Dalam Naungan Cinta

Nova
Chapter #5

Pemuda Sholeh dan Gadis Sholehah

Bagian 5

{Pemuda Sholeh dan Gadis Sholehah}

 

Sepanjang perjalanan di atas bus yang membawanya semakin jauh dari tempat yang dia tinggali selama kurang lebih dua puluh satu tahun ini, Kahfi termenung hanyut dalam lamunan panjangnya.

‘Maaf Jihan, tapi aku bener-bener gak bisa.. maaf kalo akhirnya aku memutuskan untuk pergi dan menghindar dari kamu...’ gumannya dalam hati, seakan terus di hantui rasa bersalah karena melihat airmata yang menetes di pipi Jihan membuat pikirannya semakin kalut.

“Maaf Abah, Umi dan semuanya... tapi jujur saja saya tidak memiliki perasaan yang sama pada mbak Jihan, saya memang sayang tapi saya mengangap mbak Jihan sebagai adik dan saudara, tidak lebih dari itu.. maafkan saya, saya tidak bisa menerima ta’aruf dari mbak Jihan” ujar Kahfi sambil menunduk, lidahnya kelu dia bahkan tidak menyangka bisa mengatakan hal itu setelah semua jasa dari Abah dan Umi yang membesarkannya selama ini.

“Kami tidak pernah memaksa nak, hanya saja menyampaikan pesan dari Jihan untuk kebaikan kalian ke depannya nanti...”

“Umi juga tidak memaksa, kalau boleh umi tau.. apa kamu sudah punya pilihan lain?”

“Tidak Umi..” Kahfi menggeleng pelan, dia memang tidak mempunyai pilihan lain hanya saja dia juga tidak bisa menerima Jihan meski dengan terpaksa sekalipun, hatinya tidak bisa menerima dan dengan menyiapkan mental sekuat mungkin pada akhirnya Kahfi mampu menolak hal sulit itu.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, Jihan menjadi sangat dingin padanya, gadis itu bahkan tidak menoleh ke arahnya meskipun tanpa sengaja saat mereka berpapasan. Sikap Jihan yang sangat jauh berbeda membuat Kahfi dihantui rasa bersalah, hingga saat mendengar akan ada santri yang akan di kirim untuk tinggal di sebuah desa, tanpa fikir panjang Kahfi mendaftarkan diri.

Dia tidak bermaksud untuk lari dari kenyataan, hanya saja dia tidak ingin Jihan terus sakit hati saat melihat keberadaannya, cinta memang tidak bisa di paksakan Kahfi memilih di benci daripada harus berpura-pura tapi dia sangat mengerti jika tidak begitu dengan Jihan.

‘Tega sekali kamu menyakiti hati seorang gadis, kamu menolak cintanya menghancurkan harapannya, kamu siapa? Kamu cuman anak yang hidup dengan belas kasihan kedua orangtuanya, setelah semua yang mereka berikan untuk kamu lalu dengan begitu mudah kamu menghancurkan hati putrinya? Kejam sekali!’ nurani Kahfi seakan berteriak keras dengan mengatakan jika tindakannya sudah sangat keterlaluan tapi hatinya tidak bisa berdusta, dia benar-benar tidak bisa menerima taaruf itu.

“Terminal.. terminal!!!” teriakan kernet bus itu menyadarkan Kahfi dari lamunan panjangnya, dia menoleh pada jendela bus dia melihat keadaan di sekitar terminal yang menjadi pangkalan bus itu.

Kahfi turun dari bus itu sambil menatap ke sekeliling, dia terdiam lama sambil menatap sebuah alamat dari ponsel di tangannya, setelah meneliti dengan seksama wajahnya tetap tampak bingung, dia samasekali tidak mengenali daerah ini.

“Kemana lagi ya ini? Ke arah mana alamatnya?” ujar Kahfi masih dengan celingak-celinguk menoleh ke kiri dan ke kanan, satu gerakan merampas ponsel di tangannya dengan gerakan kilat hingga dia tidak lagi sempat menghindar bahkan tubuhnya terdorong hingga terjebab di tanah.

“Hp ku? Astagfirullah.. Jambret... jambret...!!!”

“Kenapa bang?”

“Jambret bang, hp saya di jambret!” ujar Kahfi panik pada beberapa orang yang datang menghampirinya, tapi penjambret itu sudah tidak terlihat lagi dan orang-orang itu hanya menyarankan Kahfi untuk pasrah saja.

“Udah jauh bang, gak akan ke kejar juga...”

“Sabar ya bang...”

“Lain kali hati-hati bang, kadang kalo di pangkalan emang rawan jambret, copet.. pokoknya tindak kejahatanlah...”

“Iya pak, terimakasih..” ujar Kahfi pelan dengan nada lesu, mau tidak mau dia harus pasrah kehilangan ponselnya.

“Mau kemana bang?”

“Owh, iya pak. Apa bapak tau desa Lengang?”

“Lengang masih jauh bang, ikutin terus aja jalan ini nanti ada pertigaan belok kanan, lurus lagi sampk ketemu gerbang naman desanya, pokoknya di daerah yang paling ujung bang..” jelas salah satu laki-laki setengah baya pada Kahfi yang mendengarkan dengan detail penjelasan itu.

“Masih lumayan jauh ya pak?”

“Iya lumayan bang, kalo mau bisa naik ojek.. di sebrang jalan itu ada pangkalan ojek, daripada jalan kaki masih jauh banget bang..”

“Kalo gitu terimakasih banyak ya pak informasinya, saya permisi dulu.. Assalamualaikum..”

“Waalaikumsalam, hati-hati bang”

“Mari pak..” ujar Kahfi sambil menunduk hormat sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan tempat itu, beberapa orang melihat aneh ke arahnya dengan mengomentari cara berpakaiannya yang di anggap tidak lazim.

“Siapa sih?”

“Tau, pak ustadz kali...”

“Kok lu bisa bilang pak ustadz?”

“Liat aja pake sarung”

“Hahaha, kolot banget...”

“Polos juga, mana kek gak ngerti daerah sini lagi.. pantes aja di jambret model begitu sih udah pasti jadi sasaran empuk!”

“Tau ah, biarin aja..” ujar seorang kernet bus yang berusaha mengakhiri percakapan mereka tentang seorang pemuda dengan sarung dan kopiahnya itu.

Di lain tempat seorang pemuda sedang melepaskan Sim card dari ponsel di tangannya, meski bukan keluaran terbaru tapi ponsel itu masih mulus dan mudah untuk di jual lagi, dia tersenyum simpul di iringi dengan satu tepukkan di pundakknya yang memaksanya menoleh.

“Balikin!”

Lihat selengkapnya