49. Setiap Orang Penulis
Siang itu aku benar-benar merasa lemas. Pasalnya, tidak ada penerbit mayor yang mau menerima naskahku. Apalagi menerbitkan naskahku menjadi buku cetak. Sehingga otomatis tidak ada lagi harapan untuk menjadi penulis buku berkualitas.
Suatu petang aku dan Hana berkunjung ke ponndok pesantren Lukmanul Hakim tempat Jamil mondok. Kami mengikuti kajian Islam sampai datang waktunya salat Isya.
Setelah menunaikan salat Isya kami mencari Jamil di halaman pesantren. Tak lama kemudian Jamil.muncul. jamil mendekati kami sambil melempar senyum. Ketika sampai di depan kami tiba-tiba Jamil bertanya, "Apakah Umi sudah membaca buku hari ini?"
Pertanyaan itu membuat aku tertunduk malu lantaran aku belum menyentuh buku sama sekali. Apalagi membacanya.
"Seorang penulis itu seharusnya gemar membaca buku." Jamil menasihatiku.
"Umi tidak lagi menjadi penulis." Aku menimpali.
"Setiap orang adalah penulis, Umi."Jamil memberikan penjelasan.
"Termasuk aku Jamil?" Hana bertanya ingin tahu.