Bagian 11
{Bayangan Kisah}
Kahfi baru saja menyelesaikan sholat malamnya, laki-laki itu termenung lama dalam lamunannya, banyak hal yang mengangu fikirannya hingga membuatnya tidak bisa memejamkan mata meski hanya untuk beberapa saat saja. Rasa bersalah kembali datang menghantuinya, meski dia tidak bisa memaksakan hatinya tapi tetap saja apa yang dia lakukan tidak bisa di anggap baik.
Kahfi mengusap wajahnya berkali-kali sambil mengucap istigfar kemudian dia segera mengambil Al-Quran lalu mulai membacanya untuk menenangkan jiwanya yang sedang gundah, ayat demi ayat di lantunkan dengan bacaan yang merdu dan sesuai dengan makhrojnya.
Diantara dinginnya angin malam yang menyapa tubuhnya, sayup-sayup terdengar suara yang semakin lama semakin terdengar jelas. Suara lantunan indah itu pula yang membuat langkahnya mendekat, untuk beberapa saat lamanya dia terdiam lama mendengar dan terbawa oleh suasana yang kembali melemparkan ingatannya.
“Bu, Ibu..”
“Iya sayang?”
“Ibu lagi baca surah apa?”
“Ini namanya surah Ar-Rahman yang artinya yang maha pengasih” ujar sang ibu dengan lembut, di tatapnya wajah putra semata wayangnya itu lekat sementara sang putra juga juga menatapnya penuh kasih.
“Kayak nama ayah ya bu..”
“Kamu bener, nama itu seperti do’a..”
“Do’a? Kenapa seperti do’a bu?”
“Iya karena nama itu harapan, semoga saja nantinya yang punya nama itu bisa menjadi seperti arti dari namanya, kamu bisa ngerti?”
“Habi bingung bu”
“Nggak papa nak, nanti kamu juga akan ngerti sendiri..” satu belaian halus mulai menyentuh kepala anak laki-laki yang berwajah lembut itu, kemudian keduanya saling berpelukan.
“Habibi sayang sama ibu..”
“Ibu juga sayang sekali sama Habibi, nanti kalo udah besar Habibi harus jadi orang baik ya?”
“Iya bu..” ujar Habibi sambil menganggukan kepalanya, ungkapan kasih sayang itu sering di ucap dan di dengar oleh keduanya, seperti sudah menjadi kebiasaan yang biasa di lakukan dengan penuh ketulusan.
“Mas...”
“Masnya nggak papa?” Kahfi menatap bingung pada sosok yang masih terisak-isak di teras rumahnya, suara isak tangis itu yang membuatnya keluar untuk mencari sumber suara isak tangis itu.
“Mas”
Satu tepukan pada pundaknya itu membuatnya tersadar dari lamunan panjangnya, Kahfi menatap heran sementara dia mendapat tatapan tajam yang menyeramkan.
“Masnya ada masalah apa? Kenapa nangis?”
“Bukan urusan lu!”
“Barangkali masnya mau mampir, ini sudah malam dan sepertinya mau hujan”
“Lu tau ini udah malem, kenapa lu masih berisik, gangu!”
“Maaf mas..”
“Ck!” Jeck berdiri kembali menutupkan hodie pada tubuh dan kepalanya, kemudian segera beranjak meninggalkan tempat itu. Kahfi masih berusaha mencegah kepergiannya tapi tidak lagi dia hiraukan.
Benar saja, baru beberapa langkah hujan turun dengan sangat deras membahasi tubuhnya yang masih terus berjalan, petir mulai menyambar beberapa kali tapi semua itu tidak menghentikan langkahnya. Andai saja air hujan itu bisa menebus semuanya, andai saja petir bisa mengurangi langkahnya yang penuh dosa, langkahnya sudah terlanjur jauh masuk ke dalam lembah kehinaan, satu dosa yang membuatnya melakukan banyak dosa demi menebus satu dosa yang mengubah alur hidupnya.
Air mata tak mampu menghapuskan, tak mampu mengurangi kesakitan dan kepedihan itu, sudah terlalu dalam dia jatuh pada lembah dosa, kini tubuhnya yang berjalan tanpa henti meski tidak tau kemana harus melangkah dan bahkan tidak ada yang perduli dengan keberadaannya.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRRGGGHHHTTTT!!!”
Teriakan Jeck terdengar menggelegar diantara gelegarnya petir yang masih menyambar-nyambar mengiringi hujan yang terus turun dengan derasnya, diantara bulir-bulir air hujan itu ada bulir-bulir lain yang ikut jatuh, Jeck meneteskan airmatanya.
###
“Jihan!”
“Umi.. Assalamualaikum umi..”
“Waalaikumsalam, kamu mau kemana ndok?”
“Mau keluar sebentar umi” ujar Jihan pelan, sementara itu tatapan dari ibunya membuatnya salah tingkah.
“Umi nggak kasih ijin kamu buat keluar”
“Tapi.. tapi kenapa ya umi?”
“Kamu udah terlalu sering keluar dari pesantren sendirian lagi, umi khawatir gimana kalo sampek terjadi hal buruk sama kamu ndok?”
“Umi, Jihan kan udah besar jadi Jihan juga bisa jaga diri kok umi..”
“Umi nggak kasih kamu ijin, Assalamualaikum..”
“Tapi umi.. umi.. Waalaikumsalam” Jihan menghela nafas berat, dia kembali ke kamarnya. Gadis itu terdiam lama, setelah beberapa kali keluar secara diam-diam pada akhirnya dia tidak lagi bisa melakukan hal itu.