Bagian 14
{Si Hoodie}
Apa kamu tau bagaimana tersiksanya saat kita tau jika kita ada di posisi bersalah, tapi kita juga tidak bisa memaksa untuk membenarkan hal itu. Terbelenggu dalam jerat rasa yang sulit untuk di jelaskan, tidak bisa untuk di mengerti tidak untuk orang lain bahkan tidak pula untuk diri kita sendiri, rasa itu benar-benar membelenggu tanpa memberi celah sedikitpun.
“Mas udah tau gimana aku, semua tentang aku, penyakit yang ku derita juga siapa aku sebenarnya, masih ada waktu untuk mas bisa mundur sebelum kita melangkah lebih jauh lagi”
“Saya tidak akan mundur Nad..”
“Terimakasih mas, tapi maaf mas sudah tau banyak hal tentang saya dan saya samasekali tidak tau apapun tentang mas”
“Apa yang mau kamu tau tentang saya?”
“Maaf, tapi saya ingin tau apa ada perempuan di hidup mas sebelum saya?”
“Ada” Kahfi menarik nafas berat, bagaimana pun Nada berhak tau tentangnya termasuk kisah itu.
“Siapa?”
“Anak kiai tempat dimana saya di besarkan, pemimpin sekaligus pemilik pesantren, sejak kedua orangtua saya meninggal karena kecelakaan waktu itu saya masih kelas 4 SD dan keluarga pesantren yang merawat dan membesarkan saya. Namanya Jihan, gadis yang baik dan cantik tapi saya sudah mengganggap beliau seperti adik saya sendiri, saya menolak taaruf nya sebelum saya pergi kesini..”
Ekpresi terkejut tergambar jelas di wajah Nada, dia sama sekali tidak menyangka jika kisah itu di miliki oleh Kahfi, laki-laki berwajah teduh dan selalu terlihat tenang seperti tanpa memikul beban apapun.
“Apa dia baik-baik..?”
“Nggak, saya tau saya bersalah. Saya bahkan hidup dari belas kasihan keluarga itu, tapi saya takut akan semakin menyakiti banyak pihak jika harus berpura-pura menerima taaruf itu, cinta nggak bisa di paksa kan?”
“Memang benar, cuman mungkin cara mas yang kurang tepat”
“Saya terpaksa..”
“Saya tau mas, maaf ya harusnya saya tidak bertanya”
“Kamu berhak tau”
“Terimakasih”
“Saya akan segera melamar kamu, saya harap kamu bisa menerima lamaran saya” ujar Kahfi lembut tapi terdengar nada tegas disana, Nada menatap dalam wajah laki-laki itu dia bahkan tidak sempat berfikir jika jodohnya akan datang secepat ini.
“Insya Allah, saya siap mas..”
###
“Jihan! ndok, ayo sarapan bareng”
“Umi sama Abah duluan aja, Jihan belum mandi” ujar Jihan setelah pintu kamar itu terbuka, senyumnya terlihat kecut.
“Ya sudah nanti jangan lupa sarapan ya ndok”
“Iya umi”
“Jangan lupa juga ada kajian sore ini di mushola asrama putri”
“Siap umi”
“Kamu langsung mandi ya, umi duluan. Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..” Jihan mengubah ekpresi wajahnya setelah di lihat umi nya sudah tidak terlihat lagi, kemudian segera menutup pintu kamarnya dengan satu hentakan yang cukup keras.
Sementara itu Jeck sedang menghitung hasil kerjanya tadi malam, cukup banyak dan aksinya berjalan mulus meski hanya berdua dengan Monti. Awalnya Jeck ragu akan melakukan pekerjaan itu lagi setelah begitu banyak kesialan yang menimpanya akhir-akhir ini, tapi keberhasilannya malam itu membuatnya sedikit lega.
“Lu masih belum bisa lacak Danar?”
“Bos masih nyari Danar?”
“Gue cuman nanya ke elu, beda cerita kalo gue yang nyari!”
“Belum bos”
“Elu nggak nyari kan?”
“Bos kita kan..”
“Atau justru lu ikut nutupin?” Jeck memotong ucapan Monti yang belum sempat dia selesaikan, lirikan tajam di arahkan tepat pada mata Monti.
“Nggak mungkin bos, gue nggak punya nyali sebesar itu”
“Bagus, lu tau kan apa akibatnya kalo gue sampek tau?”
“Iya bos”
“Oke” Jeck menepuk dua kali bahu Monti, sebelum akhirnya keluar dari ruangan itu basecamp mereka yang baru. Sementara itu Monti menatap kepergiannya dengan menghela nafas berat, di hentakkan kepalanya pada tembok tempatnya bersandar saat itu.
###
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam Umi” seorang santri perempuan langsung bersalaman dan mencium tangan sosok yang di panggil dengan sebutan ‘Umi’ itu.
“Indah kenapa kelasnya ribut, belum di mulai kajiannya?”
“Belum umi, ini saya lagi mau nyari mbak Jihan”
“Jihan belum datang?”
“Belum umi”
“Astagfirullah, ya sudah biar umi yang panggilin mbak Jihan, kamu kembali ke kelas dan tolong bilang sama temen-temen kamu supaya nggak ribut ya?”
“Iya umi, Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam..”
###
Jeck menghentikan langkahnya, dia menatap hampa tulisan yang tertera di atas gerbang itu kemudian laki-laki itu menghela nafas berat. Hatinya ragu tapi langkahnya tidak beranjak, dia menatap ke arah dalam gerbang yang terbuka itu. Di tempat inilah dia pertama kali bertemu dengan perempuan itu, siapa perempuan itu? Dia bahkan tidak mengenal nama dan apapun tentang perempuan itu, ini pertama kali dirinya perduli dengan keselamatan orang lain, orang yang bahkan belum dia kenal.
“Assalamualaikum..”
“Wa.. waalaikumsalam..”
“Masnya mau ikut kajian juga ya? Mari silahkan masuk mas, acar kajiannya sebentar lagi akan di mulai” ujar seorang laki-laki muda dengan pakaian koko lengkap, sarung dan peci, suaranya terdengar sangat ramah dan lembut.
“Bo.. boleh?”
“O ya tentu boleh dong mas, mari bareng sama saya”