Dalam Bayangan Sirosis

Abdisita Sandhyasosi
Chapter #42

Hidup Prihatin



Sejak kematian suamiku, aku dan anak-anakku hidup lebih prihatin. Anakku yang kedua, Imam harus kuliah Tehnik Informatika di sebuah universitas di Jakarta dan tinggal di tempat kost. Dengan uang tabunganku salah satunya berasal dari tabungan Ongkos Naik Haji atau ONH aku membiayai kuliah Imam. Tahun 2015 aku hanya memberi Imam uang bulanan 400 ribu rupiah. Dengan rincian 300 ribu untuk membayar kost dan 100 ribu sisanya untuk uang makannya. Apakah uang sebesar itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup Imam di Jakarta? Menurut perhitungan matematis memang tidak cukup, tetapi aku betul-betul memohon kepada-Nya agar Dia mencukupi kebutuhan hidup Imam. Mungkin Imam harus hidup superhemat selain sering berpuasa sunah.

Sebetulnya  Imam ingin bekerja sampingan, tetapi aku melarangnya agar Imam lebih fokus kuliah dan cepat lulus, kecuali menjadi asisten dosen. Meskipun honornya sedikit aku mengizinkannya karena Imam tetap berada di lingkungan kampusnya dan dapat tambahan uang saku. Takdirnya Imam lulus sebagai sarjana komputer dalam waktu tiga tahun lebih sedikit dengan predikat cumlaude. Alhamdulillah.

Selanjutnya tentang anakku yang ketiga yaitu Adil. Dia kuliah pertanian jurusan agrotek di sebuah universitas negeri di Jember. 


Usia Adil masih relatif belia pada saat kuliah di Jember. Tetapi perjuangannya untuk membantuku mencari nafkah keluarga tak bisa aku pandang sebelah mata.


Sebelum bekerja sebagai guru Al- Qur'an di sebuah lembaga privat membaca Al-Qur'an di Jember, Adil yang ketika itu masih berusia 16 tahun dan baru duduk di bangku kuliah jurusan Fakultas Pertanian (Faperta) Unej Jember dengan beasiswa Bidikmisi, aku memasukkannya ke sebuah Tempat Pendidikan Al-Qur'an atau TPQ di Jember.  Di TPQ ini Adil belajar mengenal huruf Al-Qur'an mulai dari materi dasar yaitu Makhraj, Tajwid hinggaTahsin.


Adil harus mengeluarkan biaya sekitar 50  ribu per bulan untuk biaya belajarnya di TPQ. Biaya sebesar itu ia dapatkan dari hasil menabung di celengan khusus infak TPQ miliknya. Setiap aku memberinya uang saku, ia memasukkannya ke dalam celengannya. Terkadang ia mendapatkan upah dari orang yang menyuruhnya mengantar barang. Lalu upah itu ia masukkan ke dalam celengannya. Setelah sebulan celengan itu ia serahkan ke admin TPQ. Begitu setiap bulannya.


Rumah kami di Bondowoso. Jarak rumah kami  ke TPQ tempat Adil belajar al-Qur'an di Jember sekitar 30 km. Perjalanan sejauh itu Adil tempuh dengan naik sepeda gunung selama dua sampai tiga jam hampir setiap hari. Memang melelahkan. Tetapi demi meraih mimpinya bisa membaca Al-Qur'an dengan tartil , Adil rela menjalaninya. Kalau ada uang untuk ongkos tranpor Bondowoso Jember maka Adil naik kendaraan umum seperti bis Damri dan angkot ke TPQ. 


Setelah perkuliahan di Unej cukup padat, Adil tinggal di tempat kos. Karena biaya kos cukup mahal tiap bulannya maka Adil mencari tempat tinggal gratis, yaitu di sebuah masjid di dekat kampusnya. Tentu saja setelah Adil meminta izin kepada ketua takmir masjid tersebut. 


Lihat selengkapnya