Menjadi Single Parent. Jauh-jauh sebelum kepergian suamiku ke kampung abadi, Allah azza wa jalla telah mempersiapkan aku menjadi "single parent" alias orang tua tunggal. Ketika anak-anakku masih kecil dan aku sudah beberapa tahun bekerja sebagai guru TK Islam Terpadu di kota Bondowoso, Mas Dedi suamiku bekerja sebagai karyawan di pabrik tepung tapioka di kota Situbondo. Penghasilannya minim sekali. Sehingga jika ia harus naik bus Bondowoso- Situbondo pulang pergi maka upahnya per bulan akan habis untuk ongkos kendaraan saja. Oleh karena itu suamiku memutuskan untuk tinggal di mess pabrik dan pulang ke Bondowoso dua minggu sekali. Sebagai konsekuensinya sehari-harinya aku harus mengurus ketiga anakku sendiri.
Pada awalnya sulit mengurus anak-anak tanpa suami. Tetapi, kemudian bayangan single parent hebat yang bernama Hajar ibunda nabi Ismail alaihi sallam, isteri kedua Ibrahim alaihi sallam selalu muncul di dalam benakku. Sehingga akhirnya mau tak mau aku harus belajar menjadi single parent hebat seperti Hajar.
Ketika harga beras melangit dan stok beras di tempat penyimpanan habis, sementara uang di dompetku tidak cukup untuk membeli beras, maka aku pun memutar otak untuk menyiasati uangku yang jumlahnya tidak seberapa tanpa menelpon suamiku. Karena memang aku tisak punya telpon untuk menelponnya. Kalaupun punya aku tidak mau merepotkan suamiku. Kemudian timbul di dalam pikiranku untuk membeli singkong di warung tetangga dengan uangku yang tinggal sedikit.
Aku pun membeli singkong, sumber karbohindrat yang harganya jauh lebih murah daripada harga beras. Aku mengukus singkong tersebut. Lalu dengan singkong kukus itu aku berbuka puasa dan mengganjal perut anak-anakku yang lapar. Semua anakku mau makan singkong rebus kecuali Adil. Bahkan ia tak menyentuh singkong rebusku sama sekali.
"Umi, singkong kukusnya gak enak. Aku gak mau makan," protes Adil sambil melengos.
"Kalau gak mau makan. Nanti badanmu lemas." Aku memberinya nasihat.
"Biarin. Daripada aku buang karena makanannya gak enak." Adil memberikan alasan.
"Bagaimana kalau Umi kasih garam dan cabe uleg?" Aku memberinya sebuah opsi.
Adil diam. Mulutnya makin mengerucut.
Diam-diam aku menggoreng beberapa potong singkong kukus dengan bumbu bawang putih sebentar. Lalu aku membuat sambal; menghaluskan cabe dan garam di cobek. Setelah itu singkong goreng tersebut kupenyet sedikit ke dalam sambal cabe dan aku memakannya sepotong dengan ekspresi lahap sekali. Aku kepedasan.
Adil melirikku. Sepertinya air liurnya nyaris ke luar.
"Umi pelit. Makan singkong sendirian. Gak bagi-bagi." Adil menyeletuk.
Aku pun langsung memberi Adil singkong penyet satu cobek penuh.
"Nih. Kalau mau singkong penyet," ucapku sambil menyerahkan cobek yang berisi singkong penyet.
"Bismillah." Adil menyantap singkong yang kuberikan dengan lahap sekali. Mungkin karena amat lapar sehingga ia mau makan singkong dan menghabiskannya.
"Enak juga singkongnya Umi."