Usai menunaikan salat Subuh Dokter Ahmad tidur lagi. Sedangkan Hana pergi ke kamar mandi. Ia berendam di bathub sekitar sepuluh menit. Setelah memakai baju ibu hamil Hana cepat-cepat menelpon Umi lewat WhatsApp.
"Assalamu alaikum." Sapa Umi dari seberang.
"Waalaikum sallam."
"Ada apa Hana? Jam segini menelpon Umi." Tanya Umi keheranan. Karena tidak biasanya Hana menelpon Umi jam sekian.
"Tidak ada apa-apa Umi. Aku cuman ingin menelpon Umi."
"Bagaimana keadaanmu?"
"Alhamdulillah baik. Tapi... di sini aku tidak bisa pergi ke mana-mana tanpa suami. Aku juga tidak bisa berkunjung ke tetangga. Apalagi masyarakat di sekitar sini tidak saling kenal. Kecuali para lelaki yang menunaikan salat jamaah di masjid dekay rumah. Jadi aku seperti tinggal di penjara suci."
"Begitulah tinggal di Arab Saudi. Tetapi, bukankah kamu bisa berbincang-bincang dengan keluarga besar suamimu seperti adik suamimu?"
"Haifa adik suamiku kuliah di Universitas Putri Nourah binti Abdurrahman Riyadh dan tinggal di asrama. Jadi aku tidak bisa mengobrol fengannya."
"Kamu juga bisa mengajak ngobrol dengan ibu mertuamu."
"Tapi bahasa Arabku masih belum lancar. Kalau suamiku kan sudah bisa berbahasa Indonesia. Meskipun masih belum begitu lancar."
"Kalau begitu... bersabarlah."
"Sabar itu ada batasnya Umi."
"Sabar itu tidak ada batasnya. Kalau sabarmu kamu batasi maka sabarmu berhenti pada batas itu."
"Tapi bagaimana aku bisa bersabar? Tinggal di negeri asing, bersama lelaki yang masih asing dan jarang berada di rumah kecuali kalau libur kerja."