentu aku bergegas mennemui anak-anakku. Adil, Hana dan Jamil sedang bercakap-cakap di ruang tamu. Imam baru saja memasuki rumah.
“Darimana, Mam?” Aku bertanya kepada Imam yang baru memasuki rumah..
“Dari rumah Pak Arfan!”
“Pak Arfan BSH?” tanyaku penasaran.
“Ya, Umi. Aku minta tolong Pak Arfan untuk mengantarkan Abi ke rumah sakit!”
“Alhamdulillah. Semoga Abi dapat penanganan secepatnya,” kataku.